Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ketentuan talak maksimal tiga itu jika direnungi benar-benar akan menunjukkan keagungan syariat Islam dalam mengatur masalah rumah tangga.
Saya akan mencoba menguraikan hikmah talak maksimal 3 kali ini dalam sudut pandang lelaki/suami yang memiliki hak menjatuhkan talak.
Nanti kita akan tahu, mengapa talak itu seharusnya tidak sembarangan diucapkan, tidak serampangan dijatuhkan dan tidak seenaknya diusulkan begitu ada sedikit masalah dalam rumah tangga.
Sudah tentu tidak ada rumah tangga yang tidak ada konflik. Jangankan rumah tangga kita. Rumah tangga hamba Allah terbaik, yakni Rasulullah ﷺ saja diuji dengan konflik, masalah dan keruwetan. Masalah dalam rumah tangga Nabi ﷺ itu ada yang berasal dari internal dan ada yang eksternal. Contoh masalah rumah tangga Nabi ﷺ yang terbit dari dalam adalah peristiwa kecemburuan sebagian istri-istri Nabi ﷺ dan peristiwa usulan istri-istri beliau untuk minta sedikit dunia guna meningkatkan “taraf hidup”. Peristiwa ini sampai membuat beliau bersumpah tidak menggauli mereka semua selama satu bulan penuh. Contoh masalah yang muncul dari luar adalah peristiwa ḥadītsul ifki, yakni saat Aisyah dituduh berzina oleh orang-orang munafik sepulang dari perang Banī al-Muṣṭaliq. Masalah ini sangat membuat Rasulullah ﷺ risau berpekan-pekan, hingga Allah membersihan nama Aisyah dengan turunnya ayat dalam Sūrah al-Nūr.
Apalagi kita yang manusia biasa.
Ada masalah itu sungguh wajar. Ada konflik kecil itu biasa. Ada riak-riak dan bahkan gelombang juga bisa dimaklumi. Hal terpenting dalam rumah tangga bukanlah mengusahakan agar semua masalah atau konflik itu lenyap 100% dan tidak pernah datang kembali (sebab ini mustahil), tetapi yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya secara bijaksana.
Dari sinilah, kita akan mengerti mengapa Allah dan Rasul-Nya mengajari sejumlah aturan dalam rumah tangga, agar pasangan suami istri berjalan di jalur yang diridai Allah sehingga potensi konflik tidak sampai dibesar-besarkan yang berakibat hancurnya pernikahan.
Laki-laki diberi sejumlah kewajiban, seperti menafkahi, membayar mahar dan mempergauli dengan baik. Wanita juga diberi sejumlah kewajiban, yang mana kewajiban terpenting adalah ketaatan. Mereka juga diajari akhlak mulia sebagai pasangan suami istri, yakni hendaknya sering-sering memberikan 3 hal pada pasangannya yaitu ‘afwun (العفو), ṣafḥun (الصفح), dan gufrān (الغفران).
Makna ‘afwun adalah memaafkan sampai taraf benar-benar MENGHAPUS KESALAHAN dari ingatan dan tidak mengingat-ingatnya atau mengungkit-ungkitnya lagi.
Makna ṣafḥun adalah memaafkan sampai taraf TIDAK PERLU MENGOMELI.
Makna gufrān adalah maafkan sampai taraf MENUTUPI SEMUA KESALAHAN-KESALAHANNYA dengan mengingat-ingat kebaikannya dan tidak mengumbar-umbarnya pada orang lain. Saya pernah membuat catatan khusus yang membahas tiga akhlak tadi dalam artikel berjudul “ADAKAH RUMAH TANGGA IDEAL?“. Anda tentu bisa membayangkan betapa indahnya jika semua kewajiban dan akhlak mulia itu bisa diterapkan secara ideal dalam rumah tangga tiap orang.
Tapi negeri ini adalah negeri ujian. Dunia adalah tempat ujian, bukan tempat balasan.
Di negeri ujian, yang namanya ideal yang bener-benar sempurna jelas tidak akan pernah ada.
