Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kelompok di dunia Islam yang dikenal meyakini bahwa Abū Ṭālib telah masuk Islam adalah Syiah. Adapun Sunni, secara umum meyakini bahwa Abū Ṭālib wafat dalam keadaan belum masuk Islam. Hanya saja, ada salah satu ulama Al-Syāfi‘iyyah yang berpendapat Abū Ṭālib akan selamat di akhirat. Nama beliau adalah Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H). Beliau mengarang kitab khusus untuk menguatkan pandangan ini dalam karya berjudul Asnā Al-Maṭalib fī Najāti Abī Ṭālib. Dalam kitab tersebut, ada sejumlah nama yang disebut memiliki pandangan yang sama. Di antaranya, Muhammad bin Rasūl Al-Barzanjī, Al-Ujhūrī, Al-Tilimsānī, Al-Suyūṭī, Ahmad bin Al-Ḥusain Al-Mauṣilī Al-Ḥanafī, Muhammad bin Salāmah Al-Qaḍa‘ī, Al-Qurṭubī, Al-Subkī, dan Al-Sya’rānī.
Karya lain dalam topik ini adalah Bugyatu Al-Ṭalib li Īmāni Abī Ṭalib yang dinisbahkan ke Al-Barzanjī atau Al-Suyūṭī, Iṡbātu Islāmi Abī Ṭalib karya Muhammad Mu‘īn Al-Hindī Al-Ḥanafī (w. 1161 H), Al-Sahmu Al-Ṣa’ib li Kabidi Man Āżā Abā Ṭālib karya Muhammad Al-Ṣayyādī Al-Rifā‘ī (w. 1327 H), Gāyatu Al-Maṭālib fī Bahṡi Īmāni Abī Ṭālib karya Ali Kabir Al-Husaini (w. 1285 H), Faiḍu Al-Wāhib fī Najāti Abī Ṭālib karya Ahmad Faiḍī Al-Ḥanafī (w. 1327 H), dan Abu Ṭālib Baṭalu Al-Islām karya Ḥaidar Al-‘Urfī.
Di kalangan tokoh kontemporer, Hasan ‘Alī Al-Saqqāf juga punya pandangan senada dan membuat tulisan berjudul As-Sayyid Abū Ṭalib ‘Ammu Al-Nabī ﷺ Mu’minu Quraisy.
Khusus untuk Ahmad Zaini Dahlan, oleh karena beliau menulis kitab yang membuktikan selamatnya Abū Ṭālib, maka beliau diserang oleh Rāsyid Ahmad Al-Katkūtī, pengarang kitab Al-Barāhīn Al-Qāṭi‘ah ‘Ala Ẓalāmi Al-Anwār Al-Sāṭi ‘ah –sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rāsyid Riḍā saat memberi pengantar kitab berjudul Ṣiyānatu Al-Insān ‘an Waswasati al-Syaikh Daḥlān dengan mengatakan bahwa Syaikh Daḥlān disuap oleh orang Syiah Baghdad untuk menulis kitab tersebut. Hanya saja, ini adalah tuduhan. Setiap tuduhan semestinya menyatakan bukti, kecuali jika peristiwanya memang mutāwatir. Jika tidak ada bukti maka menjaga kehormatan seorang muslim tetap wajib, lebih-lebih kepada tokoh yang dikenal sebagai ulama.
Lepas dari semua itu, kesimpulan saya untuk sementara pendapat yang mengatakan bahwa Abū Ṭālib selamat di akhirat di kalangan ulama sunni adalah pendapat minoritas. Bahkan mungkin juga disebut syāż karena demikian takalluf-nya dalam berhujah.
Ulama-ulama besar seperti Ibnu ‘Asākir, Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, Al-Baihaqī, Ibnu Katsir dan lain-lain menegaskan Abū Ṭalib tidak masuk Islam. Saya mengikuti pendapat ini.
