Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kita harus ketat dalam menerima riwayat jika berupa hadis Nabi ﷺ yang berhubungan dengan akidah atau hukum. Al-Khaṭīb Al-Bagdādī membuat bab khusus soal keketatan menerima hadis Nabi ﷺ yang terkait topik hukum ini dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kifāyah fī ‘Ilmi Al-Riwāyah. Beliau menulis,
Artinya,
“Bab keketatan dalam hadis-hadis hukum dan kelonggaran dalam keutamaan amal”
Beliau menegaskan bahwa hadis-hadis hukum itu tidak boleh perawinya seorang pendusta atau tertuduh dusta. Al-Khaṭīb Al-Bagdādī menulis,
Artinya,
“Terdapat sejumlah riwayat dari banyak salaf bahwasanya tidak boleh mengambil hadis yang terkait dengan halal dan haram kecuali dari orang yang yang bebas dari tuduhan dan jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis motivasi, nasehat dan semisal dengan itu maka boleh menulisnya dari semua guru.”
Ibnu Al-Mulaqqin juga menegaskan bahwa topik hukum dan akidah itu harus didasarkan pada hadis sahih atau minimal hasan. Beliau berkata,
Artinya,
“Tidak boleh beramal dalam perkara hukum dan tidak boleh menetapkan kecuali dengan hadis shahih atau hasan dan tidak boleh dengan hadis daif. Akan tetapi hadis daif boleh diamalkan selama tidak terkait dengan akidah dan hukum seperti keutamaan amal, nasehat-nasehat dan semisalnya.”
Abdurrahman bin Al-Mahdī sebagai kritikus hadis besar menjelaskan metodenya saat menyeleksi hadis. Kata beliau, jika hadis itu terkait dengan halal-haram dan hukum maka beliau akan ketat dalam mengkritisi sanad. Beliau berkata,
Artinya,
“Dari Abdurrahman bin Mahdi beliau berkata, ‘Jika kami meriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam halal-haram dan hukum maka kami bersikap ketat dalam sanad dan kami melakukan kritik perawi. Jika kami meriwayatkan keutamaan amal, pahala, siksa, hal-hal mubah dan doa-doa maka kami bersikap longgar dalam sanad.”
Imam Ahmad juga memiliki metode yang sama dalam menyaring hadis Nabi ﷺ. Beliau berkata,
Artinya,
“Abu Abdullah Ahmad bin Hambal berkata, ‘Jika kami meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ dalam halal-haram maka kami bersikap ketat dalam sanad. Jika kami meriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam keutamaan amal, perkara yang tidak menentukan hukum dan tidak merafa‘kannya maka kami bersikap longgar dalam sanad.”
Demikan ketatnya para ulama hadis untuk menerima hadis hukum dan akidah, sampai-sampai ulama selevel Abū Ḥanīfah saja ditolak riwayatnya! Padahal kita tahu Abū Ḥanīfah adalah ulama besar, mujtahid mutlak dan pendiri mazhab yang menyebar ilmunya ke berbagai negeri sampai hari ini. Tidak ada yang meragukan kesalihan dan kejujuran beliau. Akan tetapi, jika beliau meriwayatkan hadis, ternyata status beliau adalah daif!
Al-Bukhārī dalam Al-Tārīkh Al-Kabīr misalnya, beliau menilai Abū Ḥanīfah dengan ungkapan “sakatū ‘anhu” (mereka mendiamkannya). Vonis ini adalah jenis penilaian yang setara dengan ungkapan “fīhi naẓar” dalam istilah Al-Bukharī dan itu adalah status terrendah untuk perawi dalam pandangan Al-Bukhārī!
