Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Di antara sifat hamba Allah yang saleh adalah berani bertanggung jawab, rendah hati dan tidak sombong mengakui kesalahan.
Jika dia bersalah, maka dia tidak mencari kambing hitam, menyalahkan orang lain dan melemparkan tanggungjawab ke pundak pihak lain.
Jika dia seorang suami misalnya, lalu wataknya berubah menjadi pemarah, dia tidak menyalahkan istri sambil bilang misalnya, “Aku dulu itu penyabar, tapi sejak menikah denganmu, kok malah jadi pemarah. Dasar istri sial!”
Jika dia seorang istri misalnya, dan sifatnya menjadi kasar kepada anak, maka dia tidak menyalahkan suami sambil bilang misalnya, “Aku dulu itu lembut, tapi sejak menikah denganmu lalu sering kecewa dengan caramu mempergauli aku, sifatku jadi kasar. Dasar suami sial!”
Jika dia seorang anak yang terjatuh dalam kubangan kemaksiatan, rusak pergaulannya dan jauh dari Allah, maka dia tidak menyalahkan orang tuanya sambil bilang misalnya, “Seandainya orang tuaku becus mendidik anak, tidak mungkin aku jadi seperti ini. Dasar orang tua ndak ngerti parenting! Belum siap nikah sudah keburu nikah saja!”
Hamba Allah yang lain bisa saja benar menjadi perantara seseorang untuk memiliki keburukan, berbuat kesalahan atau terjatuh dalam lubang kemaksiatan, akan tetapi dia tahu bahwa sehebat apapun pengaruh buruk di luar dirinya, jika dia kuat, tegar, tangguh, tidak menyetujui pengaruh buruk dan sanggup bertahan di jalan Allah, maka dia tetap akan selamat dan tidak berbuat kesalahan.
Jadi, pada dasarnya semua kembali pada dirinya.
Hamba Allah yang lain tidak lebih hanyalah ujian untuknya.
Setan sekalipun. Saat seorang hamba melakukan dosa, dia juga tidak menyalahkan setan, karena dia tahu jika dia lebih memilih menaati Allah dan melawan bisikan setan, maka semua pikiran jahat dari setan sama sekali juga tidak akan berpengaruh baginya.
Inilah sifat indah akhlak hamba Allah itu.
Seperti Asiyah yang tetap menjadi saleh meski bersuami Firaun.
Seperti nabi Nuh yang tetap saleh meski istrinya kafir.
Seperti nabi Ibrahim yang tetap saleh meski ayahnya penyembah berhala.
Seperti Adam dan Hawa yang tetap menyalahkan dirinya sendiri, bertanggungjawab
dengan perbuatannya, tidak sombong mengakui dosa dan tidak mau menyalahkan Iblis atas maksiatnya, padahal dia tahu persis bahwa Iblislah yang menjadi perantara terbesar mereka berbuat maksiat,
Artinya,
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf/7:23)
Catatan:
Ada sejumlah riwayat di kalangan generasi salaf yang menyebut sebuah kesalahan dengan ucapan “ini dari setan”. Ucapan seperti ini tidak bermakna menyalahkan setan, tetapi bermakna dia segera memperbaiki diri setelah sadar bahwa perbuatannya salah dan berasal dari gagasan setan, bukan ilham kebaikan dari Allah. Hadis Rasulullah ﷺ juga menegaskan larangan memaki setan, yang justru itu malah membuat setan menjadi besar.
*
14 Rajab 1442 H