Berikut ini disajikan sejumlah argumentasi yang menunjukkan bahwa Abū Ṭalib memang wafat dalam keadaan tidak memeluk Islam.
Pertama,
Abū Ṭālib dinyatakan masuk neraka dalam banyak hadis sahih. Muslim meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ، يَقُولُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا طَالِبٍ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ فَهَلْ نَفَعَهُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَجَدْتُهُ فِي غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ، فَأَخْرَجْتُهُ إِلَى ضَحْضَاحٍ». صحيح مسلم (1/ 195)
Artinya,
“Dari Abdullah bin al-Harits dia berkata: “Saya mendengar al-Abbas berkata: ‘Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu Abu Thalib melindungimu dan menolongmu, apakah hal tersebut memberikan kemanfaatan kepanya? ‘ Beliau menjawab: ‘Ya. Aku mendapatinya dalam kobaran yang dalam di neraka lalu aku mengeluarkannya ke dalam neraka yang paling dangkal apinya.” (H.R.Muslim)
Riwayat lain,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذُكِرَ عِنْدَهُ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ فَقَالَ: «لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُهُ» صحيح مسلم (1/ 195)
Artinya,
“Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah ﷺ pernah disebutkan di dekatnya tentang pamannya, Abu Thalib. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Semoga syafaatku dapat menolongnya pada Hari Kiamat sehingga dia diletakkan di dalam Neraka yang paling dangkal, apinya mencapai mata kakinya yang membuat otaknya mendidih.”
Riwayat lain,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ» صحيح مسلم (1/ 196)
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Penduduk neraka yang siksanya paling ringan adalah Abu Thalib, dia memakai sandal dengan dua sandal yang mana otaknya mendidih karena panas keduanya.”
Hadis-hadis seperti ini banyak sekali, diriwayatkan banyak imam ahli hadis dan tersebar dalam banyak kitab-kitab hadis sahih. Mustahil mengingkari hal ini.
Jadi, berdasarkan hadis-hadis di atas dan semisalnya, Abū Ṭālib ditegaskan masuk neraka. Padahal seumur hidupnya diisi dengan kebaikan terhadap Rasulullah ﷺ. Hal seperti ini memustahilkan Abū Ṭālib seorang muslim. Dua orang wanita yang menyusui Ibrāhīm, putra Rasulullah ﷺ saja bisa masuk surga meski kebaikannya “hanya” menyusui . Apalagi kebaikan Abū Ṭālib yang luar biasa banyak semenjak Rasulullah ﷺ masih usia 8 tahun sampai wafatnya beliau. Jadi, berita bahwa Abū Ṭālib masuk neraka menunjukkan Abū Ṭālib memang belum masuk Islam, sehingga seluruh kebaikannya ditolak oleh Allah karena memang Allah menjadikan semua kebaikan orang tidak beriman itu menjadi debu di akhirat. Allah berfirman,
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا } [الفرقان: 23]
Artinya,
Aku akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Aku akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (Q.S Al-Furqan; 23)
Allah juga menolak kebaikan Ibnu Jud‘an sebagaimana diberitakan Rasulullah ﷺ meskipun di masa jahiliah dia terkenal sebagai lelaki berakhlak baik yang gemar memberi makan orang miskin dan menyantuni kerabat dalam rangka silaturahmi. Ini menunjukkan bahwa kebaikan semata-mata tidak ada gunanya jika tidak beriman.
Kedua,
Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa hukuman asli untuk Abū Ṭālib di akhirat itu sebenarnya adalah dijebloskan ke dalam neraka yang paling bawah (fī al-daraki al-asfali min al-nār). Hanya saja Rasulullah ﷺ memberi syafa’at untuk Abū Ṭālib sehingga diringankan siksanya. Muslim meriwayatkan,
عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ، فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ، هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ» صحيح مسلم (1/ 194)
Artinya,
“Dari al-Abbas bin Abdul Muththalib bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah kamu dapat memberikan sesuatu manfaat kepada Abu Thalib? Sesungguhnya dia membelamu (yaitu menolong, menjaga, memenuhi segala keperluan) dan marah kepada musuhmu demi keselamatanmu? ‘ Rasulullah ﷺ menjawab dengan sabdanya: ‘Ya, dia berada di Neraka yang paling dangkal apinya. Kalaulah bukan karena aku, niscaya dia berada di Neraka yang paling dasar.”
