Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jangan pernah membayangkan shahabat Nabi ﷺ memamerkan kekayaannya, istrinya, kendaraannya, ketampanannya, pekerjaannya, tanahnya, tabungannya, jasanya, koneksinya, popularitasnya, jabatannya dan semua hal duniawi lainnya. Sebab mereka terlalu luhur untuk memiliki watak sehina itu. Seluruh mata dan hati Shahabat Nabi ﷺ fokus menatap masa depan di akhirat. Tidak ada waktu bagi mereka untuk mengagung-agungkan dunia dan memuliakannya sebagaimana sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak beriman.
Yang kita bahas di sini bukan jenis pamer seperti itu, sebab pamer demikian jelas jauh dari kehidupan orang salih nan suci. Yang kita bahas di sini adalah jenis pamer yang samar, bahkan samar sekali. Yakni pamer menggunakan kelebihan agama, amal salih dan kebaikan. Satu jenis pamer yang sering disembunyikan dengan istilah “tahadduts bin ni’mah” (menampakkan nikmat Allah) atau “menginspirasi kebaikan kepada orang”, atau “berdakwah” dan alasan-alasan buatan sejenis supaya tampak lebih “islami” dan “syar’i”.
Kita akan tahu (melalui kisah yang hendak saya ceritakan berikut ini) betapa hati-hatinya para Shahabat, yakni para murid hasil didikan Rasulullah ﷺ itu, terhadap segala sesuau yang berbau pamer yang bisa menghancurkan pahala amal. Dengan demikian, kita akan memiliki dasar yang kokoh untuk diteladani dalam rangka berjuang keras memusnahkan semua kecenderungan pamer, baik memakai kelebihan duniawi maupun agama. Dengan itu pula kita akhirnya bisa “mensortir” siapa tokoh agama yang benar-benar layak untuk dijadikan panutan, yang diwaspadai, maupun yang dengan sedih terpaksa harus kita tinggalkan.
Bagaimanakah kisahnya?
Begini ceritanya.
Suatu saat, Abu Musa Al-Asy’ari salah seorang Shahabat Nabi ﷺ bercerita kepada murid-muridnya tentang satu perisitiwa perjuangan yang dialami para Shahabat bersama Rasulullah ﷺ. Peristiwa itu dikenal dengan nama perang Dzatu Ar-Riqo’ (ذات الرقاع). Dalam jihad ini, karena keterbatasan kendaraan, terpaksa untuk enam Shahabat Nabi ﷺ harus naik satu unta secara bergantian. Akibatnya, kaki mereka menjadi penuh luka, kulit terkelupas, kuku-kuku kaki pun copot. Karena luka-luka tersebut, mereka harus membalutnya dengan kain-kain perca. Kain perca, yakni sisa-sisa kain yang tidak terpakai (dalam bahasa jawa disebut gombal) itu dalam bahasa Arab disebut khirqoh (الخرقة) yang dijamakkan menjadi khiroq (الخرق) atau ruq’ah (الرقعة) yang dijamakkan menjadi riqo’ (الرقاع). Karena itulah peristiwa ini kemudian disebut perang Dzatu Ar-Riqo’, yakni perang yang melibatkan kain-kain perca untuk dipakai para pejuangnya.
Tampak betapa berat dan kerasnya jihad yang dialami Abu Musa Al-Asy’ari dan para Shahabat dalam peristiwa itu. Amal seperti ini, tentu saja pantas mendapatkan pahala yang besar dari Allah karena demikian menyentuh penderitaan, pengorbanan dan perjuangannya.
Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ، بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا، وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ، وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ، لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا»، (صحيح البخاري (5/ 113)
Artinya,
“Dari Abu Musa radliyallahu ‘anhu berkata: Kami keluar bersama Nabi ﷺ dalam suatu peperangan. Saat itu kami berjumlah enam orang dan kami hanya memiliki satu ekor unta yang kami gunakan secara bergantian. Kaki-kaki kami menjadi tipis (kerena berjalan) dan kuku-kukuku-pun copot. Kami membungkus kaki-kaki kami dengan sobekan-sobekan kain, oleh karena itu perang itu dinamakan perang Dzatur Riqa’ (perang yang melibatkan kain perca), karena kami membalut kaki-kaki kami dengan kain perca.” (H.R. Al-Bukhari)
Abu Musa Al-‘Asyari ketika menceritakan peristiwa ini tentu saja dengan maksud mengajarkan ilmu, meriwayatkan hadis, mengemban amanah mendidik umat dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ, dan melaksanakan kewajiban nashihah/nasihat untuk umat.
