Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jawaban singkatnya adalah tidak. Talak sah diucapkan suami di dalam rumahnya, di masjid, di pasar, di jalan atau di tempat manapun dan tidak disyaratkan harus di depan hakim, apalagi harus disetujui oleh hakim. Alasannya, hukum asal talak itu di tangan suami, bukan di tangan hakim. Allah memberikan hak talak kepada suami, bukan kepada hakim.
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah memberi hak talak kepada suami adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Apabila kalian (para suami) mentalak istri-istri (kalian), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula).”
Dalam ayat di atas, Allah memberi petunjuk kepada para suami terkait tata cara mentalak. Kata mentalak (ṭallaqa) dalam ayat di atas disandarkan kepada antum (kalian), yakni para suami. Hal ini menunjukkan yang mentalak itu suami, bukan istri. Dengan demikian bisa difahami bahwa Allah memberi hak talak kepada suami, bukan kepada istri apalagi hakim.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu.”
Dalam ayat di atas, Allah memberi petunjuk kepada Rasulullah ﷺ jika hendak mentalak istri-istrinya. Sangat jelas dalam kasus rumah tangga Rasulullah ﷺ, yang melakukan talak adalah Rasulullah ﷺ bukan istri-istri Rasulullah ﷺ. Posisi Rasulullah ﷺ adalah sebagai suami. Jadi ayat ini menguatkan bahwa Allah memberi hak talak itu kepada suami.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Talak itu adalah hak orang yang punya wewenang menyetubuhi.”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa yang punya hak talak itu adalah orang yang punya wewenang menyetubuhi. Orang yang halal menyetubuhi adalah suami. Jadi, hadis ini cukup lugas menunjukkan bahwa suamilah yang diberi Allah hak talak, bukan istri apalagi hakim. Sababul wurūd hadis ini menegaskan kesimpulan ini. Sebab konteks hadis tersebut adalah kritikan Rasulullah ﷺ terhadap para tuan budak yang ingin menceraikan budak-budak wanita yang dimilikinya dengan suaminya. Lalu Rasulullah ﷺ mencela hal tersebut dan mengajarkan bahwa hak talak itu di tangan suami, bukan di tangan tuan yang memiliki budak perempuan tersebut.
Rasulullah ﷺ sendiri diriwayatkan pernah mentalak Hafṣah. Jadi ini menunjukkan suami lah yang berhak mentalak, bukan istri. Abū Dāwūd meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas dari Umar bahwa Rasulullah ﷺ pernah mentalak Hafshah lalu merujukinya kembali.”
Kasus-kasus talak di zaman Nabi ﷺ juga menunjukkan keabsahan talak itu tidak menunggu harus dibawa ke depan Rasulullah ﷺ atau ke depan hakim yang ditunjuk Rasulullah ﷺ. Talak Ibnu Umar misalnya. Ketika Ibnu mentalak istrinya di masa haid, lalu dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ oleh Umar, Rasulullah ﷺ memerintahkan supaya Ibnu Umar merujuk istrinya lagi.
Nah, ketika Rasulullah ﷺ baru tahu Ibnu Umar mentalak istrinya di masa haid setelah dilapori Umar, hal itu menunjukkan bahwa talak itu tidak dituntut dilakukan di depan hakim. Hal ini sekaligus menunjukkan keabsahan talak walaaupun tidak dilakukan di depan hakim. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Ibnu Umar mentalak isterinya dalam keadaan haid. Maka ‘Umar pun melaporkan hal itu pada Nabi ﷺ. Akhirnya beliau bersabda, “Hendaklah ia merujuknya kembali.” Aku bertanya, “Apakah talak itu dihitung?” Ia menjawab, “Kenapa tidak?”
Dalil-dalil ini semuanya menguatkan satu sama lain bahwa hak talak itu diberikan Allah kepada suami, bukan kepada istri, orang tua, guru, majikan, hakim, apalagi orang asing.
