Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kecenderungan pamer, membanggakan diri, memuji diri sendiri, mencari nama baik, memburu kekaguman adalah sifat manusia yang cukup sering kita saksikan sehari-hari. Kadang lugas dan disamarkan. Misalnya,
“Istriku jelita lho, rumahku 5, tanahku berhektar-hektar dan perusahaanku 3”
“Aku ini ndak tahu ya, perasaan ndak cantik-cantik amat. Biasa saja. Tapi kok banyak yang kirim “proposal” ngajak nikah ya?”
“Sumpeg hari ini. Kerjaan kantor belum tuntas, rumput taman udah pada tinggi, kolam renang belum dikuras, belum nyiapin THR untuk 14 pembantu, lamborghini juga belum dicuci.”
Kadang kecenderungan pamer itu disembunyikan dengan kalimat-kalimat “islami” supaya tidak kentara dan kelihatan “syar’i” misalnya berbicara kepada orang seperti ini,
“Istriku, buatkan minuman untuk tamu kita ini. Tapi pakai gelas yang kita beli saat haji ketiga ya”
“Ya Allah, lindungilah perjalanan anakku yang baru saja menghatamkan hafalan Al-Qur’an 30 juz menuju ke Mesir untuk menuntut ilmu”
“Alhamdulillah, akhirnya bisa umroh juga. Yang lain segera nyusul ya” (sambil menunjukkan foto berpose manis dengan latar Ka’bah)”
“Alhamdulillah, semua atas karunia Allah. Akhirnya sampai rumah juga dengan selamat setelah dua pekan berlibur ke Paris”
“Afwan, jika saya kurang konsentrasi dalam rapat ini, Terus terang saya agak mengantuk karena tadi malam salat tahajud”
Pamer seperti ini dalam bahasa gaul sekarang dikenal dengan istilah humblebrag alias pemer terselubung. Dalam istilah Arab kecenderungan pamer dan gemar membanggakan diri itu disebut dengan istilah fakhr ( الفخر).
Fakhr adalah sifat tercela, karekter jahiliyyah, dibenci Allah dan diharamkan dalam Islam. Fakhr menjadi sifat hina yang harus diperangi dan dilenyapkan dari dada seorng mukmin karena sifat ini pada hakikatnya adalah mengagung-agungkan dunia yang dihinakan Allah, juga cermin kesombongan yang dibenci Allah, juga ekspresi kesalahan mendefinisikan hakikat kesuksesan sejati yang diajarkan dalam Islam.
Allah membenci sifat melagak, suka pamer dan membangga-banggakan diri. Allah berfirman,
Artinya,
“Allah tidak suka setiap orang yang berlagak dan gemar membanggakan diri”
Yang dibangga-banggakan manusia itu pada intinya adalah semua hal yang bersifat duniawi. Asy-Syaukani berkata,
“Fakhur (orang yang gemar membanggakan diri) adalah orang yang berbangga-bangga di depan masyarakat dengan hartanya atau kemuliaan atau kekuatan dan sebagainya”
Sifat pamer adalah sifat Jahiliyyah. Bahkan, karena demikian banyaknya ucapan pamer di masa jahiliyyah dan itu masuk dalam syair-syair mereka, para pemerhati sastra Arab sampai bisa mengklasifikasikan tema khusus terkait puisi Arab Jahiliyyah ini dengan istilah “aghrodh/ghorodh fakhr”. Salah satu penyair menonjol di masa jahiliyyah yang puisinya banyak menggambarkan bagaimana suasana kebanggaan dan persaingan pujian di masa Jahiliyyah adalah ‘Antaroh bin Syaddad (عنترة بن شداد).
Hal-hal duniawi yang dibanggakan di masa jahiliyyah itu biasanya keberanian, kekuatan, nasab, status sosial, bahkan akhlak-akhlak mulia seperti hilm (kesabaran), wafa’ (tepat janji), karom (kemuliaan), jud (kedermawanan), melindungi kehormatan, melindungi yang lemah dan lain-lain Saat mereka berbangga-bangga, yang dibanggakana bisa dirinya sendiri atau kabilahnya.
