Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
PERTANYAAN
“Ustadz, suami saya meninggal dunia pada 31 Maret 2020 lalu, sekitar pukul 15.00 WIB. Menurut kalender hijriyah, hari itu bertepatan dengan 6 Sya’ban 1441 H. Kapankah selesainya masa idah saya, Ustadz? Mohon penjelasannya. Terima kasih” (Nia-somewhere)
JAWABAN
Wanita yang ditinggal wafat suaminya pada tanggal 6 Sya’ban 1441 H/31 Maret 2020 jam 15.00 sore, berarti dia wajib menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari. Dengan demikian, masa idahnya berakhir pada tanggal 16 Dzulhijjah 1441 H/6 Agustus 2020 jam 15.00 sore.
Masa idah sorang wanita itu ada yang dihitung berdasarkan kehamilan, ada yang berdasarkan waktu suci haid dan ada yang berdasarkan hitungan bulan. Ini tidak membedakan apakah penyebab kewajiban menjalani masa idah itu adalah karena talak, ataukah fasakh ataukah ditinggal wafat suaminya.
Wanita yang ditalak saat hamil atau ditinggal wafat suaminya saat hamil, berarti masa idahnya adalah selama hamil itu. Begitu bayi lahir, maka berakhirlah masa idahnya.
Wanita yang yang masih lancar haidnya dan belum masuk usia menopause, berarti masa idahnya adalah tiga kali suci dari haid.
Wanita yang belum haid, atau sudah memasuki usia menopause, atau ditinggal wafat suami dalam keadaan tidak hamil, maka masa idahnya dihitung berdasarkan hitungan bulan.
Cara menentukan masa idah dengan kriteria pertama dan kedua (yakni kehamilan dan masa suci haid) tidak terlalu menjadi masalah karena sangat mudah menerapkannya.
Akan tetapi, untuk kriteria ketiga (yakni menghitung masa idah dengan hitungan bulan), kadang-kadang agak samar bagi sejumlah orang.
Oleh karena itu, dalam catatan ini kita akan mencoba menguraikan cara menghitung masa idah dengan standar bulan ini.
Menghitung Masa Idah yang Ditetapkan Berdasarkan Bulan
Contoh wanita yang menjalani masa idah dengan hitungan bulan adalah wanita yang belum haid. Jika ada wanita menikah sementara dia belum haid, kemudian dicerai suaminya maka dia wajib menjalani masa idah selama tiga bulan berdasarkan perintah Al-Qur’an.
Contoh lain wanita yang menjalani masa idah dengan hitungan bulan adalah wanita yang sudah menopause/berhenti haid. Jika ada wanita bersuami yang sudah menopause, kemudian dicerai suaminya maka dia wajib menjalani masa idah selama tiga bulan juga berdasarkan perintah Al-Qur’an.
Contoh lain wanita yang menjalani masa idah dengan hitungan bulan adalah wanita yang ditinggal wafat suaminya dalam keadaan tidak hamil. Jika ada wanita yang menikah, kemudian ditinggal wafat suaminya sementara dia tidak hamil, maka dia wajib menjalani masa idah selama empat bulan ditambah sepuluh hari berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا } [البقرة: 234]
Artinya,
“Orang-orang yang wafat di antara kalian serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (Q.S.Al-Baqarah; 234)
Sekarang kita akan mencoba mempraktekkan cara menghitung masa idah wanita dengan kasus praktis supaya lebih tergambar bagaimana cara penghitungan riilnya.
Mengingat pertanyaan yang diajukan adalah kasus wanita yang ditinggal wafat suaminya, maka kita akan mempraktekkan penghitungan masa idah wanita yang berdurasi empat bulan sepuluh hari.
Prinsip-Prinsip Utama
Prinsip pertama yang harus diperhatikan saat menghitung masa idah dengan penghitungan bulan adalah bahwa bulan yang dipakai untuk menghitung itu harus memakai bulan hijriyah, yakni sistem penanggalan berbasis gerak bulan. Jadi, menghitung masa idah bukan memakai bulan Januari, Februari, Maret, April, dan seterusnya tetapi memakai bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir dan seterusnya.