BANTAHAN PENDAPAT YANG MENGHARUSKAN TALAK DI DEPAN HAKIM
Motivasi dan semangat utama gagasan yang menghendaki wewenang talak diberikan kepada hakim adalah untuk melindungi perempuan dan anak-anak yang terkena dampak talak. Jika hak talak diberikan kepada suami, maka dikhawatirkan suami akan sewenang-wenang menggunakannya sehingga tidak merealisasikan maksud agung pernikahan dan justru malah menimbulkan masalah di masyarakat.
Minimal ada 14 argumentasi untuk membantah alasan ini
Pertama,
Allah memberi hak talak pada suami, bukan kepada hakim. Jadi sudah semestinya tidak boleh hak suami ini dirampas secara semena-mena dengan alasan apapun lalu diberikan sepenuhnya kepada hakim semata-mata. Ini adalah bentuk kezaliman, sebab merupakan bentuk merampas hak orang lain tanpa alasan yang syar’i. Tidak boleh dan tidak bisa dibenarkan ada gagasan baru yang mempreteli hak suami tanpa hujah syar’i, sebab itu serupa dengan membuat din sendiri.
Kedua,
Mewajibkan talak di depan hakim akan membongkar aib yang mestinya ditutup. Tahun 2017 pernah ada berita seorang suami menceraikan istrinya dengan alasan pantatnya hitam. Kasus ini masuk ke pengadilan dan ditanyakan hakim. Tentu saja kasus mereka terdokumentasi dengan rapi dalam arsip pengadilan agama yang bisa diakses. Berita mereka juga disebarkan dan akhirnya menjadi konsumsi umum. Bukankah ini aib dan justru malah bertentangan dengan semangat menutupi aib, menjaga kehormatan dan memelihara aurat yang diajarkan Islam? Seandainya talak diselesaikan di rumah, maka tidak perlu sampai menjadi berita luas yang bisa diakses siapapun. Suami-istri juga bisa tenang karena tidak punya kewajiban menyampaikan kepada siapapun terkait alasan mengapa mereka bercerai. Bisa jadi juga alasan talak juga terkait aib suami yang dia tidak suka jika menjadi konsumsi publik, misalnya terpergok berzina. Jadi, mewajibkan talak di depan hakim justru merugikan wanita dan membongkar aib yang seharusnya tidak perlu dibuka. Ia juga merugikan lelaki karena melecehkan kehormatannya.
Ketiga,
Mengharuskan talak di depan hakim bisa terkena dosa menguntit aurat dan ikut campur urusan orang lain. Hukum asal aurat, urusan pribadi dan aib orang lain itu terjaga dan haram mengorek-ngoreknya. Kita di larang mencampuri urusan orang tanpa ada sebab syar’i. Mengharuskan talak di depan hakim (padahal suami tidak ingin masalah rumah tangganya diketahui orang demi menjaga kehormatan dirinya, istrinya, keluarganya, keluarga istrinya dan sebagainya) malah membuat hakim bisa berdosa karena memaksa mengetahui aurat orang lain tanpa hak. Hakim hanya boleh tahu masalah rumah tangga jika ada sebab-sebab syar’i seperti īlā’, zihār, li‘ān, suami tidak memberi nafkah, suami melakukan kekerasan yang membahayakan nyawa istri dan lain sebagainya. Itupun semua diatur dalam fikih batas-batasnya agar tetap berjalan secara proporsional. Jadi, ada potensi dosa pada saat memaksa suami untuk mentalak di depan hakim.
Keempat,
Tuntutan keabsahan talak harus di dapan hakim bisa menyerat penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal. Misalnya, suami sudah sah secara syar’i menjatuhkan talak sebanyak tiga kali di rumah. Konsekuensinya, pasangan suami istri tersebut berarti sudah tidak boleh rujuk lagi dan tidak sah menikah dengan akad baru. Tapi gara-gara prinsip talak tidak sah kecuali di depan hakim, maka pasangan suami istri ini diberi fatwa masih sah sebagai pasangan suami istri.