Pernyataan Rasulullah ﷺ bahwa Abū Ṭālib mestinya berada di neraka paling dasar menunjukkan Abū Ṭālib memang tidak beriman, karena tidak ada mukmin yang diazab sampai di dasar neraka sebesar apapun dosanya.
Ketiga,
Menjelang Abū Ṭālib wafat, Rasulullah ﷺ mengajak Abū Ṭālib untuk mengucapkan syahadat. Muslim meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمِّهِ عِنْدَ الْمَوْتِ: ” قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَبَى “، فَأَنْزَلَ اللهُ: {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ} [القصص: 56] الْآيَةَ (صحيح مسلم (1/ 55)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda kepada pamannya ketika dia menjelang wafat: ‘Katakanlah, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah selian Allah’ niscaya aku akan bersaksi untukmu dengan kalimat tersebut pada hari kiamat.” Namun dia menolaknya, lalu Allah menurunkan: ‘(Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi) ‘ (Qs. Al Qashash: 56).
Ajakan Rasulullah ﷺ kepada pamannya untuk bersyahadat menjelang wafatnya menunjukkan Abū Ṭālib sampai menjelang wafat memang masih belum beriman. Sebab, tidak ada maknanya Rasulullah ﷺ mengajak mengucapkan syahadat untuk menyelamatkannya di akhirat jika Abū Ṭālib sudah muslim.
Ajakan syahadat itu tidak bisa dipahami talqin kepada muslim, sebab lafaz selanjutnya menunjukkan Abū Ṭālib menolak ucapan tersebut. Ini menunjukan Abū Ṭālib memang menolak untuk beriman, karena tidak ada muslim yang menolak talqin dengan sadar. Lanjutan hadis yang mengatakan bahwa peristiwa Rasulullah ﷺ tidak berhasil membujuk Abū Ṭālib untuk membaca syahadat sebagai asbabun nuzul bahwa Rasulullah ﷺ tidak bisa memberi petunjuk orang yang dicintainya menunjukkan bahwa Abū Ṭālib memang belum mendapatkan petunjuk Islam, alias masih belum beriman.
Keempat,
Dalam riwayat al-Bukhari ada lafal lugas bahwa Abū Ṭālib menegaskan bahwa dirinya mengikuti agama Abdul Mutthalib sebagaimana Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah seraya menolak kalimat tauhid. Ini menunjukkan Abū Ṭālib memang tidak beriman sebagaimana Abu Jahal. Al-Bukhārī meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الوَفَاةُ، دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ، فَقَالَ: «أَيْ عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ» فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ، حَتَّى قَالَ آخِرَ شَيْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ: عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ، مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ» فَنَزَلَتْ: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الجَحِيمِ} [التوبة: 113]. وَنَزَلَتْ: {إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ} [القصص: 56] (صحيح البخاري (5/ 52)
Artinya,
“Dari Ibnu Al Musayyab dari bapaknya bahwa ketika menjelang wafatnya Abu Thalib, Nabi ﷺ masuk menemuinya sementara di sampingnya ada Abu Jahal. Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah laa ilaaha illallah. Suatu kalimat yang akan aku pergunakan untuk menyelamatkan engkau di sisi Allah.” Maka berkata Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan meninggalkan agama ‘Abdul Muththalib?” Keduanya terus saja mengajak Abu Thalib berbicara hingga kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah dia tetap mengikuti agama ‘Abdul Muththalib. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku akan tetap memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.” Maka turunlah firman Allah (Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk memohonkan ampun bagi orang-orang musyrik sekali pun mereka itu adalah kerabat-kerabat mereka setelah jelas bagi mereka (kaum mu’minin) bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim) (QS. At-Taubah: 113). Dan turun pula firman Allah (Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai) (QS. Al Qashsash: 56 (H.R.Al-Bukhari)
Kelima,
Masih berdasarkan hadis pada argumentasi keempat, saat Abū Ṭālib menolak mengucapkan syahadat, dan menegaskan dirinya ikut agama Abdul Muṭṭalib, Rasulullah ﷺ bertekad memintakan ampun kepada Allah untuknya. Lalu turun ayat yang melarang mendoakan orang musyrik. Ini menunjukkan bahwa Abū Ṭālib memang wafat dalam keadaan musyrik. Jika Abū Ṭālib muslim, tidak mungkin Allah malarang Rasulullah ﷺ memintakan ampun untuknya.