Menariknya, cara orang Arab jahiliyyah berbangga-bangga itu justru tergolong “halus”, “smooth” dan elegan kalau kita bandingkan cara pamer dengan zaman sekarang yang cenderung urakan dan vulgar. Saya akan memberikan contoh syair pamer bin fakhr yang diciptakan oleh Samuel (literatur Arab mayoritas melafalkannya As-Samau-al) bin Adiya’ berikut ini,
ولا ذمَّنا في النازلين نزيلُ
Ma di awal bait adalah nafiyah. Ukhmidat bermakna dipadamkan. Duna bermakna amama/di depan. Thoriq bermakna orang yang mengetuk pintu di malam hari. Nazil bermakna orang yang singgah untuk bertamu. Jadi makna harfiah syair di atas adalah,
“Api kami tidak pernah dipadamkan di depan (saat menerima tamu) pengetuk pintu”
“Tidak ada orang yang singgah yang pernah mencela kami di antara mereka yang pernah singgah”
Samuel ingin mengatakan bahwa keluarganya adalah keluarga yang baik hati, dermawan dan memuliakan tamu. Jika ada tamu yang membutuhkan mengetuk pintu di malam hari, maka keluarga Samuel akan menyambutnya, memuliakannya, memasakkan hidangan untuknya (sehingga api tak pernah padam) dan setelah tamu itu pamit, mereka akan pergi dengan membawa cerita indah penuh pujian untuk keluarga Samuel tanpa pernah menyisakan celaan sedikitpun.
Dengan kata lain, cara Samuel pamer dan berbangga-bangga kalau diungkapkan dengan bahasa gaul zaman sekarang kira-kira akan berbunyi begini,
“Kalau keluargaku sih udah biasa kok memuliakan tamu. Ndak pernah ada keluhan tuh selama ini. Semua orang senang kalau bertamu ke rumah kami. Kami selalu menyajikan hidangan terbaik untuk mereka”
Bayangkan! Kata-kata dengan makna sehalus dan se-smooth” seperti ini saja sudah tergolong sifat fakhr dan kebanggaan jahiliyyah yang hina menurut ajaran dalam syariat islam, lalu bagaimana dengan jenis pamer dan fakhr yang lebih vulgar dan lebih norak dari itu?
Pamer dan fakhr adalah sifat hina. Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai sifat jahiliyyah. Allah telah memerintahkan mengganti sifat pamer itu dengan sikap tawaduk, rendah hati dan takwa. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa kita semua berasal dari tanah. Lalu untuk apa kita berlagak melangit? Abu Dawud meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan ala Jahiliyyah dan kebanggaan kalian dengan nenek moyang. (Yang ada adalah) orang beriman yang bertakwa dan orang yang jahat yang sengsara. Kalian adalah anak cucu Adam, dan Adam tercipta dari tanah. Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya, sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (H.R. Abu Dawud)
Semua hal duniawi berpeluang untuk dipamerkan; Kekayaan, besarnya penghasilan, pekerjaan, jabatan, hubungan dengan orang penting, keluar negeri, masuk TV, tamu-tamu pejabat penting, follower bejibun, dan lain-lain. Bahkan hal-hal terkait agamapun bisa menajdi bahan pamer, fakhr, riya’ dan sum’ah. Hafal Al-Qur’an, hafal hadis, suara merdu untuk azan, suara indah untuk tilawah, punya sanad, punya hubungan dengan syaikh besar, sekolah di timur tengah, punya ponpes besar, santri banyak, dan lain-lain.
Sifat pamer dan fakhr sungguh berbahaya. Kecenderungan itu juga menunjukkan taraf berfikir yang tidak cerdas.
Buat apa membanggakan anak atau suami atau istri atau ayah, atau paman, atau bibi, atau kakek atau kerabat kita jika mereka ternyata di akhirat hanya menjadi bahan bakar api neraka?
Sukes itu bukan saat anakmu ke luar negeri, saat suamimu memperoleh pekerjaan mentereng, saat saudaramu terkenal, saat kerabatmu bermobil dan berrumah mewah. Sukses sejati yang diajarkan Wahyu itu adalah saat engkau mendapat kepastian bahwa Allah tidak marah denganmu, telah rida denganmu, mengampuni segala dosamu, dan menjaminmu masuk ke dalam surga-Nya.
Sukses semacam ini hanya bisa diketahui di akhirat nanti, dan paling cepat hanya menjelang mati. Tidak ada yang tahu sukses jenis ini saat masih hidup berjalan di muka bumi. Hanya saat Rasulullah ﷺ masih ada dan wahyu belum terputus saja ada beberapa hamba Allah yang sudah mendapatkan kabar gembira saat masih hidup bahwa mereka dipastikan masuk surga. Tapi kita di zaman sekarang, mustahil mendapatkan berita seperti itu karena wahyu sudah terputus.
Lalu atas dasar apa kita membangga-banggakan dan memamerkan hal duniawi yang belum tentu menyelamatkan kita di akhirat nanti?
Tidak ada orang salih yang memamerkan dan membangga-banggakan dunianya.
