Tanggal 11 April 2017 sekitar jam 05.10 WIB, Novel Baswedan disiram dengan menggunakan air keras pada wajahnya oleh orang tak dikenal di depan masjid Al-Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Serangan itu mengakibatkan mata kirinya tidak berfungsi sama sekali dan membuat mata kanannya hanya berfungsi 50 %.
Tindakan tersebut tentu saja jelas sebuah tindakan kriminal. Pertanyaannya, apa sanksi dalam syariat Islam terkait tindakan kejahatan seperti itu? Bagaimana pembahasan topik ini dalam perspektif fikih?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa topik ini dalam fikih dibahas pada bab jinayah (الجناية). Topik jinayah adalah pembahasan sistem hukum yang fokus pada kupasan sanksi untuk kejahatan penganiayaan terhadap manusia baik level berat seperti pembunuhan maupun level penganiayaan yang tidak sampai menimbulkan kematian.
Hubungannya dengan ajaran Islam yang lain, topik jinayah ini adalah jenis amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh negara terkait dosa terhadap sesama yang berhubungan dengan dam (darah). Kita tahu, amar makruf nahi mungkar itu bertingkat tingkat. Level yang paling tinggi untuk mencegah kemungkaran adalah dengan tangan. Jika tidak mampu maka dengan lisan. Jika tidak mampu maka dengan hati. Penerapan sistem sanksi untuk tindak kejahatan adalah implementasi mencegah kemungkaran dengan tangan dan itu hanya mungkin dilakukan oleh negara.
Terkait dosa terhadap sesama, hadis Nabi ﷺ menjelaskan pada intinya ada tiga macam. Yakni dosa yang terkait dengan dam (darah), dosa yang terkait dengan mal (harta) dan dosa yang terkait dengan ‘irdhun (kehormatan).
Contoh dosa yang terkait dengan darah adalah membunuh, menyiksa, melukai, memukul dan semisalnya. Contoh dosa yang terkait dengan harta adalah mencuri, merampok, mengkorupsi dan semisalnya. Contoh dosa yang terkait dengan kehormatan adalah menggunjing, memfitnah, menuduh dusta, memaki-maki, mencitraburukkan dan semisalnya. Dosa-dosa yang terkait dengan darah diatur sistem sanksinya dalam kehidupan sosial dengan syariat qishash, diat, hukumah (الحكومة) dan semisalnya. Dosa-dosa yang terkait dengan harta juga diatur sistem sanksinya dalam kehidupan sosial dengan syariat potong tangan, denda dan semisalnya. Dosa-dosa yang terkait dengan kehormatan diatur sistem sanksinya dalam kehidupan sosial di antaranya dengan syariat qodzaf. Hanya saja kebanyakan dosa seperti ini ancamannya adalah siksa di akhirat, tidak diatur secara khusus dalam sistem pidana yang diterapkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kembali ke kasus Novel Baswedan.
Jenis kejahatan yang menimpa Novel Baswedan adalah jenis penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa. Jenis kejahatan seperti ini penjelasan sanksinya dalam fikih dibahas dalam topik al-qishash fi al-athraf (القصاص في الأطراف).
Prinsip umum semua tindakan penganiayaan dalam syariat Islam adalah dihukum setara sesuai dengan tindakan penganiayaan itu. Jadi, orang membunuh hukumannya juga dibunuh. Orang memotong telinga orang lain hukumannya juga dipotong telinganya. Orang mencongkel mata orang lain hukumannya juga dicongkel matanya. Sanksi setara seperti ini dinamakan dengan istilah qishash (القصاص).
Hanya saja, untuk penganiayaan yang levelnya tidak sampai menghilangkan nyawa orang lain, ada tujuh syarat yang harus dipenuhi agar qishash bisa dilaksanakan. Tujuh syarat tersebut adalah,
Pertama, penganiaya berstatus balig. Jika pelaku tindakan penganiayaan statusnya tidak balig, yakni masih anak-anak maka kejahatannya tidak dihukum dengan qishash tetapi cukup dibayarkan diatnya
Kedua, penganiaya berstatus berakal. Jika jika pelaku tindakan penganiayaan statusnya tidak berakal, yakni gila maka kejahatannya tidak dihukum dengan qishash tetapi cukup dibayarkan diatnya
Ketiga, penganiaya bukan ayah bagi yang dianiaya. Sebab berdasarkan hadis, ayah yang membunuh anaknya tidak dihukum qishash tetapi membayar diat
Keempat, penganiaya tidak beda status dengan yang dianiaya dari sisi kekufuran atau perbudakan atau pelaksanaan sanksi. Jika penganiaya muslim dan yang dianiaya kafir harbi, maka muslim tersebut tidak diqishash. Jika penganiaya orang merdeka dan yang dianiya budak maka orang merdeka tersebut tidak diqishash. Jika penganiaya tersebut menjalankan hukum Islam, misalnya dia petugas pemotong tangan pencuri maka dia tidak diqishash karena pekerjaannya tersebut
Kelima, kesamaan nama spesifik anggota tubuh (al-isytirak fi al-ismi al-khosh/mumatsalah). Jika tidak sama, misalnya penganiaya memotong telinga kanan orang, padahal dia sendiri sudah tidak punya telinga kanan. Dalam kasus ini tidak boleh telinga kiri penganiaya dipotong sebagai qishash, tetapi sanksinya berpindah ke diat.
