Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Seorang anak yang saleh, yakni yang beriman terhadap hari akhir, yang berbakti kepada orang tuanya dan takut terhadap Rabb-nya, tentu tidak hanya memikirkan nafkah untuk anak-istri. Seorang anak saleh juga akan memikirkan nafkah orang tuanya, sebab hukum anak menafkahi orang tua adalah wajib, tidak peduli apakah orang tua muslim ataukah non muslim.
Dalil yang menunjukkan wajib menafkahi orang tua adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Pergaulilah mereka (orang tua) di dunia secara makruf.” (Q.S.Luqmān: 15)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya mempergauli orang tuanya di dunia dengan makruf. Menafkahi termasuk mempergauli orang tua dengan makruf, bahkan salah satu bentuk terbaik dalam mempergauli. Sebab, sungguh pergaulan yang buruk jika anak sampai membiarkan orang tua kelaparan, lalu menjadi pengemis atau menjadi gelandangan, atau dilempar ke panti jompo.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (al-Isrā’; 23)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya berbuat baik kepada orang tua. Berbuat baik kepada orang tua sifatnya wajib karena digandeng langsung dengan perintah menyembah Allah secara murni tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun. Jadi seakan-akan perintah birrul waidain ini sama pentingnya dengan perintah mentauhidkan Allah dan tidak ada hak hamba yang diperlakukan seperti ini dalam Al-Qur’an selain hak orang tua. Jadi, ayat ini bukan hanya menegaskan wajibnya birul walidain, tetapi juga menunjukkan kedudukan birrul walidain yang menduduki posisi sangat penting sehingga seolah-olah menjadi kewajiban yang levelnya langsung di bawah kewajiban menyembah Allah dengan ikhlas. Bentuk birrul walidain terbaik adalah menjamin nafkah orang tua, karena dengan nafkah terjagalah kehidupan orang tua dan selamat dari kebinasaan.
Senada dengan ayat di atas adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Aku berwasiat kepada manusia supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (al-‘Ankabūt; 8)
Allah memberi wasiat kepada anak supaya berbuat baik kepada orang tuanya. Sesuatu jika sampai diwasiatkan, maknanya amal ini penting. Jadi, ayat ini menguatkan kewajiban berbakti kepada orang tua sekaligus menegaskan wajibnya anak menafkahi orang tuanya.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
«سنن أبي داود ت محيي الدين عبد الحميد» (3/ 289
Artinya,
“Dari Aisyah dari Nabi ﷺ , bahwa beliau bersabda:”Anak seseorang adalah hasil kerjanya, dan sebaik-baik hasil kerjanya. Maka makanlah sebagian dari harta mereka!” (H.R. Abū Dāwūd)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengizinkan orang tua untuk memakan harta anaknya meskipun tanpa izin anak. Ini menunjukkan dalam harta anak ada hak orang tua. Sebab, mengambil harta orang lain tanpa izin adalah pencurian dan itu perbuatan dosa. Ketika mengambil harta sampai dibolehkan, maka itu menunjukkan yang mengambil harta punya hak atas sebagian harta orang yang diambilnya. Oleh karena itu, orang yang kelaparan yang dikuatirkan mati boleh mencuri harta tetangganya yang kaya dan dia tidak dihukum karena pencurian tersebut, sebab itu memang haknya. Tetangga yang kaya dan tidak peduli perut tetangga yang miskin itulah yang berdosa, sebab wajib hukumnya orang kaya membantu tetangga yang kelaparan dan menjaganya agar tidak sampai binasa. Oleh karena orang tua boleh mengambil harta anaknya tanpa izin sekedar untuk bertahan hidup, maka hal ini menunjukkan orang tua punya hak atas sebagian harta anaknya sehingga bisa difahami menafkahi orang tua hukumnya wajib.
Kata ibnu al-Munżir, wajibnya anak menafkahi orang tua ini sudah menjadi ijmak. Al-Syirbinī menulis,
Artinya,
“Ibnu al-Munżir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat bahwasanya menafkahi kedua orang tua yang sudah tidak bekerja dan tidak punya harta adalah wajib dengan diambilkan dari harta anak.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 183)
Hanya saja, tidak semua orang tua wajib dinafkahi. Kondisi orang tua wajib dinafkahi adalah jika beliau sudah MEMBUTUHKAN. Jika tidak membutuhkan, maka pemberian harta kita kepada mereka sifatnya sunah, bukan wajib yang menuntut alokasi harta khusus kepada beliau. Contoh orang tua tidak butuh adalah orang tua yang kaya raya. Orang tua semacam ini tidak wajib dinafkahi. Meskipun beliau sudah tua renta, sudah tidak kuat bekerja, sudah sakit-sakitan dan semisalnya tetapi selama harta simpananya masih banyak dan bisa mencukupi kebutuhan beliau, maka status nafkah kepada orang tua dalam kondisi ini tidak wajib.
Jadi anak wajib menafkahi orang tua hanya dalam kondisi butuh saja.
Adapun hal-hal yang biasanya membuat orang tua menjadi butuh di antaranya adalah,
PERTAMA, sudah tidak kuat bekerja.
