Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Esensi pengacara sesungguhnya adalah wakil (الوكيل) dari pihak-pihak yang bersengketa dalam pengadilan. Ia ditunjuk seolah-olah menjadi juru bicara yang akan berbicara di depan hakim. Jika pengacara tersebut membela tergugat, maka dia akan menggunakan pengetahuannya tentang hukum untuk menyelamatkan pihak tergugat dari hukuman atau minimal meringankannya. Jika pengacara tersebut membela penggugat, maka dia akan menggunakan pengetahuannya tentang hukum untuk memperoleh hak yang mestinya didapatkan penggugat.
Di zaman Rasulullah ﷺ profesi pengacara belum ada. Di zaman itu pihak-pihak yang bersengketa akan langsung datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu masing-masing berbicara untuk kepentingan dirinya, lalu Rasulullah ﷺ mendengarkan, baru kemudian menghukumi dan mengadili. Seiring perkembangan zaman, tidak semua orang-orang yang berperkara mengerti detail-detail hukum, celah-celahnya, cara menuntut hak, cara membuktikan, cara menyangkal dan sebagainya sehingga melahirkan profesi baru yang disebut pengacara atau muḥāmī (المحامي) dalam bahasa Arab. Pengacara ini fungsinya adalah mewakili pihak-pihak yang berperkara untuk memperoleh keputusan hukum terbaik baginya.
Jika seperti ini fakta pengacara, berarti hukum menjadi pengacara adalah mubah karena pengacara adalah wakil pihak yang bersengketa sementara akad perwakilan/wakalah itu mubah. Dalil kemubahan wakālah ada dalam Al-Qur’an, Sunah dan ijmak. Contoh dalil dalam hadis adalah sebagai berikut,
Artinya,
“Dari ‘Urwah Al-Bāriqī bahwa Nabi ﷺ memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa’akan dia keberkahan dalam jual belinya itu.” (H.R. Ibnu Mājah)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menunjuk ‘Urwah Al-Bāriqī sebagai wakil beliau untuk membeli kambing. Jadi, hadis ini cukup jelas menunjukkan mubahnya wakalah.
Bukan hanya mubah, pekerjaan pengacara juga bisa menjadi aksi terpuji, amal saleh, dan aktivitas yang dicintai Allah jika perbuatannya bersifat menolong orang yang terzalimi maupun yang menzalimi. Bentuk menolong orang yang terzalimi adalah berjuang sekuat tenaga untuk membantunya memperoleh haknya, sementara bentuk menolong orang yang menzalimi adalah mencegahnya melakukan kezaliman agar tidak masuk neraka. Menolong orang terzalimi dan zalim adalah perintah Nabi ﷺ . Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Dari Anas radliallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah ﷺ bersabda: “‘Tolonglah saudaramu baik ia zhalim atau dizhalimi.” Ada seorang laki-laki bertanya: ‘ya Rasulullah, saya maklum jika ia dizhalimi, namun bagaimana saya menolongnya padahal ia zhalim? ‘ Nabi menjawab: “engkau mencegahnya atau menahannya dari kezhaliman, itulah cara menolongnya.” (H.R. Al-Bukhārī)
Menjadi pengacara juga bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Allah berfirman,
Artinya,
“Hendaklah kalian tolong menolong dalam kebnaikan dan ketakwaan” (Al-Maidah: 2)
Menjadi pengacara juga menjalankan semangat ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menolong orang lemah jika si lemah ini tidak sanggup melakukan sesuatu untuk mengambil haknya. Allah berfirman,
Artinya,
“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar”. (Al-Baqarah; 282)
Tetapi menjadi pengacara juga bisa menjadi sebab murka Allah, dosa dan jalan menuju neraka jika pengacara menghalalkan segala cara, berbohong, merekayasa, menyuap, menipu, dan membela orang-orang zalim.
Jika akad wakalah itu ditransaksikan sehingga pengacara mendapatkan sejumlah uang sebagai pembayaran atas jasanya, maka status akadnya menjadi ijārah (الإجارة)/perkontrakan dan ijārah hukumnya juga mubah. Contoh akad ijārah dalam Al-Qur’an yang dimubahkan adalah akad menyewa ibu susu. Allah berfirman,
Artinya,
“Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka” (Al-ṭalāq; 6)
Esensi akad ijārah adalah pertukaran antara harta dengan jasa. Ibu susu memberikan jasa menyusui anak dan dia dibayar untuk itu. Akad seperti ini mubah berdasarkan ayat di atas. Sama dengan pengacara yang dibayar. Dia memberikan jasa membela pihak yang bersengketa dan mendapatkan uang. Jadi, profesi pengacara adalah akad ijārah yang hukumnya mubah sama seperti bsinis jasa yang lain seperti guru, dokter, arsitek, tukang cukur dan lain-lain.
Hanya saja, penjelasan di atas semuanya mengasumsikan bahwa hukum yang dipakai oleh pengacara untuk membela adalah hukum Islam.
Adapun jika hukum yang dipakai bukan hukum Islam, maka ini adalah masalah baru yang muncul semenjak umat Islam mengalami masa penjajahan. Fatwa-fatwa ulama kontemporer terkait masalah ini pada umumnya memerinci dengan penjelasan sebagai berikut.
Hukum asalnya tidak boleh menuntut pada pengadilan yang tidak syar’i. Jika tidak ada pengadilan syar’i, maka boleh menuntut pada pengadilan bukan Islam sebagai bentuk keterpaksaan, upaya tidak menyia-nyiakan hak dengan syarat yang diambil hanya hak dan keputusan yang tidak bertentangan dengan syariat. Ia dibolehkan dalam kapasitas sebagai rukhṣah, bukan ‘azīmah. Dalam fatwa Al-Lajnah Al-Dā’imah disebutkan,
لا يجوز للمسلم التحاكم إلى المحاكم الوضعية إلا عند الضرورة إذا لم توجد محاكم شرعية، وإذا قضي له بغير حق له فلا يحل له أخذه (فتاوى اللجنة الدائمة – 1 (23/ 502)
Artinya,
“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk berhukum ke pengadilan-pengadilan negeri kecuali terpaksa ketika tidak ada pengadilan Syariah dan jika diberi keputusan yang tidak menjadi haknya maka tidak halal untuk mengambilnya” (fatwa Al-Lajnah Al-Dā’imah)
Jika fatwa ini diikuti, berarti boleh menjadi pengacara dengan memakai hukum di luar syariah dengan batasan-batasan tersebut .
Wallahua’lam