Akan tetapi, setelah menceritakan peristiwa itu, sepertinya beliau teringat sesuatu yang merisaukan sehingga kemudian mengucapkan kata-kata yang menunjukkan beliau seperti tidak suka dengan apa yang baru saja beliau kisahkan. Ucapan Abu Musa Al-Asy’ari itu disebutkan pada ujung hadis sebagai berikut,
وَحَدَّثَ أَبُو مُوسَى بِهَذَا ثُمَّ كَرِهَ ذَاكَ، قَالَ: مَا كُنْتُ أَصْنَعُ بِأَنْ أَذْكُرَهُ، كَأَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْ عَمَلِهِ أَفْشَاهُ (صحيح البخاري (5/ 113)
Artinya,
Abu Musa telah menceritakan kepada kami hadits ini, kemudian beliau tidak menyukainya. Beliau berkata: “Kenapa pula aku menceritakannya?” Seakan-akan ia tidak suka menyebarkan kisah amalnya. (H.R. Al-Bukhari)
Tahukah Anda apa yang dikhawatirkan Abu Musa Al-Asy’ari?
Yang dihindari dan dikhawatirkan Abu Musa Al-‘Asy’ari dalam riwayat ini adalah jenis humblebrag/pamer terselubung yang dinamakan sum’ah (السمعة).
Makna sum’ah adalah menceritakan perbuatan baik atau amal salih atau ibadah, dengan maksud didengar orang, lalu menjadi populer sehingga mendapatkan pujian serta kekaguman orang. Sum’ah mirip dengan riya’. Bedanya, riya’ itu targetnya adalah mata orang, bukan telinga. Artinya orang riya’ itu saat melakukan perbuatan baik dia ingin dilihat manusia sehingga mendapatkan pujian dan kekaguman manusia sementara orang sum’ah itu ingin perbuatan baiknya didengar orang sehingga mendapatkan pujian manusia dan kekaguman mereka.
Sum’ah biasanya dilakukan setelah melakukan amal salih. Yang mengerikan begini: Orang yang melakukan sum’ah itu bisa jadi saat melakukan amal salih berhasil ikhlas semata-mata karena Allah. Tapi setelah selesai melakukan amal salih, tiba-tiba timbul kekaguman pada diri sendiri sehingga tidak tahan untuk menceritakan kelebihannya kepada orang lain sehingga dengan begitu hancur leburlah seluruh pahala amal salihnya. Jadi target sum’ah itu adalah agar didengar orang, dibicarakan, populer, terkenal, punya kedudukan spesial di tengah-tengah manusia, lalu dipuji-puji sehingga dia mendapatkan kepuasan batin setelah mendapat pujian dan kekaguman manusia.
Sum’ah mengandung makna tazkiyatun nafsi, maksudnya mengandung unsur menganggap dirinya suci seakan-akan dirinya sudah pasti salih disisi Allah dan pasti diterima amalnya sehingga dengan penuh percaya diri menceritakan amal tersebut di hadapan hamba-hamba Allah lainnya.
Sum’ah menghancurkan pahala kebaikan sebagaimana riya’ juga menghancurkan pahala amal salih.
Mari kita renungkan!
Sudah jelas, posisi Abu Musa Al-Asy’ari saat menceritakan peristiwa jihad Dzatu Ar-Riqo’ itu adalah dalam konteks sebagai guru, sedang berceramah, mengajarkan hadis Nabi ﷺ , mengajarkan agama Allah, dan mendidik umat dengan wahyu. Yang beliau ceritakan juga bukan peritiwa abal-abal atau ucapan “ngecap”, tetapi peritiwa riil yang benar-benar terjadi dan layak diteladani. Dari sisi ini, semua sudah maklum bahwa Abu Musa Al-Asy’ari memang sedang berdakwah dan menyampaikan agama Allah.
Tetapi, kita bisa menyaksikan bersama bagaimana Abu Musa Al-Asy’ari menjadi tidak suka dengan kisah yang baru saja diceritakannya. Tidakkah kita merasakan betapa takut dan kuatirnya Abu Musa Al-Asy’ari untuk terjatuh pada pamer, sum’ah dan tazkiyatun nafs (menganggap suci diri sendiri)?
Sekarang bandingkan sikap Abu Musa Al-Asy’ari ini dengan beberapa contoh ucapan dan perilaku seperti di bawah,
“Rindu pengen ke sana lagi!” sambil memposting gambar Ka’bah dan Masjidil Haram (Sebenarnya mau bilang “Aku sudah pernah haji/umroh lho”)
“Seandainya bukan karena Corona, pingin langsung terbang untuk mencium Hajar Aswad” (sebenarnya mau bilang “Aku ini kaya, aku ini mampu, uangku banyak, bisa umroh kapanpun aku mau, hanya karena terhalang virus Corona saja aku tidak bisa umroh)
“Ini agar kita tahu Allah itu Maha Kuasa, juga agar tahu bahwa orang Islam itu juga bisa, meskipun dari desa, meskipun dari keluarga susah, jelek-jelek begini saya sudah sering masuk TV dan sering ke luar negeri lho”
“Kampung Contong situ dulunya banyak preman, maling, pemabuk, pecandu narkoba, pelacur, dan bandar togel. Tapi alhamdulillah, setelah sedikit demi sedikit saya dekati, saya buat kegiatan agama, saya bauri mereka dan dibuat pengajian, sekarang jadi rajin ke masjid semua”
“Syaikh Abdullah adalah ulama yang luarbiasa ilmunya. Hafalannya kuat, analisisnya tajam, tawaduknya luar biasa dan pengetahuannya bagai samudra. Ulama besar beliau itu. Ulama internasional bahkan. Alhamdulillah, Al-Faqir diberi kesempatan Allah menimba ilmu bertahun-tahun di majelis beliau dan mendapatkan sanad kelimuan langsung dari beliau.”
