Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ada satu ungkapan yang cukup terkenal di kalangan pemerhati ilmu hati dan pembersihan jiwa. Ungkapan kira-kira secara makna begini bunyinya,
“Menyembah Allah karena takut neraka adalah ibadah budak. Menyembah Allah karena mengharap surga adalah ibadah pedagang. Hamba sejati adalah yang menyembah karena cinta”.
Ungkapan ini memberi kesan sekilas bahwa orang yang beribadah karena mengharap surga atau neraka berarti tidak ikhlas. Pertanyaannya, benarkah ingin masuk surga dan takut neraka itu berarti masih ada pamrih sehingga disebut tidak ikhlas?
Jawaban singkatnya adalah tidak benar.
Ada sejumlah argumentasi yang menunjukkannya.
PERTAMA,
Cinta (ḥubb/maḥabbah) kepada Allah itu tidak bertentangan dengan rasa takut (khāuf) kepada-Nya dan harapan (rajā’) kepada-Nya.
Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Makna ibadah itu menghimpun sifat maḥabbah (cinta), tażallul (menghinakan diri), khauf (takut), rajā’ (berharap), ta‘ẓīm (mengagungkan) dan ittikāl (pasrah) kepada Allah. Jadi, tidak perlu mempertentangkan takut kepada Allah, takut dengan siksanya, mengharap surganya dengan cinta kepada Allah, karena itu semua adalah makna ibadah. Mereka yang menghimpun semua sifat itu adalah hamba Allah sejati.
Orang cinta kepada Allah saja tanpa pernah takut sedikitpun kepada-Nya berarti dia tidak mengenal Allah, karena Allah itu punya sifat Syadīdul ‘Iqāb (sangat keras siksanya) dan muntaqim (Maha Membalas Keras).
Orang yang full takut saja kepada Allah, tanpa bisa merasakan cinta kepada-Nya berarti dia juga belum mengenal Allah, sebab Allah itu Rahīm (Maha Penyayang), Razzāq (Maha Memberi), Ḥalim (Maha sabar) nan Laṭīf (maha lembut).
Cinta saja sampai level tak tahu diri dikuatirkan mengikuti jejak Nasrani dan Yahudi, karena mereka adalah kaum yang mengklaim mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Yahudi dan Nasrani adalah umat yang merasa mereka sebagai kekasih Allah karena mereka mengklaim sangat cinta kepada-Nya. Allah berfirman,
Artinya,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya” (Al-Maidah; 18)
Bahkan, orang yang menyembah Allah dengan cinta saja itu punya peluang banyak melakukan dosa halus yang tak kelihatan. Dosa yang sering menimpa orang yang menyembah Allah dengan cinta saja adalah dosa ujub (kagum dengan diri sendiri), ge-er terhadap Allah, dan merasa aman dari makar Allah. Seakan-akan merasa pasti seluruh amalnya diterima dan pasti mendapatkan rida Allah.
Ada orang yang merasa dirinya mabuk cinta kepada Allah lalu mengucapkan kata-kata cinta yang mana dengan kata-kata itu dia menyangka dirinya berada di level kekasih Allah yang sangat tinggi sehingga dia istimewa di hadapan-Nya, kemudian mengucapkan pernyataan keliru yang justru membuatnya diuji. Contohnya seperti kasus Samnun. Karena merasa mabuk cinta kepada Allah, dia mengucapkan syair yang intinya dia merasa sudah benar-benar mabuk cinta kepada Allah sehingga memasrahkan kepadanya diuji dengan ujian apapun yang dikehendakinya. Akhirnya Allah membuatnya tidak bisa kencing selama 14 hari dan dia menggeliat-geliat seperti ular ke kanan dan ke kiri. Akhirnya dia baru sadar kebodohannya dan meminta anak-anak kuttāb untuk mendoakannya supaya disembuhkan. Jadi, fokus ke cinta saja itu keliru dan berbahaya karena menggiring pada sikap lalai dan cermin ketidaktahuan dahsyatnya siksa Allah dan lemahnya diri.