Kita semua akan diuji sebaik apapun kita selama hidup di dunia. Akan ada kondisi-kondisi yang akan membuat kita jadi lupa ilmu, tidak ingat ajaran, lemah menerapkan pemahaman, melampaui batas bahkan bisa juga sampai melanggar larangan.
Oleh karena itu, kita bisa melihat, syariat Islam saat mengatur rumah tangga tidak berhenti dengan memberi aturan tentang hak dan kewajiban pasangan suami istri dan bagaimana seharusnya berakhlak di dalam rumah, tetapi juga memberikan mekanisme penyelesaian konflik, jika aturan-aturan tadi tidak bisa juga menyelesaikan masalah rumah tangga.
Jika misalnya istri menampakkan tanda-tanda nusyūz (durhaka) kepada suami, misalnya nada bicaranya mulai kasar setelah sebelumnya lembut, atau wajahnya masam padahal sebelumnya manis nan ramah, atau bahkan matanya mendelik-delik setelah sebelumnya sopan pandangannya, maka Allah mensyariatkan agar suami memberi nasihat baik-baik. Suami mengingatkan bahwa hak suami itu besar. Istri diingatkan bahwa amal utama wanita yang menjaminnya masuk surga adalah taat kepada suami. Istri juga diingatkan bahwa suami itu wajib dihormati. Bukankah Rasulullah ﷺ pernah mengandaikan seumpama manusia boleh sujud kepada manusia, maka para istri akan diperintahkan sujud kepada suaminya? Penghormatan apa yang lebih tinggi daripada sujud? Istri juga diingatkan bahwa kebanyakan wanita itu masuk neraka dan penyebab mereka masuk neraka adalah karena kufur terhadap suami, artinya banyak wanita masuk neraka karena tidak bisa memperlakukan suaminya dengan baik.
Jika istri tidak berubah dengan nasihat, dan nusyūz-nya sudah bukan lagi tanda-tanda, tetapi sudah nyata dalam bentuk tindakan, misalnya keluar rumah tidak izin atau menolak saat diajak berhubungan badan maka suami mengambil jalan lain untuk menasihatinya, yakni pisah ranjang. Harapannya, dengan pisah ranjang seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ saat mendidik istri-istrinya, seorang istri sadar bahwa suaminya level marahnya sudah mulai serius sehingga wanita punya waktu untuk instrospeksi diri.
Jika cara pisah ranjang tetap tidak mempan, maka suami mengambil cara yang ketiga yang diizinkan dalam Al-Qur’an, yakni boleh memukul istri. Tapi pukulan yang tidak menyakitkan. Ini jenis pukulan didikan, bukan pukulan tazīr. Jadi, yang ditarget hanyalah psikis istri, bukan fisiknya. Ibnu ‘Abbās bahkan memberi contoh pukulan jenis ini adalah dilakukan dengan kayu siwak atau semisalnya.
Jika dengan pukulan juga tidak mempan, berarti masalah mereka lebih mendalam daripada itu. Nampaknya mereka juga sudah tidak bisa komunikasi dengan baik. Dari sini, disyariatkan masuk ketahap berikutnya, yakni menyelesaikan masalah dengan melibatkan pihak ketiga. Caranya, suami menunjuk juru bicara dari keluarganya dan istri menunjuk juru bicara dari keluarganya. Masing-masing curhat pada jubirnya, lalu jubirnya inilah yang bermusyawarah untuk mempertemukan perbedaan pendapat di antara pasangan suami istri itu. Al-Qur’an menjamin, jika memang pasangan suami istri itu niatnya ishlah dan mencapai kebaikan, Allah pasti akan menunjukkan jalan.
Jika setelah menunjuk jubir itu dan hasil musyawarah disampaikan untuk dilaksanakan pasangan suami istri tersebut tapi ternyata pergaulan masih tetap buruk, berarti masalah di antara mereka lebih ruwet lagi. Suami mungkin berfikir, jika rumah tangga dipertahankan, maka bisa jadi masing-masing dari mereka akan memproduksi dosa terus menerus. Di tahap inilah suami diizinkan menjatuhkan talak pertama setelah mempertimbangkan masak-masak segala dampak perceraian.
