Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pertengahan Mei 2016 di Tangerang, provinsi Banten, tiga orang pemuda melakukan tindakan kriminal yang menghebohkan masyarakat Indonesia. Eno Farihah, nama gadis malang yang menjadi korban, dibunuh dengan cara ditusuk kemaluannya menggunakan gagang cangkul. Gagang cangkul itu lumayan panjang. Berita-berita menyebutnya 65 cm dengan diameter 3 cm. Saat korban masih dalam keadaan hidup –tapi sekarat- salah seorang dari mereka memasukkan ujung gagang pacul itu tepat di kemaluan Eno. Begitu benda itu berada dilokasi yang diinginkan, dengan dengan penuh amarah dan kebuasan para pemuda itu mendorong sekuatnya ke tubuh Eno dengan cara menendangnya.
Dorongan dan tendangan itu rupanya demikian kuatnya sehingga kayu cangkul itu merobek hati Eno, tembus ke diafragma dan mengoyak paru-parunya. Hasil otopsi menginformasikan 90 % lebih gagang cangkul itu masuk ke tubuh Eno.
Anda bisa membayangkan bagaimana kira-kira ketakutan Eno sesaat sebelum kekejaman ini akan segera terjadi. Anda bisa membayangkan bagaimana kira-kira saat itu ekspresi wajahnya, bagaimana degup jantungnya, bagaimana getar sarafnya, bagaimana rintihannya, bagaimana jeritannya, bagaimana lolongannya (dengan dibekap bantal), bagaimana suaranya saat menghiba-hiba memohon ampun, dan bagaimana sekaratnya.
Eno yang malangpun mengalami pendarahan dalam. Berdasarkan otopsi, total ada 200 cc darah menggenang pada rongga dadanya dan 300 cc darah pada rongga perutnya. Dia tewas di kamar kosnya tanpa pernah dibayangkan oleh siapapun bahwa dia akan mati dengan cara setragis ini.
Anda juga bisa membayangkan bagaimana kira-kira perasaan ibunya yang sejak kecil merawatnya, menyusuinya, yang selalu bangun tengah malam untuk memenuhi keperluannya, yang sedih saat ia sakit, dan yang menyekolahkannya untuk memberikan pendidikan terbaik.
Anda juga bisa membayangkan bagaimana kira-kira perasaan ayahnya yang bekerja membanting tulang untuk mencukupi nafkahnya, yang mencandainya ketika pulang kerja saat Eno kecil, yang menggelitikinya sesekali sebagai ekspresi kasih sayang, yang mengajaknya bernyayi dengan lagu kanak-kanak, dan yang memiliki seribu kenangan indah bersamanya.
Di saat yang sama, Anda juga bisa membayangkan bagaimana ketiga pemuda yang telah kesetanan itu tidak mempedulikan semua permohonan dari gadis lemah nan malang itu, seakan-akan mereka bukan manusia. Mereka tanpa peduli meneruskan kekejaman itu, melanjutkan eksekusinya sampai Eno tewas tak bergerak lagi, kemudian dengan santainya mengunci kamar kosnya dan pergi seolah tanpa beban.
Kira-kira bagaimana perasaan kita sebagai manusia normal terhadap tiga pemuda tadi? Apa yang kira-kira ingin kita lakukan terhadap mereka?
Betul. Tentu wajar jika kita sangat geram. Ingin rasanya merajang-rajang mereka sebagai pembalasan perbuatan sekeji itu, andai saja tidak ada hukum, pengadilan dan hisab di akhirat.
Nah, sekarang bayangkan jika kekejaman yang dirasakan Eno ini dirasakan juga oleh seorang bayi. Bayi itu tidak dibunuh dengan cara yang dirasakan Eno, tetapi dibunuh dengan cara disembelih!
Yah, disembelih, seperti orang menyembelih ayam.
Orang yang pernah melihat ayam, atau kambing, atau sapi disembelih, paling tidak bisa membayangkan betapa horornya pemandangan penyembelihan manusia, apalagi penyembelihan seorang bayi.
Bayangkan. Seorang bayi yang sangat lucu.
Anda yang saat ini maish punya bayi, atau pernah merawat bayi, pasti bisa merasakan kalimat saya saat mengatakan bayi itu lucu. Sekarang bayangkan bayi yang amat lucu itu disembelih oleh sekelompok orang yang tak punya hati, hanya demi mempertahankan kekuasaannya.
Siapakah orang yang menyembelih bayi demi mempertahankan kekuasaan?