Keenam,
Saat peristiwa Fatḥu Makkah (penaklukan kota Meka) Rasulullah ﷺ ditanya akan singgah di rumah di mana? Beliau menjawab tidak bisa singgah ke mana-mana karena memang tidak ada rumah pribadi untuk beliau. Warisan Abū Ṭalib hanya diwarisi ‘Aqīl dan Ṭālib karena keduanya kafir. Adapun ‘Alī dan Ja’far, keduanya tidak mendapatkan warisan Abū Ṭalib karena keduanya masuk Islam. Hal ini sangat kuat menunjukkan bahwa Abū Ṭalib memang belum masuk Islam karena seandainya masuk Islam seharusnya Alī dan Ja’far bisa mewarisinya. Al-Bukhārī meriwayatkan,
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ تَنْزِلُ فِي دَارِكَ بِمَكَّةَ؟ فَقَالَ: «وَهَلْ تَرَكَ عَقِيلٌ مِنْ رِبَاعٍ أَوْ دُورٍ»، وَكَانَ عَقِيلٌ وَرِثَ أَبَا طَالِبٍ هُوَ وَطَالِبٌ، وَلَمْ يَرِثْهُ جَعْفَرٌ وَلاَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، شَيْئًا لِأَنَّهُمَا كَانَا مُسْلِمَيْنِ، وَكَانَ عَقِيلٌ وَطَالِبٌ كَافِرَيْنِ، فَكَانَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: لاَ يَرِثُ المُؤْمِنُ الكَافِرَ [ص:148]، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانُوا يَتَأَوَّلُونَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} [الأنفال: 72] الآيَةَ (صحيح البخاري (2/ 147)
Artinya,
“Dari Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhuma bahwa Dia berkata: “Wahai Rasulullah, dimana anda akan singgah di Makkah ini?” Beliau berkata: “Apakah ‘Uqail meninggalkan rumah yang luas atau rumah-rumah?” ‘Uqail dan Thalib mendapatkan warisan dari Abu Tholib sedangkan Ja’far dan ‘Ali radliyallahu ‘anhuma tidak mewarisi sedikitpun karena keduanya adalah Muslim sedangkan ‘Uqail dan Thalib kafir. Dan adalah ‘Umar bin Al Khaththab radliyallahu ‘anhu berkata: “Seorang mu’min tidak mewariskan kepada orang yang kafir”. Ibnu Syihab berkata: “Mereka menafsirkan firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan menolong (orang yang berhijrah) mereka itu satu sama lain saling melindungi}. (Al Anfal: 72)
Ketujuh,
Abū Ṭalib tidak dimasukkan para ulama dalam daftar biografi sahabat Nabi ﷺ . Seandainya Abū Ṭalib masuk Islam, seharusnya beliau masuk dalam daftar sahabat. Faktanya, tidak ada kitab-kitab biografi Sahabat nabi ﷺ yang memasukkan nama Abu Ṭālib sebagai shahabat. Sebagian kitab biografi shahabat yang memasukkan nama Abū Ṭālib dalam pembahasan, misalnya kitab Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī yang bernama Al-Iṣabah fī Tamyīzi Al-Ṣaḥabah justru untuk menegaskan dan membuktikan bahwa beliau bukan sahabat, tidak seperti yang diklaim kelompok Syiah.