Rasulullah ﷺ tidak pernah membanggakan kekayaannya saat bersama Khadijah.
Rasulullah ﷺ tidak pernah membanggakan penghasilannya dari hasil ganimah.
Rasulullah ﷺ tidak pernah membanggakan kecantikan Aisyah, Shofiyyah atau Ummu Salamah atau memamerkannya di tengah-tengah Shahabat dengan modus syukur, “menginspirasi” atau “tahadduts binni’mah” sekalipun
Seperti itulah perilaku seluruh orang salih di kalangan Para Nabi, para rasul, para Shiddiqin, para Syuhada’, pada Shahabat, para tabi’in, para tabiut tabi’in, para ulama salihin dan semua kaum muslimin yang mengikuti jalan beliau.
Lalu bagaimana jika menceritakan diri sendiri dengan maksud memberi contoh kepada orang lain? Atau memberi inspirasi orang lain dalam melakukan kebaikan?
Mendorong orang lain beramal salih yang paling selamat adalah dengan penjelasan dalil dan contoh-contoh perbuatan orang salih di masa lalu, terutama yang sudah jelas nasibnya selamat di sisi Allah kelak.
Adapun memberi contoh dengan memakai diri sendiri, apalagi menceritakan kehebatan diri (padahal diri ini belum jelas masuk neraka atau surga), maka lokasi-lokasi licin penuh kebinasaan dalam cara tersebut jauh lebih banyak daripada lokasi keselamatannya.
Sejauh-jauh cara menginspirasi kebaikan dengan memakai diri sendiri yang lebih dekat dengan keselamatan adalah bukan dengan bercerita, tetapi beramal, bertindak dan melakukan aksi amal salih secara terang-terangan. Umpamanya bersedekah. Orang bisa bersedekah secara sembunyi-sembunyi dan itu adalah cara paling aman, tetapi juga bisa bersedekah terang-terangan. Cara sedekah terang-terangan berpeluang riya dan pamer. Tetapi cara ini dipuji dalam Al-Qur’an karena bisa memberikan efek dicontoh dan ditiru orang lain. Inilah yang sesuai dengan dalil dan menjadi hikmah disyariatkannya beramal secara terang-terangan. Allah berfirman,
Artinya,
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu”
Lain hal nya jika kelebihan kita itu diceritakan orang lain, tanpa perintah kita dan tanpa “Fishing for Compliments” dari kita, kemudian dipuji orang, kemudian kita tahu, lalu kita bergembira. Jika itu yang terjadi, maka kita boleh berharap bahwa amal salih yang kita lakukan telah mendapatkan “busyro ‘ajilah” (kabar gembira yang disegerakan) dari Allah bahwa amal tersebut diterima. Kita juga bisa menduga bahwa Allah memang berkehendak menjadikan sesuatu dari kita yang bisa menjadi teladan bagi hamba Allah yang lain. Jika kita sudah menduga bahwa Allahlah yang memang berkehendak demikian, maka kita bisa berhusnuzan bahwa itu memang baik, karena semua perbuatan Allah adalah baik. Beda dengan keinginan kita yang tidak pernah aman dari hawa nafsu.
Bagaimana jika menceritakan tentang diri itu dengan maksud tahadduts binni’mah (menceritakan nikmat Allah dalam rangka bersyukur)?
Modus ini juga tidak bisa dibenarkan dan jauh lebih berbahaya karena sangat samar dan tidak lekas terlihat para awam.
Kenapa kita tidak menyebut pamer dan fakhr sebagai tahadduts bin-ni’mah?
Jawabannya adalah: Tahadduts binni’mah yang benar itu memberikan efek kekaguman terhadap Allah. Jadi yang Besar adalah nama Allah, bukan nama orang yang pamer itu. Yang dikagumi adalah Allah, bukan orang yang pamer itu.
Jika efek yang dihasilkan adalah kekaguman kepada diri sendiri, menimbulkan ujub, menimbulkan ketakjuban kepada hal-hal duniawi maka itu bukan tahadduts bin ni’mah, tapi itu adalah fakhr, kibr, ujub, riya’, sum’ah, pamer, dan sifat jahiliyah yang hina. Pendalaman lebih lanjut makna tahadduts bin ni’mah silakan dibaca pada catatan saya yang berjudul Apa Makna Ayat “Wa Amma Bini’mati Robbika Fahaddits”?
Jadi, mulai sekarang mari kita bertekad memusnahkan semua kecenderungan fakhr, pamer, membanggakan diri dan semua penyakit hati sejenis. Kita ganti dengan tawadhu’ karena Allah.
اللهم اجعلنا منهم