Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ada seorang wanita di zaman Nabi ﷺ. Namanya Asmā’ (أسماء).
Beliau bukan orang sembarangan.
Beliau adalah putri Abu Bakar al-Ṣiddīq, sahabat Nabi ﷺ yang paling utama.
Beliau juga dikenal dengan gelar Żātu Niṭāqain (ذات النطاقين) karena berperan membantu hijrah Nabi ﷺ dengan mengirim makanan. Saat hendak mengikat makanan, lalu beliau tidak mendapati tali, dirobeklah selendangnya menjadi dua untuk dipakai mengikat. Dari situlah beliau digelari Żātu Niṭāqain (yang memiliki dua selendang).
Beliau juga menjadi ibu Sahabat besar yang bernama Abdullah bin al-Zubair, yang sempat menjadi khalifah di Hijaz. Beliau juga yang terkenal dengan kata-kata “’isy karīman au mut syahīdan” (hiduplah dalam keadaan mulia, atau matilah dalam keadaan syahid).
Nah, Asmā’ ini memiliki suami yang keras.
Jika suaminya marah, maka tidak segan-segan Asmā’ dipukul dengan kayu cantolan pakaian sampai kayu itu patah!
Suaminya juga bukan orang sembarangan. Beliau adalah al-Zubair bin al-‘Awwām, salah satu Sahabat besar yang termasuk 10 Sahabat yang dijamin masuk surga!
Tentu saja namanya wanita, dengan segala sifat fitrahnya yang lembut, perlakuan seperti ini membuat beliau jadi galau.
Akhirnya datanglah Asmā’ ke rumah ayahnya untuk curhat dan mengadukan perilaku suaminya.
Bagaimana respons Abu Bakar–sang ayah–mendengar pengaduan putrinya?
Orang tua zaman sekarang mendengar anaknya dipukul suami barangkali segera panas hatinya. Bangkit perasaan asabiah-nya dan bergejolak naluri kasih sayangnya terhadap anak. Bisa jadi dengan emosi sang anak langsung diarahkan cerai atau minimal mendamprat sang menantu! Padahal mudah memprovokasi cerai bisa terjatuh dalam dosa merusak rumah tangga sebagaimana saya tulis dalam catatan sebelumnya yang berjudul “Jangan Mudah Memberi Saran Cerai.“
Tapi respon Abu Bakar sungguh luar biasa. Menunjukkan ketenangan, kebijaksanaan, kedalaman ilmu dan visi jauh ke depan. Dengan lembut beliau menasihati Asmā’,
“Wahai putriku, sabar dan tabahlah. Seorang wanita itu, jika punya suami saleh lalu suaminya wafat dalam keadaan rida kepadanya, lalu wanita itu tidak menikah lagi sesudahnya, maka keduanya akan dihimpun kembali di surga.”
Ibnu Sa‘ad meriwayatkan kisah ini dalam ṭabaqāt-nya sebagai berikut,
Artinya,
“Dari Ikrimah, bahwasanya Asmā’ binti Abu Bakar adalah istri al-Zubair bin al-‘Awwām. Suaminya terbiasa keras terhadapnya. Lalu Asmā’ mendatangi ayahnya dan mengadukan hal tersebut kepadanya. Abu Bakar menasihati, “Wahai putriku sayang. Tabahlah. Sebab seorang wanita itu jika punya suami yang saleh, kemudian mati meninggalkannya dan wanita tersebut tidak menikah lagi sesudahnya, maka keduanya akan dihimpun di surga.” (al-Ṭabaqāt al-Kubrā, juz 8 hlm 197)
Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini.
Pertama:
Pukulan suami kepada istri (selama tidak membahayakan nyawa) bukan alasan untuk memprovokasi cerai.
Kedua:
Saat ada konflik rumah tangga, respons Sahabat itu bukan memprovokasi cerai tetapi menjaga keutuhan rumah tangga.
Ketiga.
Saat dicurhati urusan rumah tangga, saran yang diberikan Sahabat adalah diarahkan ke amal yang bermanfaat untuk akhiratnya. Bukan diprovokasi untuk mengejar kebahagiaan duniawi sebesar-besarnya seperti umumnya orang yang tidak beriman.
Keempat:
Lelaki saleh itu bukan yang tidak pernah marah dalam rumahnya. Marah adalah manusiawi asalkan tidak melampaui batas. Jika marah karena zalim, maka segera memperbaiki
Kelima:
Pukulan suami Asmā’ kepada istrinya jelas bukan perlakuan ideal seorang suami kepada istrinya. Tetapi itu juga bukan alasan untuk menilai seorang lelaki jahat dan tidak saleh hanya karena punya kelemahan temperamental dan mudah terpicu untuk memukul istri.
Keenam:
Dalam memilih suami semestinya wanita benar-benar fokus pada kualitas kesalihan lelaki. Bukan kekayaan, tampang, status sosial dan lain sebagainya. Sebab sebesar apapun masalah rumah tangga, dan seperti apapun jenis kelemahan suami, selama seseorang tenang bahwa suaminya saleh, maka masih ada harapan baik bersatu di Surga.
Ketujuh:
Jika seorang ayah seperti Abu Bakar tidak memprovokasi cerai saat putrinya curhat dipukul suaminya, maka kerabat yang lebih jauh lebih layak untuk tidak memprovokasi cerai. Apalagi bukan kerabat seperti teman, kenalan dan lain sebagainya
Jadi, orang harus bijaksana dan ekstra hati-hati saat mendapatkan curhatan rumah tangga.
Cara Abu Bakar merespons masalah rumah tangga sungguh indah dijadikan teladan.
Tapi itu tidak mudah.
***
5 Żulqa‘dah 1442 H