Inilah tujuh argumentasi terpenting yang membuktikan kekuatan pendapat yang mengatakan bahwa Abū Ṭālib belum beriman. Sebagaimana di singgung di atas, pendapat ini adalah pendapat ulama-ulama besar nan terkenal seperti Ibnu ‘Asākir, Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, Al-Baihaqī, Ibnu Katsir dan lain-lain.
Adapun semua riwayat yang mengatakan Abū Ṭālib masuk Islam, maka semuanya bermasalah dan tidak ada satupun yang bisa diterima. Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī menjelaskan dengan indah semua kelemahan riwayat yang mengklaim keislamannya dalam kitab yang bernama Al-Iṣabah fī Tamyīzi Al-ṣaḥabah.
KRITIK TERHADAP PENDAPAT YANG BERBEDA
Ada sejumlah argumentasi yang dipakai pendapat yang meyakini bahwa Abū Ṭālib sudah masuk Islam. Berikut ini dipaparkan di antara argumentasi-argumentasi itu berikut bantahannya.
Argumentasi Pertama,
Tidak ada riwayat bahwa Abū Ṭālib menyembah berhala.
Bantahan,
Tidak ada riwayat bukan berarti tidak ada. Riwayat sahih menunjukkan Abū Ṭālib tegas mengikuti agama nenak moyang, yakni agama Abdul Muṭṭalib, bukan agama Islam. Agama nenek moyang Arab adalah penyembahan berhala dan kemusyrikan, bukan Islam.
Argumentasi Kedua,
Abū Ṭālib memuji agama Nabi Muhamad ﷺ terutama dalam sejumlah syair. Pujian ini menunjukkan Abū Ṭālib sudah masuk Islam.
Bantahan:
Ini argumentasi utama Syiah untuk membuktikan keislaman Abū Ṭālib. Pujian tidak selalu bermakna masuk Islam, Buktinya, Heraklius memuji Rasulullah ﷺ dan memuji Islam tapi tidak masuk Islam. Al-Walīd bin Al-Mugīrah juga memuji luar biasa Al-Qur’an tapi tetap kafir. Muqauqis juga menyambut baik utusan dakwah Rasulullah ﷺ tapi tidak masuk Islam. Banyak orientalis memuji Islam tapi mereka tetap kafir. Kita juga punya banyak kenalan yang memuji dan menghormati islam tapi tetap kafir. Jadi ucapan baik tentang Islam tidak menunjukkan pengucapnya masuk Islam.
