Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika seorang suami mengajak istri untuk jimak kemudian istri menolak tanpa ada uzur syar’i, maka hadis Nabi ﷺ mengajarkan bahwa perbuatan istri semacam itu termasuk dosa berat yang membuatnya dilaknat malaikat sampai dia taat dan memenuhi ajakan suami. Akan tetapi, jika istri meminta suami untuk berjimak lalu suami menolak tanpa ada uzur syar’i, maka tidak ada hadis sahih yang menunjukkan suami dilaknat sebagaimana istri. Hal ini menunjukkan ketentuan dalam hal ini memang berbeda.
Hanya saja, hal ini tidak bermakna suami bebas menolak istri sesukanya dan tidak peduli sama sekali kebutuhan syahwat istri. Tidak boleh dimaknai demikian, sebab Allah memerintahkan suami untuk mempergauli istri dengan baik. Memenuhi hasrat istri dalam urusan syahwat termasuk pergaulan baik, bahkan di antara jenis pergaulan terpenting karena dengan itu hasrat istri bisa reda yang berfungsi menjaganya untuk terjerumus dalam dosa dan perselingkuhan.
Hadis-hadis Nabi ﷺ juga menegaskan bahwa istri punya hak disetubuhi, misalnya nasihat Rasulullah ﷺ kepada ‘Utsmān bin Maẓ’ūn berikut ini,
Artinya,
“Bertakwalah kepada Allah wahai Utsmān karena istrimu itu punya hak terhadapmu.” (H.R.Abū Dāwūd)
Termasuk nasihat Rasulullah ﷺ kepada ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Aṣ berikut ini,
Artinya,
“Dan sesungguhnya istrimu itu punya hak terhadapmu.” (H.R.al-Bukhārī)
Termasuk semisal dengan ini adalah nasihat Salmān al-Fārisī terhadap Abū al-Dardā’ yang diketahuinya terkesan tidak pernah menggauli istrinya demi ibadah.
Ketentuan dalam fikih bahwa wanita berhak minta cerai jika suami impoten, atau mamsūh atau majbūb menunjukkan hak disetubuhi adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami, bukan hanya sekedar anjuran.
Memenuhi kebutuhan “nafkah batin”istri jenis ini, yakni menjimakinya termasuk kewajiban suami dan bahkan bisa tergolong dosa besar jika sengaja tidak memenuhinya dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dibahas dalam hukum-hukum īlā’ (الأيلاء). Al-Qalyūbī berkata,
Artinya,
“(īlā’ adalah) sumpah seorang suami untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam waktu yang lama sebagaimana yang akan dijelaskan dan perbuatan ini adalah dosa besar.” (ḥāsyiyah al-Qalyūbī wa ‘Amīrah, juz 4 hlm 9)
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, “Berapa banyak intensitas ideal seorang suami menyetubuhi istrinya dan kapan seorang suami sudah dikatakan berdosa dan melalalaikan hak istri jika tidak melakukannya?”
Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Pergaulan terbaik seorang suami terhadap istrinya terkait jimak adalah memenuhi syahwat istrinya sesuai kebutuhan. Dalam hal ini kebutuhan wanita bisa berbeda-beda. Jika butuhnya satu kali dalam sehari, maka suami yang baik mengimbanginya juga sekali dalam sehari. Jika butuhnya sampai 3 kali dalam sehari, maka suami yang baik juga mengimbanginya 3 kali dalam sehari sekali. Jika butuhnya sekali dalam 2 hari, maka suami juga mengimbangi sekali dalam 2 hari dan seterusnya. Perbuatan suami seperti ini, selama niatnya benar seperti niat mempergauli istri dengan baik atau niat mendapatkan anak saleh atau niat menjaga kehormatan istri, atau niat menjaga istri agar bisa menjaga mata, atau niat menjaga istri agar tidak berfantasi yang aneh-aneh dan semisalnya semuanya dihitung ibadah dan amal saleh. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jimak bisa menjadi ibadah jika suami meniatkan untuk memenuhi hak istrinya, atau meniatkan mempergaulinya dengan baik sebagaimana diperintahkan oleh Allah ta’ala, atau meniatkan untuk memperoleh anak saleh, atau meniatkan menjaga kehormatan dirinya, atau menjaga kehormatan istrinya, atau menjaga masing-masing untuk melihat yang haram atau berfantasi atau berkeinginan untuk berzina dan maksud maksud baik lainnya.” (Syarḥu Al-Nawawī ‘alā Muslim juz 7 hlm 92)
Jika suami sibuk karena pekerjaan atau melakukan kewajiban yang lain, maka suami yang saleh akan menyempatkan untuk menyetubuhi istrinya minimal sekali dalam 4 hari. Angka 4 hari diperoleh berdasarkan qiyās pada kasus lelaki beristri empat. Dengan asumsi tiap istri mendapatkan giliran bermalam masing-masing satu hari, berarti tiap orang akan disetubuhi suaminya sekali dalam empat hari. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Level paling rendah adalah tidak membiarkan 4 malam kosong tanpa menggauli istrinya dalam satu malam.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 7 hlm 344-345)
Hanya saja, menyetubuhi istri minimal satu kali dalam empat malam itu statusnya sunah, bukan wajib. Jika suami tidak melakukannya, maka suami tidak berdosa.
Batas maksimal suami tidak menyetubuhi istri adalah 4 bulan hijriah. Jika sampai lebih dari itu, maka suami dikatakan sudah zalim terhadap istrinya, sudah berdosa sehingga istri berhak mengajukan pemisahan paksa jika suami masih tetap bersikukuh tidak mau menggauli istrinya. Ketentuan ukuran 4 bulan ini digali dari hukum īlā’. Seorang suami yang bersumpah atas nama Allah tidak mau menyetubuhi istrinya diberi kesempatan melaksanakan sumpahnya maksimal hanya 4 bulan. Jika sudah mencapai waktu tersebut dia diberi pilihan antara dua hal yakni memenuhi hak setubuh istrinya atau mentalaknya. Jika dia tidak mau menyetubuhi istrinya, maka hakim akan memaksanya untuk mentalak. Dalam kitab al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan,
Artinya,
“Dari sisi diyānah (tanggung jawab terhadap Allah), seorang istri punya hak untuk disetubuhi 1 kali setiap 4 bulan karena Allah menetapkan 4 bulan itu sebagai waktu maksimal bagi suami yang bersumpah tidak menyetubuhi istrinya.”
Peristiwa di masa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb menguatkan ketentuan 4 bulan ini.
Suatu saat Umar meronda kemudian mendengar seorang wanita bersyair yang menggambarkan lintasan pikirannya untuk berzina. Hanya saja wanita ini tidak mau melakukannya karena takut kepada Allah. Umar mencari informasi dan baru tahu bahwa wanita ini suaminya sedang berjihad sehingga lama tidak pulang. Akhirnya Umar bertanya kepada putrinya: Hafṣah, berapa lama seorang wanita bisa menahan diri tidak disetubuhi suaminya. Hafṣah menjawab 4 bulan, atau 5 bulan dan maksimal 6 bulan. Akhirnya Umar membuat kebijakan bahwa semua tentara yang sudah bertugas 4 bulan wajib pulang untuk memenuhi hak istrinya baru kemudian bisa kembali lagi bertugas. Sa‘īd bin Manṣūr meriwayatkan kisah ini sebagai berikut,
تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهْ … وَطَالَ عَلَيَّ أَنْ لَا خَلِيلَ أُلَاعِبُهْ
فَوَاللَّهِ لَوْلَا خَشْيَةُ اللَّهِ وَحْدَهْ … لَحُرِّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهْ
فَلَمَّا أَصْبَحَ عُمَرُ أَرْسَلَ إِلَى الْمَرْأَةِ، فَسَأَلَ عَنْهَا، فَقِيلَ: هَذِهِ فُلَانَةُ بِنْتُ فُلَانٍ، وَزَوْجُهَا غَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا امْرَأَةً، فَقَالَ: كُونِي مَعَهَا حَتَّى يَأْتِيَ زَوْجُهَا، وَكَتَبَ إِلَى زَوْجِهَا، فَأَقْفَلَهُ، ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى حَفْصَةَ بِنْتِهِ، فَقَالَ لَهَا: «يَا بُنَيَّةُ، كَمْ تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنْ زَوْجِهَا؟» فَقَالَتْ لَهُ: يَا أَبَهْ، يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَمِثْلُكَ يَسْأَلُ مِثْلِي عَنْ هَذَا؟ فَقَالَ لَهَا: «إِنَّهُ
لَوْلَا أَنَّهُ شَيْءٌ أُرِيدُ أَنْ أَنْظُرَ فِيهِ لِلرَّعِيَّةِ، مَا سَأَلْتُكِ عَنْ هَذَا» ، قَالَتْ: أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ، أَوْ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ، أَوْ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فَقَالَ عُمَرُ: «يَغْزُو النَّاسُ يَسِيرُونَ شَهْرًا ذَاهِبِينَ وَيَكُونُونَ فِي غَزْوِهِمْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ، وَيَقْفُلُونَ شَهْرًا» ، فَوَقَّتَ ذَلِكَ لِلنَّاسِ مِنْ سَنَتِهِمْ فِي غَزْوِهِمْ ” سنن سعيد بن منصور – الفرائض إلى الجهاد – ت الأعظمي» (2/ 210
Artinya,
“Bahwasanya Umar bin al Khattab radhiallahu anhu suatu malam keluar untuk meronda rakyatnya. Kemudian beliau melewati seorang wanita yang berada di dalam rumahnya sementara wanita tersebut sedang berdendang dengan syair berikut ini,
“Malam ini begitu panjang dan sisi-sisinya semua gelap.
Sudah lama bagiku tidak ada kekasih yang bisa diajak bercanda.
Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut kepada Allah semata, niscaya ranjang ini sisi-sisinya sudah bergoyang.”
Ketika di pagi hari, Umar memanggil wanita tersebut kemudian menanyainya lalu beliau diberi tahu bahwasanya ini adalah Fulanah binti Fulan. Suaminya berperang di jalan Allah. Lalu Umar mengirim seorang wanita supaya menjadi teman wanita tersebut dan Umar berpesan kepadanya,
“Kamu tinggallah bersama dia sampai suaminya datang.”
Kemudian Umar menulis surat kepada suaminya yang isinya adalah memintanya supaya pulang. Kemudian Umar pergi kepada Hafsah; putrinya lalu bertanya kepadanya,
“Wahai putriku sayang, berapa lama seorang istri bisa menahan diri tidak digauli suaminya?”
Putrinya menjawab,
“Wahai ayah, semoga Allah mengampunimu. Apakah orang seperti engkau bertanya orang seperti aku dalam perkara ini?”
Umar menjawab,
“Sesungguhnya, seandainya bukan karena kebijakan yang hendak aku tetapkan kepada rakyat, aku tidak akan menanyaimu tentang hal ini”
Maka putrinya menjawab,
“4 bulan atau 5 bulan atau 6 bulan.”
Umar pun membuat instruksi, ‘Orang-orang yang berperang mereka berangkat dalam waktu 1 bulan kemudian berperang dalam waktu 4 bulan dan mereka harus pulang dalam waktu 1 bulan. Umar menetapkan hal tersebut untuk rakyatnya di tahun itu dalam peperangan mereka.” (H.R.Sa’īd bin Manṣūr)
Dari sini bisa disimpulkan, kewajiban istri memenuhi ajakan suami itu sifatnya ‘alal faur (على الفور), yakni seketika dan tidak boleh ditunda-tunda. Sebaliknya, kewajiban suami dalam memenuhi ajakan istrinya itu sifatnya alat tarākhī (على التراخي) yakni bisa ditunda dengan kondisi ideal minimal sekali dalam 4 malam dan bisa ditunda dengan ukuran maksimal 4 bulan hijriah.
***
9 Dzulhijjah 1442 H