Cinta harus digabung dengan takut. Itulah tabiat asal penyembahan.
Oleh karena itu, perintah ibadah itu ketika diturunkan dalam bentuk syariat munculnya adalah perintah dan larangan. Perintah itu asasnya cinta Allah. Orang akan bisa melaksanakan perintah dengan ringan jika dia mencintai yang memerintahnya. Larangan itu asasnya takut kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Orang akan serius meninggalkan yang dilarang jika dia benar-benar takut kepada yang melarangnya.
Jadi tidak usah mempertentangkan antara cinta kepada Allah dengan takut kepada-Nya yang disertai harapan terhadap karunia-Nya.
Ibadah sejati itu harus menggabung semua sifat ibadah yakni menggabung cinta (ḥubb), takut (khauf), dan harapan (rajā’). Ibnu Taimiyyah menukil ucapan salaf bahwa menyembah dengan cinta saja adalah ibadahnya orang Zindiq. Menyembah dengan takut saja adalah ibadahnya Ḥarūrī/Khawārij. Menyembah dengan rājā’ saja adalah ibadahnya Murjiah. Ibnu Taimiyyah berkata,
Artinya,
“Sebagian salaf mengatakan, ‘Barangsiapa menyembah Allah dengan cinta saja maka dia zinqid. Barangsiapa menyembah-Nya dengan takut saja maka dia Ḥarūrī. Barangsiapa menyembah-Nya dengan harapan saja maka dia Murji’ah. Barangsiapa menyembah-Nya dengan cinta, takut, dan harapan maka dia mukmin” (Majmu’ Al-Fatāwā juz 15 hlm 21)
KEDUA,
Para nabi, para rasul, dan orang-orang salih, bahkan para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang menyembah-Nya dengan disertai perasaan takut akan siksanya. Bagaimana mungin cara ibadah mereka “direndahkan” dengan menyebutnya sebagai ibadah budak? Allah berfirman,
Artinya,
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Q.S. Al-Isra’; 57)
Dalam Al-Qur’an, Allah juga menggambarkan bahwa ibadah para nabi itu adalah ibadah yang menggabung antara rasa takut terhadap siksanya dan mengharap karunia-Nya seperti rahmat dan surga-Nya. Jika seperti ini gambaran ibadah para nabi, bagaimana mungkin cara ibadah mereka “direndahkan” dengan sebutan ibadah para pedagang? Allah berfirman,
Artinya,
“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Aku dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Aku (Al-Anbiya; 90).
KETIGA,
Rasulullah ﷺ banyak meminta surga dan berlindung dari neraka. Jika seperti ini ibadah nabi kita, apakah kita tidak kuatir terjatuh pada penghinaan dan kekufuran jika menyebut ibadah nabi sebagai ibadah budak dan ibadah pedagang?
Al-Bukhari meriwyatkan bahwa di antara doa yang paling banyak dibaca nabi adalah meminta kebaikan dunia akhirat dan meminta berlindung dari neraka. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Anas dia berkata: “Do’a yang paling banyak dipanjatkan Nabi ﷺ adalah: ‘RABBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH WAFIL AAKHIRATI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN NAAR Wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.'” (H.R. Al-Bukhārī)
Dalam riwayat Abu Dawud lebih tegas lagi disebut bahwa kebanyakan doa nabi ﷺ adalah meminta surga dan berlindung dari neraka. Ibnu Majah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bertanya kepada seorang laki-laki: “Apa yang engkau baca ketika shalat?” ia menjawab: “Aku membaca tasyahud, kemudian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Namun demi Allah, aku tidak dapat mendengar dandanahmu dan juga dandanah Mu’adz.” Beliau lantas bersabda: “Seputar itulah dandanah Kami (surga dan neraka).”H.R.Ibnu Mājah)
KEEMPAT,
Allah menceritakan kenikmatan surga dan segala keindahannya dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah juga menceritakan kengerian siksa neraka dengan segala gambarannya yang menakutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Buat apa Allah menceritakan kenikmatan surga dengan berbagai macam keindahannya jika bukan agar kita bersemangat dalam mengharap janji Allah? Buat apa Allah menyebut siksa yang mengerikan di akhirat dan menggambarkan neraka dengan berbagai azabnya yang menakutkan jika bukan agar kita takut dengan ancaman neraka-Nya?