Lagipula, ucapan-ucapan dan syair Abu Ṭālib diriwayatkan dengan kualitas riwayat yang tidak seketat periwayatan hadis. Seandainya riwayat-riwayat dan syair Abu Ṭālib diterima, maka ada riwayat dengan kualitas sama yang sangat lugas menyebut Abu Ṭālib tidak sanggup meninggalkan agama nenek moyang. Hal ini sangat tegas menunjukkan Abu Ṭālib tidak bersedia masuk Islam. Ibnu Hisyām mengutip ucapan Abu Ṭālib sebagai berikut,
فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: أَيْ ابْنَ أَخِي، إنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أُفَارِقَ دِينَ آبَائِي وَمَا كَانُوا عَلَيْهِ
Artinya,
“Abū Ṭālib berkata, ‘Wahai putra saudaraku, sesungguhnya aku tidak mampu meninggalkan agama nenek moyangku dan tradisi mereka”
Argumentasi Ketiga,
Abū Ṭālib siksanya ringan. Tidak ada orang kafir yang siksanya ringan
Bantahan,
Ringan dan beratnya siksa tidak menunjukkan orang tersebut muslim, sebab siksaan orang kafir memang bertingkat-tingkat sesuai tingkat kejahatannya. Kafir yang “baik” siksanya paling ringan. An-Nawawi berkata,
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَقَدِ انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى أَنَّ الْكُفَّارَ لَا تَنْفَعُهُمْ أَعْمَالُهُمْ وَلَا يُثَابُونَ عَلَيْهَا بِنَعِيمٍ وَلَا تَخْفِيفِ عَذَابٍ لَكِنَّ بَعْضَهُمْ أَشَدُّ عَذَابًا مِنْ بَعْضٍ بِحَسَبِ جَرَائِمِهِمْ (شرح النووي على مسلم (3/ 87)
Artinya,
“Al-Qāḍī ‘Iyād raḥimahullāhu ta‘ālā berkata, ‘Telah ada ijmak bahwasanya orang-orang kafir itu amal mereka tidak bermanfaat bagi mereka dan mereka tidak dibalas dengan kenikmatan dan tidak pula diringankan azabnya. Akan akan tetapi sebagian dari mereka lebih keras siksanya daripada sebagian yang lain sesuai dengan kejahatan mereka” (Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 3 hlm 87)
Orang kafir memang bisa diringankan siksanya karena kebaikannya. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Al-Baihaqī berkata, ‘Bisa jadi hadis Ibnu Jud‘ān termasuk ayat-ayat dan riwayat yang menunjukkan sia-sianya kebaikan orang kafir jika mati dalam kekufuran itu ada untuk menunjukkan bahwa tidak ada peluang bebas dari neraka dan masuk kedalam surga. Akan tetapi diringankan darinya azabnya yang semestinya ia dapatkan karena kejahatannya -kecuali kekufuran- karena kebaikan yang ia lakukan.” (Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 3 hlm 87)
Argumentasi keempat,
Fatimah binti Asad masuk Islam sementara beliau adalah istri Abū Ṭālib. Tidak mungkin muslimah dibiarkan Rasulullah ﷺ menjadi istri kafir.
Bantahan,
Larangan menikah dengan suami kafir turun belakangan. Jadi, di masa Abū Ṭālib masih hidup, memang pernikahan beda agama masih belum dilarang. Ini sama seperti kasus Zainab putri Rasulullah ﷺ yang menikah dengan Abu Al-‘Āṣ yang masih kafir. Harus diingat, Abū Ṭālib wafat pada tahun kesedihan (‘āmu al-huzni), yakni 3 tahun sebelum hijrah. Sementara larangan nikah beda agama baru turun saat perjanjian Hudaibiyah, yakni tahun 6 H.
Argumentasi kelima,
Abū Ṭālib sebenarnya masuk Islam diam-diam sebagai tindakan politis untuk mendukung dakwah Nabi ﷺ.
Bantahan,
Jika Abū Ṭālib memang masuk Islam diam-diam, maka tidak ada maknanya Rasulullah ﷺ meminta beliau mengucapkan syahadat menjelang wafat. Juga tidak ada maknanya Rasulullah ﷺ beristighfar untuknya selama tidak dilarang. Juga tidak ada maknanya Allah melarang memintakan ampun orang musyrik untuk merespon istighfar Nabi ﷺ terhadap Abū Ṭālib. Juga tidak ada maknanya ayat yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak bisa memberi petunjuk orang yang dicintainya saat gagal membuat Abū Ṭālib bersyahadat. Juga tidak ada maknanya pernyataan Nabi ﷺ bahwa hukuman asli Abū Ṭālib adalah masuk neraka paling dasar. Semua bukti ini menunjukkan bahwa beliau tidak pernah masuk Islam diam-diam.
