PERTANYAAN
Bagaimana jika kondisi keuangan mantan suami pas-pasan untuk menyediakan rumah khusus bagi istri yg ditalaknya? Misalnya hanya ada 1 rumah, tentu menimbulkan fitnah jika keduanya 1 atap dalam masa itu. Apakah laki-laki harus mengalah keluar dari rumah itu selama masa idah? Misal tidur di masjid dan sebagainya.
Atau bolehkah mantan istri tinggal di rumah keluarganya jika sama-sama ada kerelaan untuk kondisi keterbatasan mantan suami menyediakan rumah? Mohon penjelasannya ustadz. (Bq Laela)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Rumah tempat wanita menjalani masa idah adalah rumah milik suami tempat terjadinya firoq/perpisahan dengan talak itu. Tidak boleh di rumah keluarga istri, meski dengan kesepakatan mereka berdua sekalipun.
Adapun terkait hukum tinggal serumah dengan istri yang ditalak maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Hukum asalnya haram suami tinggal serumah dengan istri yang ditalaknya, karena hal itu bisa mengantarkan pada khalwat sementara hukum khalwat dengan istri yang ditalak dari sisi keharaman sama dengan hukum khalwat dengan wanita ajnabiyyah (asing). An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Haram bagi suami tinggal bersama wanita yang menjalani masa iddah di rumah tempat dia menjalin masa iddah itu dan haram pula masuk berduaan dengannya karena itu bisa mengantarkan pada khalwat dengannya sementara hukum khalwat dengannya sama seperti hukum khalwat dengan wanita asing” (Raudhatu Ath-Thalibin, juz 8 hlm 418)
Boleh tinggal dengan istri yang ditalak serumah dalam dua kondisi.
Pertama, di rumah tersebut ada mahram laki-laki atau mahram wanita atau yang semakna dengan mahram (misalnya pembantu atau madu wanita itu).
Mahram disyaratkan minimal mumayiz. Tidak boleh masih anak-anak atau gila. Fungsi adanya orang ketiga ini adalah untuk mencegah terjadinya kemungkaran.
Kedua, tidak ada mahram tapi ada kamar terpisah lengkap dengan marafiqnya (semua fasilitas kebutuhan sehari-hari seperti tempat istirahat, dapur, kamar mandi dan lain-lain). Jika fasilitas itu jadi satu dengan suami, maka tidak boleh. Jika dipisah dengan sekat, maka boleh. Jika rumah ada dua lantai, istri di atas dan suami di bawah, maka itu boleh karena seperti dua kamar bahkan lebih baik daripada dua kamar.
Jika rumah hanya mungkin ditinggali satu pasangan suami istri dan tidak mungkin ditambah lagi orang lain (misalnya hanya tersedia satu kamar), maka suami wajib meninggalkan rumah idah tersebut dan berpindah ke tempat lain untuk sementara. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika kondisinya tidak seperti itu, maka suami wajib untuk menyerahkan rumah itu kepada wanita yang menjalani masa iddah tersebut dan suami wajib berpindah darinya” (Raudhatu Ath-Thalibin, juz 8 hlm 418)
Wallahua’lam