Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika seorang istri berkata,
“Mas, lepaskan diriku dari ikatan nikah kita. Sebagai kompensasinya aku siap mengembalikan mahar yang pernah engkau berikan kepadaku.”
Lalu suami berkata,
“Oke.”
Maka, ini adalah khulu’ (الخلع) dan sah sebagai khulu’.
Termasuk jika suami responsnya sedikit beda dengan mengatakan,
“Aku tidak mau jika hanya mengembalikan mahar. Aku mau ditambah 10 juta.”
Lalu istri berkata,
“Iya, nggak apa-apa.”
Ini juga sah sebagai khulu’.
Sah juga jika suami yang memulai tawaran misalnya dia berkata,
“Saya talak kamu asalkan mau mengembalikan mahar yang kuberikan dulu ditambah semua biaya walimah.”
Istri menjawab,
“Baiklah.”
Ini juga sah sebagai khulu’.
Makna khulu’ (الخلع) adalah melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan sebuah kompensasi. Pelakunya adalah istri. Istilah ini berasal dari kata khala‘a (خلع) yang bermakna “melepas”. Jadi khulu’ itu inisiatifnya pada umumnya berasal dari istri yang ingin melepaskan dirinya dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Dari sini sudah mulai kelihatan bedanya dengan talak. Jika khulu’ konsep dasarnya digagas istri, maka talak itu digagas dan dijatuhkan suami.
Hal penting terkait khulu’ adalah sifatnya yang transaksional. Ia semacam akad dan kesepakatan. Jadi tidak sah jika salah satu tidak setuju. Ini beda dengan talak, sebab talak itu bisa dijatuhkan suami tidak peduli istrinya setuju ataukah tidak.
Karena ia semacam akad, maka harus ada ijab dan kabul. Jika hanya ijab saja, tidak ada kabul, maka khulu’ tersebut tidak sah. Yang memulai lafal khulu’ (ijabnya) boleh suami dan boleh juga istri.
Lafal khulu’ boleh pakai kata khāla’a (melepas/mengkhulu’), thallaqa (mentalak), lafal talak kinayah, iftadā (menebus), lafal bai’ (jual beli) asal dengan niat khulu’. Semua terjemahan lafal-lafal ini dalam bahasa apapun juga sah menjadi khulu’.
Hal penting lain dalam khulu’ adalah harus ada pembicaraan tentang “harga” pelepasan itu. Umumnya, “harga” pelepasan itu adalah pengembalian mahar oleh istri kepada suami. Nilai “harga” itu bisa sama persis dengan mahar, boleh juga lebih sedikit, dan boleh juga lebih banyak. Selama sudah sepakat maka syarat keabsahan khulu’ terpenuhi.
Jika sudah sah khulu’ maka ada sejumlah konsekuansi,
- Seketika tercerai sempurna (tidak seperti talak biasa yang harus menunggu masa idah selesai baru tercerai sempurna)
- Wanita wajib menjalani masa idah sama seperti saat ditalak
- Di masa idah mereka tidak bisa rujuk. Yang bisa adalah nikah baru setelah masa idah selesai
- Statusnya dihukumi seperti talak satu. Jadi andai nikah kembali, maka sisa talak tinggal dua
Khulu’ pertama kali terjadi di zaman Rasulullah ﷺ pada rumah tangga orator Nabi ﷺ yang bernama Tsābit bin Qais (ثابت بن قيس).
Diceritakan, istrinya tidak mempermasalahkan kualitas agama suaminya, tapi nampaknya wajah, warna kulit dan perawakan suaminya membuatnya tidak tahan tinggal bersamanya. Katanya, “Seandainya aku tidak takut kepada Allah, ingin rasanya aku meludahi wajahnya!”
Akhirnya kegalauan ini diadukan kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ menawarkan apakah istri Tsābit mau mengembalikan mahar yang pernah diberikan Tsābit kepadanya berupa kebun. Istrinya setuju dan Tsābit juga setuju. Akhirnya terjadilah khulu’ dan inilah khulu’ pertama kali dalam Islam. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas bahwasanya istri Tsābit bin Qais datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab: “Ya.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Terimalah kebun itu (wahai Tsābit), dan ceraikanlah ia dengan talak satu.”
Patut dicatat, khulu’ sah meskipun dilakukan di dalam rumah. Tidak harus dibawa ke pengadilan. Jadi statusnya seperti talak yang juga sah tanpa harus dibawa ke pengadilan. Jika suami menolak khulu’, maka hakim tidak bisa memaksanya menerima khulu’.
***
16 Żulqa‘dah 1442 H
2 Comments
Hasyim
Terima kasih ustadz ilmunya🙏🙏
Maaf mau nanya; klo istri menggugat cerai di pengadilan namun suami tidak setuju dg gugatan tersebut apakah sah hukum khuluk nya
Admin
tidak sah. Khulu’ harus atas persetujuan suami. Kecuali suami melanggar kewajibannya misalnya tdk memberi nafkah, mmebahayakan nyawa istri dll, mk bs diceraikan paksa oleh hakim