Dia adalah Fir’aun. Raja Mesir yang terkenal. Kisahnya disebutkan dalam banyak ayat di Al-Qur’an.
Konon, Fir’aun suatu malam bermimpi ada api dari Baitul Maqdis yang menjalar sampai ke Mesir, kemudian membakar habis semua yang ada di Mesir kecuali rumah-rumah Bani Israel. Mimpi itu kemudian ditakwilkan bahwa nanti akan muncul lelaki dari kalangan Bani Israel yang sanggup menghancurkan negara Fir’aun dengan tangannya. Berdasarkan takwil ini maka Fir’aun memerintahkan untuk menyembelih semua bayi Israel yang lahir dan berjenis kelamin laki-laki. Asy-Syaukani dalam Fathu Al-Qodir menukil riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Fir’aun mengirim 100 tentara untuk mengawasi setiap 1000 wanita. Entah berapa ratus atau bahkan ribu bayi tewas akibat kebijakan gila Fir’aun yang sangat kejam ini.
Akan tetapi, dengan kekajaman dan kekafiran selevel ini ternyata Allah masih demikian lembut dan sabarnya. Allah tidak lekas menghukum Fir’aun, tetapi masih memberinya kesempatan untuk bertaubat. Bahkan, Nabi Musa dan Nabi Harun yang diperintahkan Allah berdakwah kepadanya, mereka dipesani Allah untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir’aun! Allah berfirman,
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى} [طه: 43، 44]
Artinya,
“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Coba hayati.
Tidakkah Anda merasakan betapa Maha Sabarnya Allah?
Dia dikufuri, diingkari, dan hamba-hamba-Nya dijahati, tetapi Dia masih bisa bersikap lembut selembut-lembutnya dan tidak lekas menghukum padahal mampu.
Sekarang mari kita mencoba merenung untuk selalu optimis dengan rahmat Allah.
Apakah level kemaksiatan kita sudah sampai mencapai level kemaksiatan Fir’aun?
Apakah level pembangkangan kita sudah mencapai level pembangkangan Fir’aun?
Apakah level kekejaman kita sudah mencapai level kekejaman Fir’aun?
Apakah level kekufuran kita sudah mencapai level kekufuran Fir’aun?
Saya berhusnuzan, tidak ada di antara kita yang level kemaksiatan dan dosa yang dilakukan mencapai level dosa, kemaksiatan dan kekufuran yang dilakukan oleh Fir’aun.
Lalu, jika Fir’aun saja masih mendapatkan kelembutan dan kesabaran Allah dan diberi kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan rida-Nya, lantas alasan apa yang membuat kita berputus asa dari rahmat-Nya sehingga tidak segera meminta maaf atas segala dosa kita dan kembali di jalan-Nya?
Wahai engkau yang memuji Allah dengan lisannya,
tapi memuja dunia dengan hatinya…
Wahai engkau yang lahirnya penuh dengan simbol-simbol religius,
tetapi batin penuh dengan bangkai dan kebusukan…
Wahai engkau yang menampakkan kesalihan di depan umum,
tetapi melampiaskan syahwat saat sendiri…
Wahai engkau yang menjadi musuh iblis di keramaian,
Tapi menjadi sahabatnya diam-diam…
Wahai engkau yang menjalani hidup bagai kuburan,
indah di permukaan, tapi hancur rusak bagian dalam….
Sampai kapan engkau menunggu meminta maaf kepada Rabbmu setelah tahu sebesar ini kesabaran-Nya yang selalu menunggumu segera kembali kepada-Nya?
Ingatlah, menunda-nunda itu sungguh berbahaya.
Apalagi jika Allah sudah berulangkali mengirimkan tanda-tanda untuk memberi peringatan.
Jangan sampai seperti Fir’aun.
Disabari, dilembuti, dilempangkan jalan dan diberi kesempatan, tetapi selalu abai dan memilih kenikmatan dunia yang melingkunginya.
Akhirnya Allah murka kepadanya.
Jika Allah sudah murka, maka percuma seribu kata tobat dan maaf keluar dari mulut, karena saat itu Allah sudah menutup pintu rahmat-Nya dan memutuskan orang yang dimurkai-Nya itu masuk neraka selama-lamanya!
{ حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ (90) آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ} [يونس: 90، 91]
Artinya,
“Ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan. (tidak Aku tidak menerima taubatmu!)”
اللهم اجعلنا من التوابين واجعلنا من المتطهرين