Akibatnya, mereka dibolehkan berhubungan suami-istri, karena dianggap masih pasangan sah, padahal statusnya sudah haram dan tergolong zina. Ini adalah di antara seburuk-buruk dampak gagasan talak harus di depan hakim. Yakni menghalalkan yang haram. Padahal keputusan hakim tidak bisa menghalalkan yang haram. Meskipun hakim memutuskan halal, jika secara hukum syar‘i haram ya tetap haram dan tidak boleh muslim melanggarnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Seorang penguasa/ḥākim tidak bisa mengubah substansi dan tidak bisa menghalalkan yang haram. Jika ada dua saksi palsu bersaksi yang menguntungkan penggugat dalam rangka memperebutkan harta, lalu ḥākim memenangkan kasusnya maka harta tersebut tidak halal bagi penggugat itu. Seandainya dua saksi palsu itu bersaksi tentang pembunuhan, maka tidak halal bagi wali korban untuk membunuhnya pada saat dia tahu kedustaan dua saksi tersebut. Jika dua saksi palsu itu bersaksi seseorang mentalak istrinya, maka tidak halal bagi orang yang mengetahui kedustaan dua saksi itu untuk menikahinya sesudah keputusan hakim yang mensahkan talak itu.” (Syarḥu al-Nawawī ‘alā Muslim, juz 6 hlm 12)
Kelima,
Mengharuskan talak hanya sah di depan hakim mengandung unsur “penghinaan” terhadap akal suami, sebab suami selalu dicurigai bodoh, tolol, dan tidak bijaksana dalam menggunakan hak talak. Ini tidak bisa diterima. Sebab, dengan asumsi ada sejumlah lelaki yang tidak bijaksana menggunakan hak talak, akan tetapi Allah lah yang memberikan hak talak kepada suami. Artinya, Allah mempercayai suami bisa menggunakannya dengan baik. Bagaimana bisa orang yang dipercaya Allah lalu tidak dipercaya manusia dengan alasan melindungi wanita? Jika ada satu dua kasus suami yang tidak bijaksana menggunakan hak talak, maka itu adalah oknum dan tidak boleh dijadikan dasar untuk mencurigai semua suami seperti itu.
Keenam,
Kadang alasan talak itu motivasi iman. Alasan seperti ini akan sangat susah dipahami dan diterima hakim jika sudut pandangnya adalah kebahagiaan duniawi. Seperti talak Ibnu Umar terhadap istrinya. Mereka adalah pasangan suami istri bahagia. Mereka saling mencintai. Istrinya baik-baik saja. Suaminya juga baik-baik saja. Malahan Ibnu Umar sangat cinta kepada istrinya. Lalu Umar khawatir cinta Ibnu Umar lebih besar daripada cintanya kepada Allah dan RasulNya sehingga Umar memerintahkan putranya menceraikan istrinya. Alasan seperti ini akan susah diterima hakim sehingga bisa jadi di zaman sekarang hakim akan menolak argumentasi seperti ini yang bisa berakibat hancurnya akhirat suami atau istri.
Ketujuh,
Mengharuskan talak di depan hakim justru berpotensi menindas wanita. Misalnya, ada kasus suami yang kejam ke istri yang kalau memukul sampai membuat jari istri patah. Istri minta cerai dan diterima suami seketika dengan menjatuhkan talak. Jika diharuskan menunggu keputusan pengadilan, bisa jadi keputusan sudah terlambat karena wanita keburu tewas karena terlalu lama keputusan cerainya. Beda jika mekanismenya sederhana, begitu sah, wanita bisa langsung menjalani masa idah dan lepas dari suami kejamnya.
Contoh kasus lain, ada seorang suami yang impoten. Istrinya mengeluh karena tidak pernah mendapatkan nafkah batin. Suaminya juga sadar dengan kekurangannya dan siap mencerai jika istri meminta sewaktu-waktu. Jika menunggu keputusan pengadilan, maka itu menzalimi wanita untuk segera menikah lagi, padahal jika mekanisme talak sederhana seharusnya dia sudah bisa cepat menikah lagi.
