Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hukum menjadi hakim di negeri yang tidak menerapkan syariat adalah masalah baru yang dihadapi umat Islam di masa penjajahan dan sesudahnya. Oleh karena itu, tidak mudah mencari fatwa ulama terdahulu yang menyinggung persoalan ini, apalagi fatwa yang membahasnya secara khusus. Jalan yang paling masuk akal adalah mencari fatwa ulama yang hidup di masa penjajahan atau di masa sesudahnya di kalangan ulama kontemporer, dan jika tidak ada, maka kepada merekalah umat seharusnya meminta fatwa. Sejauh telaah singkat yang saya lakukan terhadap isu ini, penjelasan terkait hukum menjadi hakim di negeri-negeri yang memakai sistem di luar Islam adalah sebagai berikut.
Hukum asal berhukum dengan selain hukum Allah adalah haram, karena Allah mengecamnya sebagai perbuatan orang zalim, fasik dan kafir. Allah berfirman,
Artinya,
“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka itulah orang-orang yang zalim”
Artinya,
“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka itulah orang-orang yang fasik”
Artinya,
“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka itulah orang-orang yang kafir”
Hanya saja, kaum muslimin yang hidup di bawah pemerintahan penjajah, atau pemerintahan mandiri tetapi munculnya setelah masa penjajahan, mereka mengalami problem untuk menerapkan ayat tersebut.
Pada pemerintahan penjajah, problemnya tentu saja hukum yang diterapkan adalah hukum penjajah sehingga putra-putra kaum muslimin yang mendapatkan kesempatan menjadi hakim menjadi bingung status hukum mengadili memakai hukum penjajah.
Pada pemerintahan mandiri yang sudah berhasil lepas dari penjajahan, problem itu masih ada meskipun tidak separah problem yang ada pada pemerintahan penjajah. Pemerintahan mandiri pada umumnya dibentuk dengan konsensus berbagai elemen bangsa, dan itu bukan hanya umat Islam saja. Akibatnya, hukum Islam juga tidak bisa diterapkan, atau bisa diterapkan tetapi hanya secara parsial, tidak sempurna. Pada saat yang sama sebagian putra-putra kaum muslimin juga memiliki kesempatan menjadi hakim di negeri dengan tipe seperti ini. Mereka juga mengalami kebingungan, apakah boleh menjadi hakim di negeri seperti itu? Apakah terlibat menjadi penegak hukum di negeri seperti itu tidak membuat mereka terkena ancaman ayat yakni divonis kafir, fasiq atau minimal zalim?
Di sisi lain, jika jabatan-jabatan hakim seperti itu ditinggalkan 100%, maka yang mengisinya bisa jadi adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah, tidak takut kepada Allah, tidak menyayangi kaum muslimin, bahkan mungkin ingin menindas kaum muslimin. Kajian fakta menunjukkan secara pasti bahwa ditelantarkannya pos-pos seperti ini akan membuat terlantarnya kemaslahatan kaum muslimin dan kerugian mereka dalam urusan dunia maupun akhirat.
Jika seperti ini faktanya, bagaimana status hukum menjadi hakim di negeri seperti itu?
Salah satu ulama yang hidup di masa penjajahan yang saya ketahui membahas masalah ini adalah Muḥammad Rasyīd Riḍa. Beliau menguraikan fatwanya panjang lebar saat menafsirkan ayat berhukum dengan hukum selain hukum Allah dalam tafsirnya yang bernama Al-Manār. Pandangan Rasyīd Riḍa secara ringkas adalah sebagai berikut.
Hukum-hukum yang diturunkan Allah itu bisa dibagi menjadi dua macam.
Pertama, hukum yang terkait langsung dengan din dan ketaatan kepada Allah yakni hukum-hukum ibadah, termasuk yang semakna dengannya seperti nikah dan talak.
Kedua, hukum yang terkait dengan urusan dunia seperti uqūbāt, ḥudūd, mu‘āmalāt madaniyyah (perkara perdata) dan ini jumlahnya sedikit, dan mayoritas diserahkan pada ijtihad hakim.
Khusus untuk hukum-hukum terkait pidana/ḥudūd, ada hadis khusus dari Nabi ﷺ yang melarang penegakan ḥudūd di negeri yang bukan muslim, demi mencegah orang yang masih lemah imannya malah bergabung dengan orang-orang kafir, dan membenci Islam. Hal ini mengakibatkan hukum pidana di negeri yang tidak menerapkan syariat itu jumlahnya menjadi sangat sedikit, sehingga yang tersisa hanyalah hukum-hukum yang diserahkan kepada ijtihad hakim untuk merumuskannya.
Di sisi yang lain, sudah disepakati bahwa muslim boleh menjadi hakim khusus untuk warga muslim di negeri bukan Islam untuk menerapkan hukum-hukum yang tergolong Personal Status (Al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah) semisal hukum menikah, talak, rujuk, warisan, wasiat dan semisalnya.
Dengan melihat fakta ketentuan ini, yakni sedikitnya hukum pidana dalam hukum Allah, juga bahwasanya tidak boleh menegakkan ḥudūd di negeri yang bukan negeri Islam, juga bahwasanya sistem sanksi dalam Islam itu kebanyakan justru diserahkan pada ijtihad/discretion hakim, juga bahwasanya boleh seorang muslim menjadi hakim khusus warga muslim di negeri yang tidak menerapkan Islam, maka menjadi hakim di mahkamah peradilan negeri yang bukan muslim demi membela kemaslahatan kaum muslimin juga dibolehkan, sebab hakikat keputusan hukumnya mayoritas adalah semakna dengan keputusan ta’zir dalam sistem syariat dan sedikit saja sistem sanksi yang benar-benar bertentangan dengan hukum Allah.
Ringkasnya, kebolehan menjadi hakim di negeri yang tidak menerapkan Islam adalah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin dan mencegah keburukan untuk mereka. Jika ada hukum yang menzalimi kaum muslimin, maka hakim muslim tidak boleh melaksanakannya. Kebolehan ini sifatnya rukhṣah dan bentuk penerapan kaidah irtikāb akhoffi ḍararain (memilih bahaya yang paling ringan).
Inilah penjelasan yang difatwakan Rasyīd Riḍā saat mendapatkan pertanyaan terkait hukum menjadi hakim di India yang saat itu sedang dijajah inggris. Rasyīd Riḍā berkata,
Artinya,
“Jika hukum-hukum di sana (di negeri musuh) kembali pada pendapat dan ijtihad untuk mencari keadilan dan kemaslahatan dan kita membolehkan seorang muslim untuk menjadi penguasa untuk kafir harbi di negerinya untuk kemaslahatan kaum muslimin, maka zahirnya adalah tidak apa-apa berhukum dengan undang-undangnya untuk kepentingan manfaat kaum muslimin dan kemaslahatannya. Jika hukum itu membahayakan orang-orang muslim dan menzalimi mereka, maka tidak boleh baginya untuk berhukum dengannya dan tidak boleh menangani pekerjaan untuk membuatnya sebagai bentuk pertolongan kepadanya” (Tafsīr Al-Manār, juz 6 hlm 337-338)
Wallahua’lam