Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Dalam mazhab al-Syāfi‘ī, disunahkan membaca Sūrah Yāsin pada muḥtaḍar (orang yang sudah dekat ajalnya). Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Disunahkan membaca Sūrah Yāsīn di dekat orang yang menjelang wafat.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 2 hlm 97)
Ada sejumlah riwayat yang menjadi dasar ketentuan ini. Di antaranya adalah riwayat al-Nasā’ī berikut ini,
Artinya,
“Maḥmūd bin Khālid memberitahu aku, ia berkata, al-Walīd memberitahu kami, ia berkata, Abdullah bin al-Mubārak memberitahu aku dari Sulaimān al-Taimī dari Abū ‘Utsmān dari Ma‘qil bin Yasār bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bacakanlah Yāsīn kepada orang yang hendak wafat di kalangan kalian” (H.R. al-Nasā’ī)
Hadis di atas juga diriwayatkan Ahmad, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah,Ibnu Ḥibbān,al-Ṭayālisī, al-Ṭabarānī, al-Ḥākim, al-Baihaqī, al-Bagawī, Ibnu Abī Syaibah, Abū ‘Ubaid dalam Faḍā’il al-Qur’ān, dan lain-lain.
Hanya saja, riwayat di atas diperselisihkan statusnya. Mayoritas ahli hadis mendaifkannya karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abū ‘Utsmān (bukan Abū ‘Utsmān al-Nahdī) yang dianggap majhūl. Penyebab daif yang lain adalah periwayatannya yang muḍṭarib dan dianggap tidak marfū’ ke Rasulullah ﷺ. Tetapi Ibnu Ḥibbān memasukkan Abū ‘Utsmān dalam kitab al-tsiqāt-nya yang memberi kesan hadis ini bisa diterima. Al-Munżirī juga mengatakan hadis ini ḥasan dalam kitab Takhrīju Aḥāḍītsi al-Muhażżab. Kata Al-Nawawī dalam Khulāṣatu al-Aḥkām, Abū Dāwūd tidak mendaifkannya.
Dalil lain yang dijadikan penguat anjuran membaca Sūrah Yāsīn untuk orang menjelang wafat adalah riwayat ini,
Artinya,
“Telah menceritakan kepada kami ‘Arim, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir dari Ayahnya dari seseorang dari Ayahnya dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Al Baqarah adalah Al Qur’an kedudukan yang tertinggi dan puncaknya. Delapan puluh Malaikat turun menyertai masing-masing ayatnya. Lā ilāha illāhu wal hayyul qayyūm di bawah ‘Arsy, lalu ia digabungkan dengannya, atau digabungkan dengan surat Al Baqarah. Sedangkan Yasin adalah hati Al Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya, sedang ia mengharap (ridla) Allah Tabaraka wa Ta’ala dan akhirat, melainkan dosanya akan di ampuni. Bacakanlah surat tersebut terhadap orang-orang yang hendak mati di antara kalian.” (H.R. Ahmad)
Tapi riwayat di atas daif karena dalam sanadnya ada dua perawi majhul.
Hadis lain yang dijadikan dasar adalah riwayat al-Dailamī berikut ini,
Artinya,
“Tidaklah ada mayit yang hendak mati yang dibacakan di dekatnya Sūrah Yāsin kecuali Allah akan meringankan sekaratnya.” (H.R. al-Dailamī dalam al-Firdaus bi Ma‘tsūri al-Khiṭāb, juz 4 hlm 32)
Tapi, riwayat di atas daif karena dalam sanadnya ada perawi daif bernama Marwān bin Sālim.
Hadis lain yang dijadikan penguat adalah riwayat Abū Bakr al-Syāfi‘ī dalam Rubā’iyyāt berikut ini,
Artinya,
“Tidak ada orang sakit yang dibacakan di dekatnya Sūrah Yāsīn kecuali dia akan mati dalam keadaan tidak kehausan, masuk kubur dalam keadaan tidak kehausan, dan dibangkitkan dalam keadaan tidak kehausan.”