Contoh lain, ada kasus suami murtad terang-terangan. Jika menunggu pengadilan, maka bisa jadi wanita diperkosa lelaki yang sudah tidak halal baginya dan itu bukan melindungi wanita.
Kedelapan,
Mengharuskan talak di depan hakim juga bisa “marampok” harta istri. Misalnya ada kasus istri kaya raya. Tetapi suaminya boros dan banyak memakai harta istri untuk maksiat. Istri punya kesempatan minta cerai dan bisa segera dikabulkan suami. Jika talak menunggu keputusan hakim, bisa jadi istri wafat dulu, lalu suami berhak ½ harta. Padahal jika pelaksanaan talak itu simpel, maka suami tidak berhak harta sehingga harta istri bisa dipakai kerabatnya untuk pos yang lebih berguna dan menambah pahalanya.
Kesembilan,
Mengharuskan talak di depan hakim juga bisa merugikan suami. Misalnya ada kasus istri berzina dan dan dipergoki suami. Suami yang terbiasa menjaga kehormatan, saleh dan tekun beribadah akan sangat menderita jika mempertahankan istri yang berpotensi memalsukan nasab anaknya, merusak anak-anaknya dan membawa penyakit untuk dirinya. Jika talak bisa dilakukan dirumah, maka itu segera menentramkan suami. Jika dipaksa harus memnunggu keputusan hakim, maka itu menyengsarakan suami yang masih harus menafkahi wanita yang sudah sangat dibencinya.
Kesepuluh,
Hakim itu bukan Tuhan. Hakim tidak bisa mengetahui isi hati orang. Hakim hanya bisa menilai sesuatu dari yang tampak. Padahal, kadang-kadang ada alasan batin yang tidak bisa diungkapkan dan tidak mungkin diungkapkan di depan pengadilan yang hanya bisa dirasakan oleh pasangan suami-istri. Menyerahkan wewenang talak kepada hakim berpotensi menzalimi suami atau istri karena kelemahan hakim mengetahui isi hati pasangan suami istri.
Kesebelas,
Sangat dimungkinkan keputusan talak paksa dari hakim itu terjadi tanpa investigasi serius yang justru malah merugikan suami (saya pribadi mengetahui banyak kasus seperti ini). Banyak wanita mengurus surat cerai hanya karena cemburu dan buruk sangka kepada suami, sementara sebenarnya suaminya tidak seburuk yang digambarkan istri. Lalu istri mengurus surat cerai, lalu hakim memutuskan cerai tanpa kehadiran suami padahal suami masih sangat mencintai istrinya. Yang seperti ini, hakim malah terkena dosa merusak rumah tangga orang lain yang tergolong dosa berat.
Kedua belas,
Potensi hakim jahat sangat mungkin. Hakim jahat ini, jika mau disuap istri, maka jelas keputusan talak yang muncul akan menzalimi suami. Padahal motivasi istri mengurus talak bisa jadi karena dia yang justru selingkuh dan ingin lepas dari suaminya yang baik. Jadi, keputusan hakim untuk memudahkan talak atas keinginan istri, justru merugikan suami dan membantu tindakan jahat wanita. Termasuk jenis ta‘āwun ‘alal itsmi wal ‘udwān.
Ketiga belas,
Masalah rumah tangga itu bukan hanya masalah kezaliman yang akan dipastikan hakim dalam peradilan untuk memutuskan apakah perlu ada talak ataukah tidak. Kadang-kadang keputusan talak itu hanya masalah cinta dan benci meskipun masing-masing memenuhi kewajiban masing-masing dan tidak pernah zalim. Mengharuskan talak di depan hakim justru memperlama dosa yang diproduksi di rumah tangga, karena sangat mungkin terjadi pertengkaran tiap hari yang terus menerus yang dibumbui makian, cacian dan bahkan mungkin laknat satu sama lain.