Alasan keharusan memakai bulan hijriyah adalah karena Allah memerintahkan menghitung waktu dengan bulan hijriyyah dalam Al-Qur’an. Semua hukum syara’ -tanpa kecuali- pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan bulan hijriyah. Allah berfirman,
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} [البقرة: 189]
Artinya,
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (Q.S.Al-Baqarah; 189)
An-Nawawi berkata,
ثُمَّ إِنَّ الْأَشْهُرَ مُعْتَبَرَةٌ بِالْهِلَالِ، وَعَلَيْهِ الْمَوَاقِيتُ الشَّرْعِيَّةُ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 370)
Artinya,
“Kemudian bulan-bulan itu diperhitungkan (dengan standar) hilal/bulan sabit dan hilal itulah yang dipakai untuk waktu-waktu syar’i” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 380)
Basis penanggalan hijriah untuk menghitung masa idah ini tidak bisa diganti dengan penanggalan masehi dengan alasan kalender hijriyah itu budaya Arab, pertimbangan sosio-politik, ambil substansi dan semisalnya. Sebab semua alasan itu adalah pertimbangan akal tanpa dalil, sehingga tidak bisa dipakai.
Prinsip kedua penetapan status SATU BULAN ditentukan berdasarkan terlihatnya hilal/bulan sabit, bukan jumlah 29 atau 30 hari.
Maksud pernyataan ini begini.
Ketika kita mendengar perintah beridah selama empat bulan sepuluh hari, pada saat ingin menerapkan hitungan empat bulan, barangkali pikiran kita terbersit pertanyaan,
“Bagaimana cara menentukan ukuran satu bulan?”
“Apakah dihitung 29 hari dari awal masa idah ataukah dihitung 30 hari?”
“Ataukah dilihat dari nama bulan saja, sehingga tanggal berapapun awal masa idah jatuh, maka habis di bulan itu langsung kita hitung satu bulan?”
“Atau bagaimana sebenarnya menghitung pernyataan SATU BULAN itu?”
Nah jawaban semua pertanyaan ini adalah “Standar yang kita pakai adalah terlihatnya hilal/bulan sabit”.
Maksudnya begini, jika awal masa idah adalah tanggal 1 Muharram, maka diakhir bulan muharram kita hitung satu bulan tanpa membedakan jumlah harinya apakah 29 ataukah 30. Lalu begitu masuk bukan Shafar, maka diakhir bulan Shafar kita hitung masa idahnya sudah dua bulan, tanpa membedakan jumlah harinya apakah 29 ataukah 30. Demikian seterusnya sampai bulan keempat.
Jika awal masa idah tanggal 15 Muharram dan bulan Muharram tahun itu kebetulan 30 hari, maka di akhir Muharram kita sebut wanita itu telah menjalani masa idah selama 15 hari (belum dihitung satu bulan). Begitu masuk bulan Shafar, maka di akhir bulan shafar kita katakan wanita itu telah menjalani masa idah selama satu bulan lebih 15 hari. Demikian seterusnya.
Itulah maksud menjadikan hilal/bulan sabit sebagai standar dan kriteria menghitung sebutan SATU BULAN. Hilal menjadi ukuran karena dalam penanggalan hijriyyah, terlihatnya bulan sabit pertama (yang sangat tipis dan kecil) di ufuk barat setelah terbenam matahari adalah penanda masuknya bulan baru.
Prinsip ketiga adalah penetapan awal masa idah dihitung sejak hari terjadinya penyebab idah dan akhir masa idah dihitung mengikuti waktu awal masa idah.
Misalnya seorang wanita ditinggal wafat suaminya pada tanggal 1 Muharram jam 19.00 malam. Dalam kondisi ini berarti masa idahnya dihitung sejak tanggal 1 Muharram jam 19.00 itu, bukan saat suaminya di makamkan atau momen-momen yang lainnya. Adapun masa akhir idahnya berarti tinggal menghitung durasi empat bulan sepuluh hari sejak tanggal 1 Muharram jam 19.00 malam itu.
Jika suami wafat di siang hari-pun, maka penghitungannya tidak berubah. Misalnya wanita ditinggal wafat suaminya pada tanggal 1 Muharram jam 13.00 siang. Dalam kondisi ini berarti masa idahnya dihitung sejak tanggal 1 Muharram jam 13.00 itu, bukan saat suaminya di makamkan atau sehari kemudian yakni tanggal 2 Muharram atau momen-momen yang lainnya. Adapun masa akhir idahnya berarti tinggal menghitung durasi empat bulan sepuluh hari sejak tanggal 1 Muharram jam 13.00 siang itu.
Masa idah dengan penyebab talak atau fasakh juga sama seperti ini penghitungannya. Jika talak dilakukan jam 10.00 pagi, maka masa idah dihitung sejak jam itu dan tanggal di hari itu. Jika talak dilakukan jam 22.00 malam, maka masa idah dihitung sejak jam itu dan tanggal di hari itu.
Prinsip keempat, jika hari awal masa idah tiba pada tanggal munkasir (pecah/tidak genap) misalnya tanggal 10 atau 17 atau 20, bukan tanggal 1 (yang membuat perhitungan satu bulan menjadi genap nan mudah) maka penghitungan satu bulan dilakukan dengan cara langsung digenapkan ke angka 30, tanpa memperhatikan bulan apapun itu.
