Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Allah menggambarkan kehidupan rumah tangga sebagai berikut,
Artinya,
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu mawaddah dan raḥmah.“(Q.S.Al-Rūm; 21)
Pertama-tama Allah menegaskan bahwa pernikahan dan pasangan hidup itu bisa merealisasikan ketenangan (litaskunū ilaihā). Ketenangan (السكينة) adalah lawan dari kegelisahan/kekacauan (الاضطراب). Secara fakta bisa kita saksikan bahwa orang selama belum menikah secara psikis dia akan gelisah. Jangankan yang belum menikah, yang sudah menikah lalu bercerai saja juga akan merasakan kegelisahan tersebut. Ada semacam ruang kosong dalam hati dan jiwanya yang menuntut untuk diisi dan dia seolah-olah tidak tahu dengan apa kekosongan itu harus dipenuhi. Manusia secara alami memang punya potensi untuk mencintai lawan jenisnya. Dia juga punya nafsu seksual yang menuntut untuk dilampiaskan. Dua hal ini (yakni cinta dan nafsu seksual) pasti ada dalam manusia normal dan tidak mungkin dihilangkan.
Begitu dia menemukan pasangan yang sah, yakni dengan pernikahan, maka cinta itupun dilampiaskan secara halal dan nafsu seksual tersebut juga dilampiaskan secara halal pula. Dari situ mulai redalah gejolak hatinya, terisilah kekosongan jiwanya dan terpenuhilah hasratnya yang meletup-letup. Akhirnya terwujudlah sakīnah/ketenangan yang disebut Allah dalam ayat di atas sebagai hikmah pernikahan.
Pelampiasan cinta dan nafsu seksual ini alami pada manusia. Efeknya yang bisa menimbulkan ketenangan juga alami pada manusia. Oleh karena itu, ketenangan jenis ini juga ada pada orang yang pacaran, kumpul kebo, dan segala ikatan yang mungkar serta tidak sesuai dengan perintah Allah. Ketenangan jenis ini berbeda dengan ketenangan yang dirasakan ahli ibadah dengan ibadahnya.
Hanya saja, ternyata Allah tidak hanya berhenti menyebut ketenangan sebagai hikmah pernikahan. Setelah ketenangan, Allah menyebut dua perasaan lagi yang mungkin muncul sebagai akibat pernikahan, yaitu mawaddah (المودة) dan raḥmah (الرحمة).
Makna mawaddah adalah mahabbah wa ulfah, yakni cinta kasih dan simpati. Mawaddah ini bukan jenis cinta kepada lawan jenis yang sering disebut dengan istilah al-hawā (الهوى) atau ‘isyq (العشق), tetapi ini adalah jenis cinta yang ada seperti pada saudara kepada saudaranya atau teman kepada temannya. Jika Anda punya sahabat karib, lalu ada orang lain yang menjelek-jelekkan sahabat Anda, kemudian Anda marah dan membela sang Sahabat, maka Anda punya mawaddah kepada Sahabat tersebut. Perasaan mawaddah seperti ini yang juga mendorong orang untuk sering mengunjung Sahabat atau saudaranya dan merasa rindu jika lama tidak bertemu.
Adapun makna raḥmah, maka terjemah mudahnya adalah “kasih sayang”. Akan tetapi makna lebih detail untuk rahmah adalah “Keinginan untuk menjauhkan orang yang disayangi dari segala sesuatu yang membahayakan atau tidak menyenangkan”. Perasaan seperti ini biasanya ada pada ibu untuk anaknya atau ayah untuk anaknya. Saat anak sakit, kemudian ayah panik mencari obat ke apotik, maka berarti sang ayah memiliki raḥmah untuk anaknya. Saat anak bawa pisau lalu direbut sang ibu karena kuatir pisau tersebut melukai anaknya, berarti sang ibu punya raḥmah untuk anaknya.
Nah sekarang bayangkan jika Allah menggambarkan ikatan pasangan suami istri itu menggabung antara sakīnah, mawaddah dan rahmah! Anda tentu bisa langsung menyimpulkan bahwa jenis ikatan ini adalah gabungan ikatan cinta dua anak manusia yang berlainan jenis, ikatan persahabatan dan ikatan kekerabatan! Ibnu ‘Āsyūr berkata,
Artinya,
“Mawaddah saja adalah ikatan yang agung yang menjadi ikatan persahabatan dan persaudaraan serta cabang-cabang keduanya. Rahmah saja adalah ikatan yang di antara ekspresinya adalah ubuwwah (keayahan) dan bunuwwah (keanakan). Lalu bagaiana coba jika dua ikatan itu digabungkan?” (al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, juz 1 hlm 644)
Oleh karena itu, tidak heran jika ada beberapa orang yang ikatan pertemanannya sangat kuat, sampai membuat sumpah segala (ada yang sampai sumpah darah malahan!), tapi begitu berumah tangga, pola hidupnya berubah. Keluarga jadi diutamakan sehingga interaksi dengan teman menjadi berkurang atau bahkan “dilupakan”. Ada juga orang yang ikatan kekerabatannya kuat, tapi begitu berumah tangga interaksi dengan kerabat itu jadi berkurang atau bahkan “dilupakan”.
Ini perkara yang natural dan sesuai dengan sifat dasar manusia. Oleh karena itulah, syariat Islam mengatur agar kecenderungan ini tidak melampui batas. Peduli dengan anak istri itu sudah benar, karena sesuai fitrah dan bentuk menjalankan kewajiban yang diberikan oleh Allah, tapi tidak oleh sampai level melalaikan silaturahmi. Karena itu, jika kewajiban mengurus keluarga sifatnya harian, maka silaturahmi itu insindental saja sesuai kesempatan dan kemampuan masing-masing.
Mengurus keluarga itu sudah benar, tetapi tidak boleh sampai melupakan saudara sesama muslim. Oleh karena itu ada syariat husnul jiwār (baik dalam bertetangga), membantu orang yang kesusahan, menolong orang yang terzalimi, melaksanakan 6 hak sesama muslim dan lain-lain.
***
15 Żulqa‘dah 1442 H