KELIMA ,
Menyembah Allah itu wajib dengan raja’ sekaligus khauf. Harus dengan cinta tapi juga sekaligus takut. Sebab Allah mengenalkan diri kepada hamba-Nya sebagai Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang sehingga kita harus menyembah-Nya dengan rajā’, tetapi pada saat yang sama juga mengenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang siksanya sangat keras sehingga kita juga wajib menyembahnya dengan rasa takut. Allah berfirman,
Artinya,
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (Q.S. Al-Hijr; 49-50)
Raja’ dan khauf itu dua hal yang wajib diwujudkan dalam penyembahan kepada Allah. Keduanya bagai sayap burung. Siapapun yang menyembah Allah dengan salah satu saja maka dia akan binasa dan tidak akan sampai pada sasasaran yang ditarget. Al-Qurṭubī berkata,
Artinya,
“(Allah berfirman)’Serulah Dia (Allah, Tuhanmu) dengan rasa takut dan harapan’. (Al-Qurṭubī berkata)Ini adalah perintah agar manusia dalam keadaan waspada takut dan berharap kepada Allah azza wa jalla hingga harapan dan rasa takut pada manusia itu seperti dua sayap burung yang ia bawa dalam perjalanannya menempuh jalan istiqomah. Jika hanya salah satu yang dipakai maka binasalah manusia” (Tafsir Al-Qurṭubī, juz 7 hlm 227)
KEENAM,
Mengharap surga itu bermakna berharap anugerah tertinggi di surga yakni bisa melihat Allah di sana! Bukan sekedar kenikmatan fisik seperti makan, minum, berjimak dan melihat pemandangan indah. Takut neraka itu bermakna takut sekali murka Allah dan takut mendapatkan siksaan yang melebihi semua siksa di neraka, yakni terhijab dari Allah dan tidak mendaptkan kesempatan sedikitpun mendapatkan perhatian Allah apalagi melihat-Nya. Jadi bukan sekedar takut dengan nyala api, gergaji, air panas, pohon zaqqūm dan semisalnya. Jika ini makna mengharap surga dan takut neraka, mengapa dipertentangkan dengan cinta kepada Allah?
KETUJUH.
Surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Sangat jelas bahwa Allah mengunakan surga untuk membuat hamba-Nya bersemangat mendapatkan karunia-Nya dan menggunakan neraka untuk membuat hambanya bisa merasakan ketakutan yang haqq kepada-Nya. Jika keduanya “diremehkan”, apakah itu tidak bermakna meremehkan Allah yang membuatnya? Sama seperti orang yang menghina orang lain yang kebetulan berhidung pesek atau berkulit hitam atau berbadan cebol atau mengalami cacat tubuh. Bukankah itu semua ciptaan Allah? Jika kita meremehkan mereka apalagi menghina mereka bukankah itu sama dengan menghina yang menciptakannya?