Keempat belas,
Sesungguhnya istri adalah orang yang paling dekat dengan suami. Istri adalah orang yang langsung menjalani rumah tangga dengan suami. Jika rumah tangganya baik, yang bahagia adalah istri, bukan hakim. Jika rumah tangganya buruk, yang menderita juga istri, bukan hakim. Jika istri yang menjalani rumah tangga saja tidak diberi hak untuk mentalak, bagaimana bisa pihak eksternal malah diberi kuasa untuk menentukan pembubaran rumah tangga? Bukankah seharusnya istri lebih berhak daripada hakim mengingat hakim juga tidak tahu urusan rumah tangga jika istri tidak mengajukan cerai pada hakim? Oleh karena itu, jika istri saja tidak berhak mentalak suami kecuali diberi kuasa suami, maka hakim lebih layak tidak punya kuasa memaksakan talak atas pertimbangannya tanpa diserahi suami atau disetujui suami.
PERAN HAKIM SEHARUSNYA
Kalau begitu bagaimana menempatkan peran dan posisi hakim seharusnya?
Peran hakim itu seharusnya cukup hanya mengurus aspek administrasi. Perannya hanya boleh memastikan ikrar talak, lalu menerbitkan surat keterangan suami telah mentalak agar berlaku konsekuensi hukum talak. Tidak boleh merampas hak talak suami yang telah diberikan Allah kepadanya.
Talak itu bisa dipaksakan hakim jika suami menyalahgunakan wewenangnya sebagai suami sehingga merugikan istri misalnya tidak memberi nafkah padahal mampu, menghilang, dan lain-lain. Itupun setelah mendapatkan aduan dari istri, bukan bersifat “pre-emptive”, “agresif” dan “jemput bola” dengan cara memata-matai setiap rumah tangga untuk mengontrol perlakuan suami kepada istrinya. Hanya dalam kondisi mengadu pada hakim karena kezaliman suami (misalnya tidak memberi nafkah padahal mampu, KDRT yang membahayakan nyawa) atau kondisi yang merugikan istri-lah (misalnya suami gila, mneghilang tanpa kabar, dipenjara seumur hidup) hakim bisa menceraikan paksa.
PENUTUP
Ada dua ulama besar kontemporer yang menolak wewenang talak diserahkan hakim yaitu Wahbah al-Zuḥailī dalam kitabnya al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhū dan Muhammad Abū Zahrah dalam kitabnya tentang Personal Status yang berjudul al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah. Wahbah al-Zuḥailī berkata,
Artinya,
“Propaganda kontemporer yang menyerukan untuk menyerahkan wewenang talak di tangan hakim tidak ada gunanya karena bertabrakan dengan ketentuan syar’i. Lagi pula seorang laki-laki meyakini berdasarkan agama bahwasanya hak mentalak itu adalah miliknya. Jika dia sudah menjatuhkan talak maka status istri haram baginya tanpa harus menunggu keputusan hakim. Yang demikian itu (menunggu talak sah dengan keputusan hakim) juga tidak menguntungkan wanita itu sendiri karena talak itu kadang-kadang terjadi karena sebab-sebab rahasia yang tidak baik diumumkan. Jika wewenang talak di tangan hakim maka tersingkaplah rahasia kehidupan rumah tangga dengan publikasi putusan hukum tersebut dan dokumentasi sebab-sebabnya dalam arsip peradilan. Kadang-kadang sulit juga untuk membuktikan sebab-sebab perceraian karena (sebab yang asli adalah) ketidaksukaan watak dan perbedaan karakter.” (Al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhū, juz 9 hlm 6878)
Di negeri ini, NU juga termasuk yang menolak hak talak diberikan kepada hakim. Adapun Muhammadiyah, salah satu fatwa tarjihnya menunjukkan dukungan terhadap penyerahan wewenang talak di tangan hakim. Kebanyakan yang menyerukan talak harus di depan hakim adalah propagandis tajdīd. MUI lebih memilih jalan tengah dari dua perbedaan pandangan tersebut.
***
10 Żulqa‘dah 1442 H