Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
“Mengajar dengan tulisan manfaatnya jauh lebih banyak daripada mengajar dengan lisan.”
Ibnu al-Jauzī berkata,
Artinya,
“Saya memandang termasuk pendapat yang benar jika dikatakan bahwa manfaat karangan itu lebih banyak daripada manfaat mengajar secara lisan. Pasalnya, sepanjang umurku saya telah mengajar beberapa santri secara lisan dan saya mengajar santri yang tak terhitung jumlahnya melalui karangan-karanganku yang bahkan mereka belum lahir. Bukti yang menunjukkan hal ini adalah orang-orang jauh lebih banyak memanfaatkan karangan karangan ulama generasi terdahulu daripada mereka memanfaatkan ilmu dari guru-guru (talaqqi) mereka.”
Tapi keduanya tetap sama-sama baik. Ada ilmu yang justru harus ketemu dengan guru untuk mempelajarinya.
Kelebihan mengajar lisan;
Kesalahan murid bisa langsung dikoreksi dalam majelis, hal yang tidak jelas bisa langsung dikonfirmasi dalam majelis, dan lebih terasa feel+berkah majelis ilmu.
Kelemahan mengajar lisan;
Mengajar dengan lisan itu susah mengontrol kesalahan lisan (sabqul lisān).
Mengajar dengan lisan juga tidak selalu sistematikanya runtut dan enak dipahami.
Mengajar dengan lisan juga tidak selalu dipahami dengan murid.
Murid yang hadir di kajian lisan juga tidak selalu konsentrasi penuh menyerap ilmu. Sangat mungkin ada yang mengantuk, memikirkan hal lain bahkan tidur dalam majelis!
Kajian lisan juga tidak bisa diulang-ulang (jika tidak direkam). Apa yang diajarkan pada hari ini dengan penyampaian yang sangat bagus, belum tentu bisa diulangi lagi diwaktu yang lain untuk ceramah ke-2, ke-3, ke-4, dan seterusnya.
Berbeda dengan tulisan.
Sistematika bisa diatur seindah-indahnya.
Ada kesempatan mengoreksi sedetail-detailnya.
Ada kesempatan mereviu kepada pakar sehingga tidak sampai salah menyampaikan ilmu dan menyesatkan umat.
Tulisan bisa dibaca berulang-ulang tanpa kuatir hilang.
Pembaca bisa berhenti membaca jika mau dan melanjutkan kapanpun mau (tidak mungkin murid menghentikan ceramah guru sesukanya dan meresume ceramah sesukanya).
Bisa dimanfaatkan lintas generasi sehingga menjadi amal jariyah.
Tapi meski membatasi diri mengajar dengan lisan, jika Allah berkehendak membuat ilmu seseorang bermanfaat luas, maka Allah yang akan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk mendokumentasikan dengan rapi semua ilmu lisan tersebut. Seperti Rasulullah ﷺ yang mengajarkan din berbagai tema secara lisan dan melahirkan jutaan kitab Islam sampai hari ini.
Juga seperti Ahmad yang tidak pernah menulis ilmu fikih, tapi pendapat fikihnya tertulis sangat rapi dan membentuk mazhab Hanbali.
Akhirnya semuanya sebenarnya kembali pada apa yang dimudahkan Allah sebab,
“kullun muyassarun limā khuliqa lahū”.
Ucapan Ibnu Al-Jauzī tentang keutamaan menuliskan ilmu ini paling tidak harus menjadi penyemangat hamba-hamba Allah yang dianugerahi kemampuan mudah menulis, dan susah berkata-kata yang mudah didengar dan gampang diterima umat. Bisa jadi memang di jalan itu dia mendapatkan rida Allah.
Adapun ungkapan “Siapa yang tidak punya guru maka gurunya setan” maka itu tidak masalah dan tidak bertentangan dengan belajar lewat tulisan.
Sebab orang yang belajar lewat tulisan, maka penulis tulisan tersebut adalah gurunya juga.
Jadi yang namanya guru itu tidak harus bertemu langsung.
Rasulullah ﷺ adalah guru kita, khulafaurrasyidin adalah guru kita. Aisyah adalah guru kita, Abu Hurairah adalah guru kita, Ibnu Abbas adalah guru kita, Ibnu Umar adalah guru kita, Abu Sa’id al-Khudrī adalah guru kita, Abū Mūsā Al-Asy’ari adalah guru kita dan seterusnya, meskipun kita tidak bertemu langsung dengan mereka.
Orang awam membaca fatwa MUI lalu melaksanakan fatwa tersebut, maka ulama-ulama MUI adalah gurunya juga meski tidak bertemu langsung.
Orang awam membaca kumpulan bahsul masail NU, lalu melaksanakannya maka para ustaz perumus jawaban adalah gurunya juga meski tidak bertemu langsung.
Warga Muhammadiyah membaca kumpulan fatwa majelis tarjih Muhammadiyah lalu melaksanakannya maka para ustaz perumus jawaban adalah gurunya juga meski tidak bertemu langsung.
Orang PERSIS membaca soal jawab A Hasan lalu melaksanakannya maka A Hasan adalah gurunya juga meski tidak bertemu langsung.
Orang mendengar video ceramah Gus Baha’ misalnya, lalu melaksanakan ajarannya, maka Gus baha adalah gurunya, meski tidak bertemu langsung.
Dan seterusnya.
Yang dikuatirkan belajar dengan cara tidak bertemu guru itu adalah kesalahpahaman. Ini hanya pada persoalan rumit yang jumlahnya sedikit sekali dalam din bagi awam.
Pada zaman sekarang kekuatiran salah paham itu sangat mudah diselesaikan dengan cara murid selalu bertanya kepada ulama terhadap persoalan yang samar. Tidak langsung menyimpulkan sendiri. Untuk bertanya juga tidak harus ketemu langsung. Sekarang sudah banyak sarana seperti WA, telpon, SMS dan lain-lain.
Jika yang belajar melalui tulisan adalah kalangan intelektual dan sudah mengerti bahasa Arab, maka kesalahan memahami ilmu lebih sedikit lagi peluangnya, karena apa yang samar dalam sebuah kitab biasanya diterangkan dalam kitab yang lain.
Misalnya ada ungkapan sulit dalam kitab matan Abu Syuja’. Penjelasannya sangat mudah ditemukan di Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar dan Al-Iqna’. Jika masih belum bisa dipecahkan, hari ini banyak forum diskusi ustaz yang bisa membantu memacahkan hal-hal rumit tadi.
Jadi salah paham memang masih mungkin, tapi peluangnya sebenarnya sangat kecil dan insya Allah tidak sampai level “menyesatkan” umat, selama para ulama juga selalu aktif mengontrol penyebaran ilmu dan para awam juga diajari bagaimana cara mengambil ilmu dengan benar.
Tambahan lagi, orang belajar dari tulisan mustahil dalam hidupnya sama sekali tidak pernah belajar langsung dengan guru secara talaqqi. Paling tidak saat belajar membaca Al-Qur’an dulu dia belajar dengan bimbingan langsung guru. Saat dia mendengar khutbah jumat maka khatib adalah gurunya. Saat dia dinasihati ayahnya, maka ayahnya adalah gurunya dan seterusnya.