Keenam, salah satu anggota tubuh yang terkait dengan tindak penganiayaan tidak boleh ada kelumpuhan (an la yakuna biahadi ath-tharafain syalal) dengan makna tidak boleh penganiaya lebih “rugi”. Contohnya penganiaya kedua tangannya sehat. Yang dianiaya tangan kanannya lumpuh. Lalu penganiaya memotong tangan kanan yang lumpuh ini. Dalam kasus ini penganiaya tidak boleh dipotong tangan kanannya yang sehat karena dia “rugi”. Jadi, jika sama-sama lumpuh maka bisa diberlakukan qishash. Termasuk bisa diberlakukan qishash jika penganiaya “untung” misalnya miliknya lumpuh sementara yang dianiaya sehat.
Ketujuh, yang dianiaya terjaga darahnya karena iman atau akad perlindungan. Jadi pembunuhan terhadap kafir harbi fi’lan tidak berkonsekuensi qishash. Tetapi pembunuhan terhadap kafir dzimmi atau kafir mu’ahad berkonsekuensi qishash
Menghilangkan fungsi mata termasuk kejahatan yang diterapkan padanya qishash karena sifatnya menghilangkan manfaat salah satu anggota tubuh dan terealisasi unsur mumatsalah (kesepadanan) untuk dibalaskan tindakan serupa pada sang penganiaya. Asy-Syirbini berkata,
وَيجب الْقصاص فِي فقء عين (الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع (2/ 501)
Artinya,
“Qishash wajib pada kasus pencongkelan mata” (Al-Iqna’, juz 2 hlm 501)
Adapun alat untuk melaksanakan qishash ini, maka itu disesuaikan dengan alat yang dipakai penganiaya untuk melaksanakan kejahatannya. Pembunuh yang membunuh dengan pedang diqishash dengan pedang juga. Pembunuh yang membunuh dengan pemukulan di area kepala memakai batu juga diqishash dengan hantaman batu pada kepalanya. Orang yang mencongkel mata orang lain dengan belati diqishash dengan dicongkel matanya memakai belati juga. Jadi, orang yang membuat mata orang lain menjadi buta memakai air keras maka matanya juga harus dibutakan dengan air keras juga. An-Nawawi berkata,
ومن قتل بمحدد أو خنق أو تجويع ونحوه اقتص به (منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه (ص: 277
Artinya,
“Barangsiapa membunuh dengan besi, atau dengan cekikan atau dengan dibuat lapar, maka dia diqishash dengan alat yang ia pakai untuk membunuh itu” (Minhaj Ath-Thalibin, hlm 277)
Hanya saja, pada kasus Novel Baswedan, kerugian yang beliau alami bukan hanya satu mata yang 100% tidak berfungsi. Mata beliau yang lain juga cacat, yakni hanya berfungsi 50%. Untuk jenis cacat penganiayaan seperti ini, sulit diterapkan qishash. Oleh karena itu, khusus untuk mata yang cacat 50% itu hukumannya adalah denda dibawah diat yang dinamakan dengan istilah hukumah (الحكومة). Penerapan denda yang dinamakan hukumah sebagai pengganti qishash yang sulit dilakukan ini dijelaskan Asy-Syirbini dalam Mughni Al-Muhtaj sebagai berikut,
(وَلَهُ حُكُومَةُ الْبَاقِي) لِتَعَذُّرِ الْقِصَاصِ فِيهِ (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج (5/ 259
“Dia berhak mendapatkan hukumah (sebagai ganti rugi anggota tubuhnya) yang tersisa, karena sulit diimplementasikan qishash terhadapnya” (Mughni Al-Muhtaj, juz 5 hlm 259)
Wallahua’lam