Setelah talak jatuh, mereka tidak boleh langsung pisah-pisahan.
Wanita wajib menjalani masa idah. Masa idah adalah masa menunggu setelah ditalak sebelum terjadi perceraian sempurna. Durasi masa idah adalah 3 kali suci dari haid. Masa 3 kali suci dari haid itu kira-kira setara dengan 3 bulan. Ini adalah waktu yang sangat cukup untuk masing-masing pihak berintrospeksi dan merenungi pernikahannya. Jika saat ada masalah sampai menjatuhkan talak mungkin masih ada unsur emosi yang melibatkannya, maka di masa idah ini masing-masing sudah “setengah” orang lain. Jadi, suasana bisa lebih dingin untuk kepala dan hati. Bisa jadi di masa idah suami menyesal atau istri menyesal lalu mereka sepakat untuk rujuk. Jika itu yang terjadi maka itu adalah kebaikan. Apalagi ada aturan wanita wajib menjalani masa idah di rumah suami. Jika diikuti pendapat ulama yang membolehkan suami tinggal bersama wanita yang ditalaknya dan masih menjalani masa idah, maka itu juga kesempatan besar untuk sering melihat istri yang ditalaknya itu, sehingga mungkin tumbuh benih-benih cinta baru yang menggiring untuk rujuk kembali.
Jika kita asumsikan mereka kembali rujuk, maka mereka rujuk dengan pertimbangan matang dan siap menjalani rumah tangga dengan sikap yang berbeda dengan pola yang dipakai sebelumnya.
Tapi jika setelah rujuk ini terjadi masalah lagi, maka cara penyelesaiannya kembali mengikuti tahapan-thapan sebelumnya, mulai dari penerapan hukum-hukum rumah tangga, nasihat, pisah ranjang, pukulan yang tidak menyakitkan, sampai menunjuk jubir untuk terlibat menyelesaikan. Jika inipun tidak selesai, maka suami diizinkan mentalak yang kedua kalinya. Pada talak kedua ini istri juga wajib menjalani masa idah dan suami juga punya kesempatan untuk merenungkan kembali pernikahannya. Harapannya mereka menyesal, lalu rujuk kembali.
Jika setelah mereka rujuk lalu bertengkar lagi, maka cara penyelesainanya kembali lagi seperti di awal dengan tahapan-tahapan panjang. Jika setelah melibatkan jubir dari keluarga masih belum selesai juga, berarti masalah mereka lebih dalam, lebih berakar dan lebih besar daripada sekadar yang tampak. Dalam kondisi ini suami diziinkan untuk mentalak ketiga kalinya dan setelah itu sudah tidak ada gunanya lagi diberi kesempatan rujuk kembali. Jika sudah talak tiga, mereka diharamkan rujuk dan wanita harus mencoba hidup dengan lelaki lain dalam pernikahan baru.
Jika seteleh menikah dengan suami baru ternyata masalahnya berulang, maka wanita mungkin baru bisa merasakan bahwa sumber masalah ada pada dia, dan baru bisa merasakan bahwa suami pertamanya ternyata lebih baik daripada suami kedua. Oleh karena itu, jika dengan wanita tersebut ditalak suami kedua, lalu menjalani masa idah dan tercerai sempurna, barulah wanita itu bisa menikah lagi dengan suami pertama.
Bagaimana?
Sungguh agung bukan syariat talak dalam Islam ini?
Jika seperti ini tata cara ideal saat menjatuhkan talak, masih adakah orang yang begitu mudahnya menjatuhkan talak, atau minta talak atau menyarankan perceraian?
Tidak heran, al-Nawawī dengan mengutip para ulama mengatakan bahwa aturan wanita harus nikah dengan lelaki lain sebelum kembali ke suami pertama itu hikmahnya adalah agar orang tidak bermudah-mudah menjatuhkan talak sampai tiga. al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Para ulama berkata, hikmah disyaratkannya taḥlīl (wanita menikah dengan lelaki lain dengan pernikahan serius sampai disetubuhi) adalah agar orang menjauh dari talak tiga.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn)
***
7 Żulqa‘dah 1442 H