HADIS NABI ﷺ YANG DITERIMA SECARA LONGGAR
Adapun riwayat dari Nabi ﷺ selain hukum dna akidah, maka sikap kita longgar. Contohnya topik sīrah (biografi Nabi ﷺ ), magāzī (peperangan-peperangan Nabi ﷺ), zuhud, raqā’iq (hadis-hadis pelembut hati), makārimul akhlāq (akhlak mulia), adab, mawā‘iż (nasihat-nasihat), targīb (motivasi), tarhīb (hadis-hadis pembuat ngeri),
faḍa’ilul amal (keutamaan amal ), hal-hal mubah, doa-doa dan semisalnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Sesungguhnya mereka telah meriwayatkan hadis-hadis terkait targīb, tarhīb, keutamaan amal, kisah-kisah, hadis zuhud, akhlak mulia dan semisalnya. Yakni riwayat-riwayat yang tidak terkait halal-haram dan hukum-hukum lainnya. Bagi ahli hadis dan selain mereka, jenis hadis seperti ini boleh bersikap longgar menerimanya, meriwayatkan yang bukan mauḍū’ dan mengamalkannya karena dasar utamanya shahih dan diakui.”
Jadi, untuk topik-topik selain akidah dan hukum, boleh mengambil riwayat perawi daif. Ibnu Abī Ḥātim berkata,
Artinya,
“Bab adab dan nasehat-nasehat. Topik semacam ini boleh mengambil riwayat dari para perawi daif.”
Ibnu Al-Mubārak juga berpendapat senada. Ibnu Abī Ḥātim menulis,
Artinya,
“Ibnu Al Mubarok ditanya sementara beliau meriwayatkan sebuah hadits dari seorang lelaki, ‘Ini kan lelaki daif?’ Beliau menjawab, ‘Boleh meriwayatkan dengan kadar ini atau seperti perkara-perkara ini’ Saya bertanya kepada Abdah, ‘Seperti perkara ini itu maksudnya bagaimana?’ Beliau menjawab, Dalam perkara adab, nasehat, zuhud atau semisal ini.”
Karena pembedaan dua hal ini (antara hadis hukum +akidah dan selainnya), maka kadang ada perawi yang ditolak riwayat hadisnya yang terkait sunah (yakni akidah dan hukum) tapi diterima riwayatnya dalam topik lain seperti targib dan tarhib. Contoh perawi seperti ini adalah Baqiyyah. Ibnu Abī Ḥātim menulis,
Artinya,
“Ibnu ‘Uyainah berkata, ‘Janganlah kamu mendengar dari Baqiyyah jika berurusan dengan hadis sunnah, dan dengarlah darinya jika terkait dengan penjelasan pahala dan yang lainnya.”
Hanya saja, perawi yang daif itu tidak boleh terlalu daif. Syarat mutlaknya dia tidak boleh terkategori sebagai każżāb (pendusta) atau muttaham bil każib (tertuduh dusta). Ibnu Rajab berkata,
Artinya,
“Boleh meriwayatkan hadis-hadis para perawi yang lengah tetapi tidak tertuduh dusta dalam perkara tarhīb, targīib, zuhud dan adab. Adapun perawi yang tertuduh dusta maka hadits mereka dibuang. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dan selain beliau.”
Syarat mutlak lainnya adalah maknanya tidak boleh bertentangan dengan dalil sahih.
PENGGUNAAN RIWAYAT DAIF DALAM KITAB ULAMA
Inilah rahasianya mengapa pakar hadis seketat Al-Żahabi memasukkan banyak riwayat daif dan israiliyyat dalam kitab Al-Kabā’ir. Alasan masuknya riwayat daif itu bukan karena Al-Żahabī tidak tahu riwayatnya lemah, tetapi justru karena beliau tahu bagaimana menempatkan hadis daif dari Nabi ﷺ yang tidak terlalu daif. Fungsi riwayat-riwayat daif dalam kitab Al-Kabā’ir itu bukan dijadikan dasar membangun hukum, tetapi hanya memperkuat hukum yang sudah ada. Yakni hanya memperkuat aspek tarhīb dalam buku ini. Saat membahas dosa durhaka kepada orang tua misalnya, Al-Żahabi memulai dari Al-Qur’an yang jelas sahih dan mutawatir, lalu hadis ṣahih, kemudian beliau menyebut riwayat Alqamah yang daif, asar sahabat yang tidak mencapai derajat sahih dan sejumlah israiliyat. Semuanya boleh dipakai karena dalam sanadnya memang tidak ada pendusta dan tukang memalsu riwayat.