Jadi, berdasarkan ketujuh argumentasi ini bisa dipahami bahwa beramal saleh mengharap surga dan takut terhadap neraka itu justru di antara praktek terindah ikhlas. Sebab, ikhlas itu bermakna memurnikan motivasi saat melakukan amal semata-mata karena Allah. Artinya, orang ikhlas itu pamrihnya hanya kepada Allah. Dia mengejar pujian Allah, dia “cari muka” kepada Allah, dia mengejar target supaya Allah rida kepadanya dan berharap dibalas Allah. Dia tidak butuh ucapan terima kasih manusia, tidak mengharap di balas manusia, tidak mengharap dikenang, tidak berharap harum namanya, tidak mengharap di hargai makhluk, tidak mengharap diingat, tidak mengharap dibicarakan, dan tidak mengharap dipopulerkan. Yang diharap cuma perhatian Allah, penghargaan Allah dan balasan saja, tidak ada yang lain. Ibnu ‘Āsyūr berkata,
Artinya,
“Anda telah mengetahui -berdasarkan penjelasan kami terkait syarat keuntungan bahwa yang dimaksud adalah keuntungan duniawi- bahwa harapan memperolah ganjaran dan menjauhi siksa itu termasuk dalam kandungan makna ikhlas karena itu semuanya kembali pada makna mendekatkan diri untuk memperoleh rida Allah ta’ala” (Al-Tahrīr wa Al-Tanwīr, juz 23 hlm 320)
Bahkan beramal saleh seraya mengharap balasan dari Allah inilah yang diperintahkan Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis nabi dengan istilah ihtisab (الاحتساب). Jadi, mengharap janji Allah adalah di antara seindah-indah praktek ikhlas yang diterapkan seorang muslim.
Oleh karena itu, pemahaman yang melarang atau merendahkan (atau minimal mengecilkan) orang yang menyembah Allah karena ingin masuk surga dan takut dengan neraka adalah pemahaman yang keliru. Ibnu Qayyim termasuk yang mengkritik pemahaman ini. Setelah beliau memaparkan kekeliruan pemahaman itu, beliau berkata dengan nada mengingkari,
Artinya,
“Bagaimana bisa dikatakan ‘Allah tidak disembah untuk meminta surga-Nya dan dan bukan juga karena takut terhadap neraka-Nya” (Madārij Al-Sālikīn, juz 2 hlm 80)
Adapun ucapan yang dinisbahkan kepada Rabi’ah Al-Adawiyyah berikut ini,
اللَّهمَّ، إِنْ كنتُ أعبدُكَ طمعًا في جنَّتك فاحْرِمْني منها، وإِنْ كنتُ أعبدُك خوفًا مِنْ نارك فاحْرِقْني فيها
Artinya,
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surgamu maka cegahlah aku untuk memasukinya dan jika aku menyembahmu karena takut dengan neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya”
Termasuk ucapan Abdul Ghani An-Nabulusi berikut ini,
Artinya,
“Barang siapa menyembah Allah karena takut dengan neraka-Nya berarti dia telah menyembah neraka. Barangsiapa menyembah Allah karena meminta surga maka dia telah menyembah berhala”
Maka itu bukan wahyu sehingga tidak seyogyanya dibahas seakan-akan menjadi sumber dalil yang harus dikompromikan dengan ayat–ayat Al-Qur’an maupun As-Sunah
Adapun jika maksudnya bukan meremehkan, atau merendahkan motivasi ingin masuk surga dan menghindari neraka, tetapi hanya ingin menunjukkan hak Allah misalnya mengatakan,
“Ya Allah, (semestinya) Aku menyembah-Mu bukan karena mengharap surga atau takut neraka tapi karena engkau memang berhak disembah meskipun tidak menciptakan surga dan neraka” lalu secara praktek tetap meminta surga dan berlindung dari neraka karena faktanya dia diciptakan sebagai manusia, bukan malaikat atau jamādāt, maka yang demikian itu ucapannya benar. Hanya saja sungguh bijaksana jika kalimat-kalimat “berat” seperti itu tidak dilemparkan kepada orang awam, karena bisa mengacaukan konsep-konsep dasar dalam Islam yang membuat orang salah paham terhadap makna ikhlas, tauhid dan penyembahan terhadap Allah.