Misalnya awal masa idah jatuh pada tanggal 11 Muharram atau 18 Shafar atau 23 Rabi’ul Awwal. Dalam kondisi ini, untuk memperoleh hitungan SATU BULAN pada ketiga kasus tersebut, maka penggenapannya adalah ke angka 30 (bukan 29).
Jadi, untuk masa awal idah yang jatuh pada 11 Muharram berarti dia menjalani masa idah selama 19 hari di bulan itu dan dia “berutang” 11 hari untuk memperoleh hitungan satu bulan.
Untuk masa awal idah yang jatuh pada 18 Shafar berarti dia menjalani masa idah selama 12 hari di bulan itu dan dia “berutang” 18 hari untuk memperoleh hitungan satu bulan.
Untuk masa awal idah yang jatuh pada 23 Rabi’ul Awwal berarti dia menjalani masa idah selama 7 hari di bulan itu dan dia “berutang” 23 hari untuk memperoleh hitungan satu bulan.
Dan seterusnya. “Utang” hari pada contoh-contoh di atas nanti dipakai untuk “membentuk” bulan keempat.
An-Nawawi berkata,
وَإِنِ انْكَسَرَ، اعْتُبِرَ شَهْرَانِ بِالْهِلَالِ، وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرُ ثَلَاثِينَ مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 370)
Artinya,
“Jika tanggalnya munkasir/pecah (tidak genap) maka dua bulan selanjutnya dihitung dengan standar hilal/bulan sabit dan bulan munkasirnya disempurnakan ke angka 30 untuk menjadi bulan keempat” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 380)
Pemecahan Kasus
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, sekarang marilah kita pecahkan kasus yang ditanyakan.
Diketahui suami wafat tanggal 6 Sya’ban 1441 H/31 Maret 2020 jam 15.00 sore. Hal ini bermakna tanggalnya termasuk munkasir. Ia harus digenapkan ke angka 30 dan dijadikan bulan keempat.
Bulan pertama berarti dihitung dari bulan yang tidak munkasir, yakni bulan setelah bulan Sya’ban, artinya bulan pertama dimulai dari Ramadan.
Bulan kedua adalah Syawwal.
Bulan ketiga adalah Dzulqo’dah.
Bulan keempat dihitung dari tanggal munkasir dengan digenapkan ke angka 30 kemudian dimasukkan ke bulan Dzulhijjah.
Oleh karena awal masa idah adalah tanggal 6 Sya’ban 1441 H/31 Maret 2020 jam 15.00 sore, berarti wanita telah menjalani masa idah dibulan Sya’ban selama 24 hari. Karena angka penggenapnya adalah 30, berarti dia “berutang” 6 hari.
Waktu enam hari ini kemudian dimasukkan ke bulan Dzulhijjah. Dengan demikian pada tanggal 6 Dzulhijjah wanita telah menjalani masa idah selama empat bulan sempurna.
Tanggal enam ini kemudian ditambah sepuluh hari untuk menyelesaikan waktu akhir masa idah, sehingga ketemu tanggal 16 Dzulhijjah.
Jadi masa idah wanita berakhir pada 16 Dzulhijjah 1441 H yang bertepatan dengan 6 Agustus 2020 jam 15.00
Setelah jam 15.00 di tanggal itulah barulah wanita sudah selesai masa berkabung, diizinkan berdandan, boleh keluar rumah untuk kepentingan ma’ruf meskipun tidak mendesak, dan boleh dilamar terang-terangan, bahkan langsung melakukan akad nikah.
Wallahua’lam
2 Comments
Gilang
Assalamualaikum ustadz..mau nanya..setelah talak 3 kan amsa iddah 3bulan..untuk bisa menikah lagi berarti nunggu putusan pengadilan agama ya?? Setelah putusan pengadilan apa bisa menikah langsung ?? Atau ada masa iddah lagi??
Admin
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Setelah talak tiga masa idahnya bukan 3 bulan, tetapi 3 kali suci dari haid. Bisa lebih pendek dari 3 bulan bisa juga lebih panjang, tergantung silklus haid wanita yang ditalak.
Masa idah 3 bulan hanya berlaku untuk wanita yang belum haid atau wanita yang sudah memasuki usia menopause/berhenti haid.
Jika sudah selesai masa idah, maka sudah bisa langsung menikah. Tidak perlu menunggu putusan pengadilan, karena keputusan pengadilan itu hanya mengukuhkan saja. Wallahua’lam (Muafa)