Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Semua yang wajib ditanggung, hukum asalnya harus dinafkahi semuanya sebanyak apapun selama hartanya mencukupi.
Tetapi, jika harta hanya mencukupi untuk nafkah satu pos saja, berarti harus memakai skala prioritas. Aturan umumnya adalah sebagai berikut.
Nafkah diri harus diutamakan. Setelah itu nafkah istri. Setelah itu nafkah anak yang masih kecil. Setelah itu nafkah ibu. Setelah itu nafkah ayah. Setelah itu nafkah anak yang sudah besar. Setelah itu baru prioritas terakhir, yakni nafkah kakek terus ke atas selama masih ada.
Tapi terkadang setelah nafkah istri terpenuhi terjadi situasi dilematis, yakni orang tua sama-sama butuhnya dengan nafkah anak yang masih kecil sementara nafkah yang ada hanya tersedia untuk satu pos.
Misalnya anak yang masih kecil butuh nafkah, sementara orang tua yang lumpuh juga butuh nafkah. Dalam kondisi seperti ini hak keduanya sama yakni dinafkahi dua-duanya tanpa bisa dipilih. Dengan kata lain, dalam situasi seperti ini tidak bisa dipakai skala prioritas dengan standar yang telah dijelaskan sebelumnya. Menjadi pertanyaan sekarang, “Apakah mungkin orang harus memperioritaskan nafkah orang tua daripada anak?”
Jawabannya adalah mungkin. Yakni pada saat orang tua sangat butuh (fī syiddati al-īhtiyāj) sementara anak yang kecil meskipun kelaparan, akan tetapi tidak sampai membinasakan atau membahayakan kesehatannya. Dalam kondisi seperti ini maka nafkah orang tua harus diutamakan.
Contohnya adalah orang tua yang sudah tua renta sampai level pikun atau mendekatinya dan sudah tidak kuat apa-apa lagi. Kondisi orang tua tinggal serumah bersama anak-anak misalnya. Orang tua dalam situasi kelaparan dan jika tidak diberi makanan, itu bisa berpotensi membinasakannya atau membuatnya sakit. Sementara pada saat yang sama anak juga kelaparan sampai menangis, akan tetapi jika dibiarkan lapar untuk sementara maka tubuhnya tetap sehat. Dalam kondisi ini, makanan harus diberikan kepada orang tua dan untuk sementara menunda makan untuk anak di hari itu. Al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Jika kerabat yang lebih jauh (yang wajib dinafkahi) itu cacat, maka dia didahulukan daripada kerabat yang dekat (yang wajib dinafkahi) karena kebutuhannya yang sangat.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 190)
Keputusan seperti inilah yang diceritakan Rasulullah ﷺ dalam hadis 3 orang yang terjebak ke dalam gua. Salah satu di antara mereka memiliki amalan mendahulukan makanan orang tua daripada makanan anak-anaknya meskipun kondisi anaknya saat itu menangis karena lapar. Lelaki itu mendahulukan orang tuanya yang sudah tua renta karena mengharap Allah rida dari amal birrul walidain-nya dengan skala prioritas seperti itu. Ternyata Allah rida sehingga mengabulkan doanya. Rasulullah ﷺ juga menceritakannya dalam koteks memuji. Hal ini menunjukkan, memprioritaskan orang tua yang sangat butuh daripada kebutuhan anak kecil (yang bisa ditunda) adalah keputusan yang benar dan diridai Allah. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Salah seorang di antara mereka berdoa: “Ya Allah, aku memiliki kedua orang tua yang sudah renta dan aku juga mempunyai anak-anak yang masih kecil. Aku menggembalakan kambing untuk menafkahi mereka. Apabila aku sudah selesai aku memerah susu dan aku mulai memberikan susu tersebut untuk kedua orang tua, aku mendahuluinya untuk kedua orang tuaku sebelum anakku. Pada suatu hari aku terlambat pulang hingga malam dan aku dapati kedanya sudah tertidur. Maka aku mencoba menawarkan susu kepada keduanya, aku hampiri di dekat keduanya dan aku khawatir dapat membangunkannya dan aku juga tidak mau memberikan susu ini untuk anak kecilku padahal dia sedang menangis di bawah kakiku meminta minum hingga terbit fajar. Ya Allah seandainya Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari rida-Mu, maka bukakanlah celah batu ini sehingga dari nya kami dapat melihat langit.’ Maka Allah membukakan batu itu hingga mereka sedikit dapat melihat langit.” (H.R.al-Bukhārī)
Saat menerangkan hadis ini Ibnu ḥajar al-‘Asqalānī berkata,
,
Artinya,
“Barangkali anak-anak itu (menangis karena) meminta tambahan (makanan yang) melebihi kadar yang diperlukan untuk menjaga nyawa (saja). Penafsiran ini lebih utama.” (Fatḥu al-Bārī, juz 6 hlm 510)
***
8 Dzulhijjah 1442 H