Argumentasi keenam,
Abu Ṭālib banyak membantu Rasulullah ﷺ. Tidak mungkin membantu jika tidak masuk Islam
Bantahan,
Tidak selalu membantu itu bermakna beragama sama dengan yang dibantu. Al-Muth‘im bin ‘Adī contohnya. Tokoh ini sangat baik kepada kaum muslimin dan Rasulullah ﷺ, bahkan melindungi Rasulullah ﷺ juga. Tapi semua sepakat dia tidak masuk Islam dan wafat dalam keadaan tidak pernah memekuk Islam. Alangkah banyak juga kita saksikan di zaman sekarng orang tua yang mendukung penuh anaknya yang masuk Islam padahal orang tua masih non Islam sementara anaknya sudah mualaf.
Argumentasi ketujuh,
Rasulullah ﷺ memberi syafaat untuk Abu Ṭālib , berarti Abu Ṭālib muslim, sebab tidak ada syafaat untuk orang kafir
Bantahan,
Rasulullah ﷺ memberi syafa’at kepada orang yang tidak masuk Islam, yakni pamannya sendiri; Abu Ṭālib adalah khuṣuṣiyyah Rasulullah ﷺ . Ibnu Ḥajar berkata,
وَاسْتُشْكِلَ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي بِقَوْلِهِ تَعَالَى فَمَا تنفعهم شَفَاعَة الشافعين وَأُجِيبَ بِأَنَّهُ خُصَّ وَلِذَلِكَ عَدُّوهُ فِي خَصَائِصِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (فتح الباري لابن حجر (11/ 431)
Artinya,
“Sabda nabi ﷺ yang berbunyi ‘Syafaatku bermanfaat baginya’ dipandang sebagai persoalan pelik jika dibandingkan dengan firman Allah ta’ala ‘Syafaat orang yang memberi syafaat tidak memberi manfaat bagi mereka’. Hal ini bisa dijawab bahwasanya yang demikian itu dikhususkan untuk Rasulullah dan para ulama menghitungnya sebagai kekhususan nabi ﷺ “ (Fatḥu Al-Bārī, juz 11 hlm 431)
Argumentasi kedelapan,
Anda tidak sopan sekali. Kenapa pula membawa-bawa isu kekafiran paman Nabi ﷺ ? Sahabat saja dilarang Nabi ﷺ menyebut keburukan Abu Jahal saat Ikrimah masuk Islam untuk menjaga perasaannya. Apakah Anda menganggap tidak perlu menjaga perasaan Rasulullah ﷺ ?
Bantahan,
Pembahasan status kekafiran Abu Ṭālib bukan untuk menghina tapi iḥqāqul ḥaqq, waḍ‘u al-syai’ mauḍi‘ahū, dan menjelaskan perkara din. Paman Nabi ﷺ yang bernama Abu Lahab jelas kafir dan tidak ada ulama yang mengatakan kita tidak sopan kepada Nabi ﷺ saat menjelaskan kekafiran Abu Lahab. Tapi justru itu memberi pelajaran penting dalam din bahwa dalam agama, hubungan kekerabatan itu tidak menjamin keselamatan di akhirat.
Hanya saja pembahasan status agama Abū Ṭālib tidak bermakna bolehnya mengucapkan kata-kata buruk terhadapnya atau membencinya. Sebab, meskipun tidak beriman, Abū Ṭālib memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki Abū Lahab atau kerabat Nabi ﷺ yang lain. Abū Ṭālib melindungi Rasulullah ﷺ sepanjang hidupnya dan sangat baik kepada beliau. Kebaikan inilah yang membuat siksanya diringankan. Sejumlah ulama bahkan bersikap keras terhadap siapapun yang berani berkata buruk terhadap Abū Ṭālib. Di antaranya adalah Ibnu Wahsyī Al-Ḥanafī, ‘Alī Al-Ujhūrī Al-Mālikī, At-Tilimsānī, dan lain-lain.
Wallahua’lam.