Riwayat di atas tidak bisa dipegang karena dalam sanadnya ada peraawi matrūk bernama ‘Abdullāh bin al-Ḥusain la-Maṣīṣī.
Kata al-Dāraquṭnī, tidak ada satupun hadis sahih terkait topik ini.
Walaupun demikian, ada
atsar ḥasan yang menunjukkan para ulama menerima hadis-hadis dalam topik ini dan mempraktekkannya. Ahmad meriwayatkan,
Artinya,
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughirah telah menceritakan kepada kami Shafwan telah bercerita kepadaku beberapa orang syaikh, mereka menghadiri Ghudlaif Al Harits Ats-Tsumali tatkala kekuatan fisiknya telah melemah, lalu berkata: “Maukah salah seorang di antara kalian membacakan surat YASIN?” “Lalu Shalih bin Syuraih As-Sakuni membacanya, tatkala sampai pada ayat yang ke empat puluh, Ghudlaif Alharits Ats-Tsumali wafat.” (Shahwan radliyallahu’anhu) berkata: “Beberapa syaikh tadi berkata: ‘Jika hal itu dibacakan di sisi mayit, maka akan diringankannya.'” Shahwan berkata: ‘Isa bin Al Mu’tamir membacakan di sisi Ma’bad.” (H.R.Ahmad)
Jadi, bisa disimpulkan dalil hukum sunahnya membaca Sūrah Yāsīn untuk orang yang menjelang wafat bukan hadis yang disepakati kesahihan atau kehasanannya. Ada satu hadis yang diperselisihan, sementara sisanya adalah riwayat-riwayat yang jelas daif. Tetapi ada atsar ḥasan yang menunjukkan para ulama sejak zaman dulu menerima riwayat tersebut, mempraktekkannya dan melihat bukti nyata manfaat dibacakan Sūrah Yāsin. HAMKA dalam tafsirnya; Al-Azhar (kendati beliau terhitung ulama Muhammadiyyah) menerima amalan ini dan menerangkan manfaat nyata dibacakannya Sūrah tersebut. Yang dimaksud manfaat di sini adalah jika orang menjelang wafat itu memang takdirnya wafat, maka beliau akan dipermudah wafatnya. Tetapi jika belum waktunya wafat, maka beliau akan disehatkan. Kata al-Syirbīnī, hikmah pembacaan Sūrah Yāsīn adalah mengingatkan orang terhadap akhirat karena isi Sūrah Yāsīn berbicara kengerian kiamat dan hari kebangkitan.
Kata Al-Nawawī, boleh memakai hadis daif (yang tidak terlalu daif) dalam perkara faḍā’il a‘māl, dan hukum sunah termasuk faḍā’il a‘māl. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Sesungguhnya mereka telah meriwayatkan hadis-hadis terkait targīb, tarhīb, keutamaan amal, kisah-kisah, hadis zuhud, akhlak mulia dan semisalnya. Yakni riwayat-riwayat yang tidak terkait halal-haram dan hukum-hukum lainnya. Bagi ahli hadis dan selain mereka, jenis hadis seperti ini boleh bersikap longgar menerimanya, meriwayatkan yang bukan mauḍū’ dan mengamalkannya karena dasar utamanya shahih dan diakui.”
Dalam al-Aẓkār, Al-Nawawī juga menegaskan prinsip ini. Beliau berkata,
Artinya,
“Para ulama di kalangan ahli hadis, fukaha dan selain mereka mengatakan, ‘Boleh dan dianjurkan beramal dalam perkara keutamaan, motivasi dan peringatan memakai hadis daif selama bukan hadits palsu. Adapun perkara hukum seperti halal-haram, jual-beli, nikah, talak dan semisal dengan itu, maka tidak boleh kecuali memakai hadits sahih atau hasan. Kecuali dalam perkara yang sifatnya berhati-hati seperti jika ada hadis daif terkait makruhnya sebagian transaksi jual-beli atau pernikahan maka disunahkan untuk menjauhkan diri darinya akan tetapi tidak wajib.” (al-Aẓkār hlm 8)
***
8 Zulhijah 1442 H