Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Awalnya marah (الغضب).
Jika marah ini terjadi berkali-kali tanpa diselesaikan, lalu membekas dalam hati maka ia akan berubah menjadi benci (البغضاء)
Jika benci ini dipelihara terus dalam hati, diingat-ingat sampai membesar dan berakar maka ia akan berubah menjadi dendam (الحقد)
Jika dendam ini dipelihara, maka ia akan melahirkan keinginan supaya orang yang dibencinya itu sengsara dan hilang semua kesenangannya. Perasaan senang dengan hilangnya nikmat orang lain ini dinamakan dengki alias hasad (الحسد).
Jika orang yang dibenci itu tertimpa musibah, kemudian dia senang dan mengucapkan kata-kata yang nadanya “mengkapokkan” orang yang kesusahan tadi, maka perbuatannya itu disebut syamātah (الشماتة).
Jika level kebencian itu sampai membuat tidak mau kontak dan tidak mau berinteraksi, maka itu dinamakan pemutusan hubungan atau muqāṭa’ah atau hajr (المقاطعة).
Jika kebencian itu sampai membuat meremehkan segala kelebihan yang dimilikinya maka itu dinamakan takabur (التكبر).
Jika kebencian itu sampai level ada upaya menjatuhkan kredibilitasnya, membusukkan citranya dan membunuh karakternya tanpa peduli lagi larangan-larangan Allah, maka akan muncul dosa dusta (الكذب), menggunjing (الغيبة), memfitnah (البهتان), menyebarkan rahasia (إفشاء السر), merusak kehormatannya (هتك الستر), mengolok-olok (السخرية), sampai tidak mau membayar utang kepadanya, tidak mau menyambung silaturrahim kepadanya dan meminta maaf atas kezaliman yang ia lakukan kepadanya.
Jika kebencian itu sampai level menyakiti dengan fisik atau bahkan membunuh maka terjadilah dosa terbesar yang terkait dengan hak hamba.
Semua berawal dari marah.
Karena itu Allah cinta dengan hambanya yang pandai menahan emosi dan memiliki sifat pemaaf. Allah berfirman,
Artinya,
134. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali ‘Imran/3:134)
Seperti Asyajj Abdul Qais yang dipuji Nabi ﷺ . kata Rasulullah ﷺ kepadanya,
“Kamu punya dua sifat yang disukai Allah; sabar dan tenang.”
***
7 Jumādā Al-Ūlā 1442 H