Itulah juga yang menyebabkan dalam pembahasan fikih, jika sudah membahas soal-soal adab, mandūbat dan mustaḥabbāt, seringkali dalil-dalil yang dipakai tidak sampai derajat sahih atau hasan sekalipun. Yang daif tetap dipakai karena hanya terkait adab dan keutamaan amal tidak terkait halal haram yang diperingatkan keras dalam Al-Qur’an. Jika Anda pernah mendalami Al-Majmū’ karya Al-Nawawī, Anda akan sering mendapati jenis istidlāl semacam ini. Contohnya hukum mengusap wajah selesai berdoa. Al-Nawawī mengatakan statusnya sunah. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Diantara adab berdoa adalah diwaktu mulia, di tempat mulia, dalam kondisi mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah setelah selesai.”
Padahal dalil yang yang digunakan untuk menkonstruksi anjuran mengusap wajah setelah berdoa adalah riwayat Al-Tirmiżī ini,
Artinya,
“Dari Umar bin Al Khathab radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah ﷺ apabila mengangkat kedua tangannya dalam sebuah doa maka beliau tidak menurunkan keduanya hingga mengusap mukanya dengan keduanya.”
Riwayat di atas daif, karena di dalam sanadnya ada perawi daif yang bernama Ḥammād bin ‘Īsā Al-Juhanī. Al-Nawawī sendiri dalam kitab Al-Ażkār menilai riwayat ini termasuk syāhidnya adalah riwayat lemah. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Pada sanad masing-masing terdapat kelemahan”
Jadi, bisa dikatakan Al-Nawawī mengkonstruk adab berdoa berdasarkan riwayat yang beliau nilai sendiri sebagai riwayat lemah. Hanya saja, meski lemah, riwayat tersebut tidak terlalu lemah, jadi aman dari aspek perawi yang sengaja berdusta (Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Bulūgul Maram malah menghasankan riwayat ini berdsarkan sejumlah syawahid). Isinya juga tidak bertentangan dengan dalil. Jadi, riwayat semacam ini sah menjadi dalil untuk keutamaan amal.
RIWAYAT DARI SELAIN NABI ﷺ
Jika riwayat dari Rasulullah ﷺ saja bisa dilonggari pada topik-topik tertentu, maka tentu saja riwayat dari selain Rasulullah ﷺ lebih layak dilonggari. Tidak usah berlebihan dan terlalu dalam mengketati riwayat ulama, biografi orang saleh, teladan tābi‘in, keajaiban Tābi’ūt Tābi‘īn, qaṣaṣ (kisah-kisah), ḥikāyāt dan semisalnya. Termasuk juga atsar Sahabat, aṡar Tābi‘īn, dan aṣar Tābi’ūt Tābi‘īn. Sejumlah ualam hanya lebih berhati-hati jika menukil dari selain nabi terkait hukum atau sikap akidah. Selain dua perkara ini, biasanya sikapnya longgar.
Riwayat dari selain Nabi ﷺ diterima secara longggar karena tujuannya memang hanya untuk mengambil hikmah, kata mutiara, ibrah, ta’ddub (belajar adab), tahżīb (pendidikan jiwa) dan semisalnya yang biasanya tidak perlu dicari sanadnya apalagi dikaji aspek kuat- lemahnya sanad. Adanya sanad untuk jenis riwayat seperti ini hanya jadi hiasan yang memperindah saja, bukan menjadi syarat untuk diterima. Al-Khaṭīb Al-Bagdādī berkata,
Artinya,
“Adapun kisah orang-orang saleh, hikayat orang-orang zuhud, cerita para ahli ibadah, nasehat para orator, dan hikmah para sastrawan maka sanad itu hanyalah untuk hiasan, bukan jadi syarat untuk menyampaikannya”
Wallahua’lam.
***
13 Jumādā Al-Ūlā 1442 H