Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Mungkin karena wabah Covid-19 yang berlarut-larut, yang membuat sejumlah orang kehilangan pekerjaan, yang membuat rugi ratusan juta sejumlah pengusaha, yang mengambil nyawa sejumlah orang terkasih dan semua efek menyedihkan yang lain, sebagian orang megekspresikan kejengkelan terhadap pandemi ini dengan cara memaki virusnya. Tagar #f*ckcorona termasuk tagar yang populer di instagram. Di sebagian marketplace malah ada yang menjual kaos bertuliskan F*ck Corona Virus dengan berbagai desain.
Ini keliru. Rasulullah ﷺ melarang mencaci sakit dan mengajari bahwa sakit itu justru menguntungkan bagi orang beriman, karena ia menghapus dosa.
Pernah Rasulullah ﷺ membesuk seorang wanita yang sedang sakit. Wanita itu bernama Ummu Al-Sā’ib. Ketika Rasulullah ﷺ menanyai kabarnya, dia menjawab bahwa dirinya terkena sakit demam. Dengan nada jengkel Ummu Al-Sā’ib mengeluhkan penyakit demam itu dengan mengatakan “Semoga Allah tidak memberkahinya”. Ucapan singkat ini ditegur Rasulullah ﷺ dan sudah dihitung sebagai cacian. Rasulullah ﷺ menasihati demam itu baik bagi mukmin, karena ia membersihkan dosa seperti ubupan besi membersihkan kotoran besi yang dibakar. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa Rasulullah ﷺ datang berkunjung ke rumah Ummu Saib atau Ummu Musayyab, maka beliau bertanya: “Sakit apa kamu sampai menggigil begitu?” Jawab Ummu Saib: “Demam! Semoga Allah Ta’ala tidak memberkahinya.” Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kamu mencaci penyakit, karena penyakit itu dapat menghilangkan kesalahan (dosa-dosa) anak Adam, seperti halnya Kir (alat peniup atau penyala api) membersihkan karat-karat besi.” (H.R. Muslim)
Mencaci penyakit adalah simbol kezaliman, kejahilan dan tindakan melampaui batas. Kezaliman karena tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kejahilan karena membenci yang justru menjadi kebaikan baginya. Melampaui batas karena sama dengan tidak rida dengan ciptaan Allah, bahkan mencaci kehendak-Nya dan memprotes takdir-Nya. Dalam satu hadis, niyāḥāh dicela keras Rasulullah ﷺ sebagai kekufuran, padahal fakta niyāḥāh “hanyalah” bersedih karena musibah sambil mengucapkan kata-kata yang menyesali takdir.
Ibnu Qayyim menyebut orang yang mencaci demam sebagai kezaliman dam sikap melampai batas. Ibnu Qayyim berkata,
(4/ 29)
Artinya,
“Demam bermanfaat bagi badan dan hati. Jika seperti ini posisinya maka mencacinya adalah kezaliman dan melampaui batas.” (Zādu Al-Ma’ād juz 4 hlm 29)
Virus itu sendiri adalah salah satu makhuk Allah. Mereka juga tidak minta ada sebagai virus. Mereka secara natural juga hanya berusaha bertahan hidup. Meskipun ilmuwan menggolongkan virus sebagai makhluk setengah hidup dan setengah tidak (sort of alive and not alive), akan tetapi begitu virus menemukan inang (host) segeralah mereka mereproduksi diri secara liar dengan cara merampas ribosom, enzim dan energi sel inang sebagaimana ciri umumnya parasit hidup lainnya. Jadi perilaku mereka memang seperti hanya sedang mempertahankan hidup sebagaimana makhluk hidup lainnya. Tidak ada motif menjajah, menguasai, ekspansi, invasi dan kecenderungan jahat lain yang ada pada manusia.
Jadi, stop mencaci Covid-19 atau penyakit apapun. Itu bentuk kezaliman dan bahkan kita kuatir termasuk dosa besar. Sebagai gantinya, lebih baik berlindung dari keburukannya dan juga keburukan semua penyakit yang berbahaya seperti dia sebagaimana diajarkan Rasulullah ﷺ dalam doa berikut ini,
Artinya,
“Dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: ‘ALLAAHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAL BARASHI WAL JUNUUNI WAL JUDZAAMI WA MIN SAYYI-IL ASQAAM.’ (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kusta, gila, lepra, dan dari penyakit yang buruk.” (H.R. Abū Dāwūd)
Hanya saja, tidak mencaci covid-19 tidak bermakna pasrah dibunuh virus ini. Allah menurunkan penyakit, termasuk virus tetap dengan pesan amal dan dengan hikmah-hikmah yang dikehendakiNya. Dengan penyakit, Allah menguji ketabahan orang yang ditimpanya. Dengan penyakit Allah juga ingin membersihkan dosa-dosa orang yang dikenainya. Malahan ada jenis sakit tertentu yang membuat orang yang menderitanya bisa digolongkan mati syahid jika sampai wafat karena penyakit itu.
Dengan penyakit Allah juga mendorong hamba meneliti untuk mencari obatnya kemudian berobat dengannya. Akhirnya berkembanglah ilmu kedokteran. Muncul profesi dokter yang bisa dijadikan sebagai salah satu sumber mencari nafkah. Muncul profesi bidan, perawat, apoteker, peneliti, direktur rumah sakit, pengusaha pabrik obat. Muncul fakultas kedokteran, program studi, jurusan, seminar, jurnal, dosen, ketua laboratorium dan lain-lain. Dengan begitu akhirnya ditemukan ilmu agar orang bisa hidup lebih sehat, lebih berhati-hati, dan mencegah kematian yang dulu belum bisa dicegah sebelum ilmu berkembang.
Intinya dengan penyakit, muncullah sejumlah medan amal untuk menguji manusia siapa yang paling dekat dengan perintah Tuhannya.