Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Rasulullah ﷺ memerintahkan agar istri menaati suaminya dan hukum ketaatan ini adalah wajib. Jika wanita sanggup taat kepada suami, maka dijamin dia akan masuk surga dari pintu manapun yang dikehendakinya. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Apabila seorang istri melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan’.” (H.R.Ahmad)
Salah satu urusan yang istri diminta taat kepada perintah suami adalah dalam urusan makanan.
Memang benar, jika suami telah memberikan nafkah makan, maka istri bebas menyantap makanan tersebut atau mensedekahkannya atau menjualnya kembali. Jika nafkah makan itu dirupakan uang, maka istri berhak membeli makanan apapun yang disukainya selama halal.
Akan tetapi, suami berhak melarang istri menyantap makanan tertentu dan istri dituntut menaati suami jika sudah ada jenis perintah demikian.
Kriteria makanan yang suami berhak melarang istrinya untuk mengkonsumsinya adalah,
Pertama, makanan itu mengganggu suami. Misalnya istri suka sekali petai atau jengkol atau lalapan bawang atau makanan lain yang memberi efek bau tajam di mulut. Jika suami tidak suka hal itu, entah karena membuat seleranya pada istri menjadi turun, atau membuat dirinya merasa mual atau sebab-sebab lain yang intinya menunjukkan suami tidak suka, lalu suami melarang istrinya makan jenis makanan seperti itu, maka istri wajib taat.
Kedua, makanan itu membinasakan istri. Misalnya makanan yang mengandung racun. Yang ini tentu mudah dipahami. Ketaatan istri menuruti perintah suami jenis ini bukan hanya karena ada hukum kewajiban taat suami tetapi juga karena ada hukum larangan bunuh diri dan perintah amar makruf nahi mungkar kepada suami untuk mencegah istrinya bunuh diri karena bunuh diri adalah dosa besar. Untuk jenis kedua ini, suami berhak melarang istri dan istri pun juga berhak melarang suami.
Ketiga, makanan itu membahayakan kesehatan istri. Misalnya istri sangat suka pizza. Suami tahu bahwa istri punya sakit jantung dan banyak makan pizza bisa membahayakan jantungnya. Dalam kondisi ini suami berhak melarang istrinya makan pizza dan istri harus taat. Contoh lain, istri sangat suka minuman bersoda. Padahal suami tahu istrinya punya penyakit diebetes atau beresiko penyakit diabetes. Dalam kondisi ini suami berhak melarang total atau membatasi istri minum minuman bersoda dan istri wajib taat. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Suami berhak melarang istri mengkonsumsi bawang, termasuk makanan yang baunya mengganggu berdasarkan pendapat yang terkuat. Hal ini telah kami sebutkan dalam bab nikah. Suami juga berhak melarang istri menyantap racun tanpa ada perbedaan pendapat. Masing-masing pasangan suami istri juga berhak melarang itu. Terkait masalah apakah suami berhak melarang istri memakan makanan yang dikhawatirkan menyebabkan sakit, ada dua pendapat. Yang terkuat adalah ‘Ya’.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 9 hlm 50)
Jika pasangan suami istri berselisih apakah sebuah makanan berbahaya ataukah tidak, maka pendapat yang benar harus dikembalikan pada ahlinya, yakni pakar gizi atau pakar kesehatan yang mendalami ilmu itu. Jika antar pakar gizi terjadi perbedaan pendapat, maka ini mirip dua orang ulama atau lebih yang memberi fatwa berbeda untuk kasus yang sama. Kewajiban muslim adalah memilih ulama yang lebih pakar, lebih bertakwa dan lebih berhati-hati dalam menilai sesuatu. Demikian pula dalam hal kepakaran terkait ilmu duniawi.
Jika ada perbedaan pendapat di antara dua pakar atau lebih, maka harus dipilih pakar yang lebih luas ilmunya, yang lebih tajam analisisinya, yang lebih berhati-hati dan lebih bertakwa.
Rasulullah ﷺ mengajarkan prinsip kepakaran dalam urusan kesehatan. Oleh karena itu saat ada dua dokter disodorkan kepada beliau, yang diperintahkan maju mengobati adalah yang paling pakar di antara keduanya. Mālik meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Zaid bin Aslam bahwa pada masa Rasulullah ﷺ ada seorang laki-laki menderita luka yang mengeluarkan darah. Kemudian dia memanggil dua (dokter) dari Bani Anmar, keduanya lalu menjenguk seraya bercerita bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada mereka berdua: “Siapa di antara kalian yang pakar dalam ilmu kedokteran?” (H.R.Mālik )
***
29 Żulqa‘dah 1442 H