“Dia menyangka saya tidak tahu kalau maksud tulisannya adalah menyindir saya. Jangan macam-macam dengan firasat seorang mukmin. Firasat mukmin itu jitu.”
“Sekedar cerita saja, semua atas kuasa dan kehendak Allah. Fulan itu dulu mencaci maki dan menghina saya. Sekarang lihat sendiri akibatnya. Beberapa hari yang lalu saya mendengar dia kecelakaan. Keluarganya 3 orang masuk rumah sakit dan anaknya lumpuh sampai hari ini”
“Tahu kan ustaz Abdurrahman yang terkenal itu? Dia masih terhitung pamanku.”
“Yang kerudung hitam itu istri saya yang pertama. Yang kerudung biru di sampingnya istri kedua. Yang menggendong bayi istri ketiga. Bukan apa-apa, ini semua dalam rangka memasyarakatkan sunah nabi ﷺ dalam poligami“
Kalau begitu apakah haram menceritakan perbuatan baik kita?
Jawabannya adalah: tidak sekaku itu. Abu Musa Al-Asy’ari dalam riwayat di atas jelas menceritakan amal salihnya. Akan tetapi tujuannya benar, konteksnya benar, dan niatnya benar. Kendati demikian beliau tetap kuatir sum’ah. Hukum perbuatan seperti itu secara fikih tidak haram selama ada mashlahah rojihah (kemaslahatan yang lebih utama) seperti menyampaikan ilmu yang tidak boleh disembunyikan, memberi pencerahan ke umat atau menjadi teladan bagi umat yang ditunggu contoh praktis darinya.
Adapun jika kita bukan teladan bagi umat, baik dalam ilmu dan amal, maka sebaiknya kita tahu diri sehingga menghindar sedapat mungkin menceritakan amal sendiri, karena tempat-tempat kebinasaan dengan perbuatan itu jauh lebih besar daripada tempat keselamatannya. Motif pamer dalam situasi seperti itu sering lebih dominan daripada motif syar’i. Lebih selamat adalah menceritakan orang lain dan orang salih zaman dahulu sebagaimana saya ulas pada catatan sebelumnya yang berjudul “Hinanya Sifat Pamer”
Menceritakan tentang diri tidak selalu bermakna sum’ah. Hanya saja dengan sedih harus diakui ada peluang cukup besar ke sana.
Bagaimana cara kita tahu bahwa perbuatan kita menceritakan diri sendiri itu tergolong pamer ataukah tidak?
Dengan memakai rumus umum yang diterangkan ulama-ulama saat membahas ikhlas, kita bisa mengatakan begini,
“Jika Anda kecewa setelah menceritakan diri Anda karena tidak mendapatkan pujian, penghargaan dan kekaguman, bahkan lebih dari itu Anda mulai marah kepada orang yang tidak menghargai Anda atau memusuhinya, kemudian amal Anda makin loyo setelah gagal mendapatkan apresiasi itu, berarti Anda memang sedang pamer. Sebaliknya, jika Anda fokus mengejar pujian Allah, tidak peduli penghargaan orang, tidak menunggu apresiasi manusia, tidak makin semangat karena dipuji dan tidak menjadi loyo ketika dicela, maka Anda boleh berharap bahwa perbuatan Anda memang bebas dari pamer.”
Satu hal lagi. Orang memamerkan amal salihnya itu sebenarnya sedang tertipu karena mengandung unsur tazkiyatun nafs (menganggap suci diri sendiri). Fakta yang tidak mungkin diingkari adalah, dia belum tahu amal salihnya yang jelas dan pasti diterima Allah, lalu mengapa dia sudah berani menjadikan dirinya sebagai contoh seakan-akan Allah sudah pasti rida dengan amalnya, pasti menerimanya dan pasti akan membalasnya dengan pahala? Jika seperti ini kondisi saat dia pamer, maka itu termasuk tazkiyatun nafsi yang diharamkan dalam Al-Qur’an.
{ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى} [النجم: 32]
Artinya,
“Janganlah kalian menganggap suci diri kalian sendiri. Dia (Allah)lah yang paling tahu siapa yang bertakwa” (An-Najm: 32)
Andai tiap orang tahu betapa nistanya watak pamer dan betapa berbahayanya karakter itu, pasti mereka akan merahasiakan semua keunggulan dirinya seperti dia merahasiakan aib-aibnya.
رحم الله المتواضعين لله وحده وجعلوا الآخرة نصب أعينهم
اللهم اجعلنا منهم