Pada saat orang tua masih muda beliau masih bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan bisa memenuhi kebutuhan anak. Begitu sudah tua, maka beliau sudah tidak kuat lagi bekerja sehingga menjadi butuh. Dalam kondisi ini, wajib bagi anak menafkahi rutin orang tuanya dan memulikannya sehingga tidak perlu bekerja lagi. Termasuk dihukumi butuh adalah jika orang tua kuat bekerja tapi tidak layak dengan kemampuannya. Misalnya orang tua berusia 70 tahun, lalu beliau mendapat pekerjaan sebagai penarik sampah. Yang seperti ini meskipun lahirnya orang tua mampu bekerja, tapi pekerjaan seperti itu tidak layak bagi orang tua yang sudah lemah tubuhnya, karena pekerjaan seperti itu jelas membutuhkan tenaga besar. Dalam kondisi ini anak sudah wajib “mempensiunkan” orang tua lalu menjamin nafkahnya.
KEDUA, miskin.
Yakni orang tua punya harta atau masih bekerja, tapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan primernya. Dalam kondisi ini orang tua sudah termasuk kategori butuh sehingga anak wajib menafkahinya.
KETIGA, sakit.
Bisa jadi orang tua masih sehat badannya dan masih kuat tenaganya. Dalam kondisi normal, beliau bisa menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Tetapi suatu hari beliau diuji dengan sakit sehingga tidak bisa bekerja. Dalam kondisi ini status orang tua sudah bisa disebut butuh sehingga anak seketika itu juga wajib menafkahi orang tuanya sampai beliau sembuh kembali dan bisa bekerja lagi.
KEEMPAT, cacat.
Kondisi cacat dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah zamānah (الزمانة). Kondisi orang tua sehat walafiat, tetapi beliau lumpuh kaki, atau lumpuh tangan atau buta sehingga tidak mungkin bekerja atau kalaupun bekerja akan menyusahkan. Dalam kondisi ini orang tua sudah layak disebut butuh sehingga wajib anak menafkahinya secara rutin.
KELIMA, gila.
Jika anak diuji dengan orang tua yang gila, maka dia wajib menjamin nafkahnya sampai wafatnya. Sebab orang gila sudah tidak ditaklif dalam kondisi butuh dan mustahil dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Hanya saja, kewajiban anak menafkahi ini diikat syarat, yakni anak dalam kondisi mampu (mūsir). Artinya, jika anak miskin dan justru kekurangan harta, maka kewajiban menafkahi orang tua menjadi gugur.
Standar mampu dihitung dari kelebihan hartanya. Jika dalam satu hari, orang sudah memenuhi kebutuhan primer dirinya dan istrinya yang mencakup sandang, pangan dan papan (termasuk biaya pembantu istri atau ummu walad jika ada), lalu hartanya masih berlebih, berarti dia dihitung mampu.
Jika penghasilannya perpekan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sepekan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu. Jika penghasilannya perbulan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sebulan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu.
BAGAIMANA JIKA ANAK LEBIH DARI SATU? SIAPA YANG WAJIB MENAFKAHI?
Jika anak hanya satu, maka hukum wajibnya anak menafkahi orang tua ini tidak menimbulkan masalah. Langsung bisa dipraktekkan. Tapi bagaimana jika anak lebih dari satu?
Jawabannya adalah semua wajib menafkahi tanpa membedakan apakah anak tersebut laki-laki ataukah perempuan. Beban nafkah dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan berapa besar penghasilan masing-masing anak. Selama mereka mampu, tidak peduli satunya kaya raya sementara satunya kaya biasa atau sekedar cukup lebih sedikit, maka beban nafkah itu dibagi rata di antara mereka.
Misal anak ada dua laki-laki, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.
Demikian pula jika anak berjumlah dua perempuan, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak perempuan itu wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.
Termasuk juga jika anak terdiri dari laki-laki dan perempuan. Beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.
Demikianlah, terus dibagi rata tergantung jumlah anak. Jika anaknya 10, maka beban itu juga dibagi untuk 10 orang. Jika ada yang tidak mau, maka dia berdosa dan bisa diadukan ke pengadilan agar dipaksa untuk memberikan nafkah.
Jika di antara anak itu ada yang tidak mampu, maka kewajiban menafkahi orang tua hanya berlaku pada yang mampu sementara yang tidak mampu menjadi gugur keajibannya.
Yang paling sering terjadi adalah kasus anak wanita yang sudah menikah. Jika seorang wanita menikah, lalu dia tidak bekerja, atau tidak diizinkan bekerja oleh suaminya, sehingga tidak punya uang pribadi untuk menafkahi orang tuanya, maka gugurlah kewajiban menafkahi, sebab ketaatan kepada suami memang harus diutamakan daripada berbuat baik kepada orang tua dalam kondisi berbenturan. Meskipun suami wanita ini kaya, maka wanita ini tetap tidak wajib menafkahi orang tuanya selama dia sendiri tidak punya uang pribadi untuk dinafkahkan kepada orang tua. Wanita itu boleh meminta suaminya membantu menafkahi ortunya, tapi suaminya tidak wajib memenuhi, sebab kewajiban menafkahi menjadi beban anak, bukan menantu.
Patut dicatat, anak yang wajib menafkahi orang tua ini bukan hanya anak hakiki, tapi termasuk juga anak majasi seperti cucu, cicit dan seterusnya. Tidak peduli dari jalur putra maupun putri. Selama masih bisa disebut keturunan anak hakiki terus ke bawah maka statusnya tetap disebut anak. Jadi mulai hari ini para cucu dan para cicit wajib memperhatikan juga nafkah kakek, nenek, buyut dan canggah-canggahnya jika beliau semua masih ada. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Wajib menafkahi orang tua termasuk jalur terus ke atas.” (Minhāj al-Ṭālibīn hlm 265)
***
7 Zulhijjah 1442 H.