Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika ada orang yang baru wafat, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan.
PERTAMA,matanya dipejamkan.
Disunahkan mengusap mata mayit dan menutupnya supaya terpejam. Kata Nabi ﷺ, mata itu mengikuti arah ruh keluar. Ketika seorang Sahabat yang bernama Abū Salamah wafat dengan mata terbuka, Rasulullah ﷺ menutupnya. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ummu Salamah ia berkata: Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah ﷺ datang ke rumah kami untuk menjenguk jenazahnya. Saat itu, mata Abu Salamah tengah terbeliak, maka beliau pun menutupnya. Kemudian beliau bersabda: “Apabila ruh telah dicabut, maka penglihatan akan mengikutinya dan keluarganya pun meratap hiteris. Dan janganlah sekali-kali mendo’akan atas diri kalian kecuali kebaikan, sebab ketika itu malaikat akan mengaminkan apa yang kalian ucapkan.” Setelah itu, beliau berdo’a: “ALLAHUMMAGHFIR LIABI SALAMAH WARFA’ DARAJATAHU FIL MAHDIYYĪN WAKHLUFHU FĪ ‘AQIBIHI FIL GHAABIRIIN, WAGHFIR LANAA WALAHU YAA RABBAL ‘ALAMĪN, WAFSAH LAHU FĪ QABRIHI WA NAWWIR LAHU FĪHI (Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya.” (H.R.Muslim)
Kepentingan lain menutup mata mayit adalah untuk menghindarkan suuzan orang yang melihatnya dan demi menghindarkan pemandangan yang kurang bagus. Sebab mayit wafat dengan kondisi mata terbuka memang tidak nyaman dilihat.
Saat menutup mata mayit, bagus jika sambil membaca “Bismillāh wa ‘alā millati rasūlillāh” (dengan nama Allah dan atas dasar agama yang dibawa Rasulullah ﷺ ) setelah itu bagus jika berdoa dengan doa yang dicontohkan Rasulullah ﷺ berikut ini,
KEDUA, kepalanya diikat.
Ikatlah kepalanya memakai secarik kain lebar dari arah kedua tulang dagu sampai bagian atas kepalanya. Tujuan pengikatan ini adalah agar mulut tidak terbuka sehingga memungkinkan hewan masuk. Standar kain lebar adalah bisa mencakup seluruh tulang dagu.
KETIGA, sendi-sendinya dilemaskan.
Lemaskanlah sendi-sendi tulang mayit. Caranya, tekuk lengan bawah ke arah lengan atas lalu lalu kembalikan. Tekuk betis ke arah paha lalu kembalikan. Tekuk paha ke arah perut lalu kembalikan. Lemaskan juga sendi-sendi jarinya dengan menekuk jari ke arah telapak lalu dikembalikan. Jika saat melemaskan sendi perlu minyak, maka tidak mengapa memakainya. Tujuan pelemasan sendi ini adalah agar saat memandikan lebih mudah menyucikan mayit. Sebab, jasad setelah ditinggalkan roh itu masih bisa dilemaskan sendi-sendinya. Tapi jika sudah lama, maka akan menjadi kaku dan susah dilemaskan.
KEEMPAT, pakaiannya dilepaskan diganti kain ringan.
Lepaslah pakaian yang dipakai mayit. Tujuannya agar jenazah tidak cepat rusak karena pakaian yang dipakai itu panas. Setelah itu gantilah dengan kain ringan (Tsaubun khafīf) untuk menutup seluruh badannya sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah. Saat Rasulullah ﷺ wafat, beliau juga ditutup dengan kain ringan. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Bahwa Aisyah Ummul Mukminin berkata: “Saat meninggal, Rasulullah ﷺ ditutupi dengan kain Hibarah (yang terbuat dari kapas).” (H.R.Muslim)
Penggantian pakaian mayit dengan kain ringan adalah untuk memberi efek sejuk karena angin mudah lewat sehingga jenazah tidak lekas rusak. Jangan menutupi jenazah dengan kain berlapis-lapis agar jenazah tidak menjadi panas. Sebab hawa panas akan membuat jenazah lekas bengkak. Ujung kain diletakkan di bawah kepala dan di bawah kaki. Tujuannya agar kainnya stabil dan tidak mudah lepas sehingga aurat jenazah aman tidak sampai tersingkap. Adapun jika yang wafat orang yang berihram, maka yang ditutup sekedar yang wajib dikafani yakni seluruh tubuh kecuali kepalanya. Adapun orang mati syahid, maka bajunya tidak usah dilepas sebab orang syahid tidak dimandikan.
KELIMA, jenazah diletakkan di tempat tinggi.
Letakkan jenazah pada tempat yang tinggi seperti ranjang atau papan atau semisalnya. Saat Rasulullah ﷺ wafat, beliau dilatakkan di ranjang. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abdullah bin ‘Abbās ia berkata, ‘Tatkala jenazah Rasulullah ﷺ selesai diurus/disiapkan untuk pemakaman pada hari Selasa, jenazah beliau diletakkan di atas ranjang di rumahnya.” (H.R.al-Baihaqī)
Tujuan meletakkan jenazah pada tempat tinggi di atas tanah adalah agar tidak terkena kelembaban tanah yang membuat jenazahnya cepat rusak/cepat bengkak/cepat menggembung. Jangan meletakkan jenazah pada kasur karena itu panas dan bisa mempercepat rusaknya jenazah. Jika diletakkan pada tanah yang keras dan kering dan dipastikan tidak lembab maka tidak mengapa.
Saat proses pengangkatan dari tempat wafat menuju ranjang atau papan khusus, maka disunahkan membaca “bismillāh”. Saat berjalan membawa jenazah menuju ranjangnya disunahkan bertasbih. Dalam ranjang tersebut jenazah dihadapkan ke arah kiblat seperti posisi muḥtaḍar (orang menjelang wafat) sebagaimana yang saya jelaskan dalam catatan yang berjudul “Adab Mentalkin Orang Menjelang Wafat”. Jadi, posisi jenazah adalah ditelentangkan, lalu wajah jenazah dan kedua telapak kakinya di hadapkan ke arah kiblat (bukan dimiringkan pada sisi kanannya).
KEENAM, di atas perut jenazah diberi pemberat.
Letakkan di atas perut jenazah sesuatu yang berat seperti pedang, cermin dan semisalnya. Jika tidak ada, bisa dipakai tanah liat basah. Jangan memakai mushaf, kitab hadis, kitab-kitab ilmu syar’i dan semisalnya karena itu merusak kehormatan Al-Qur’an dan ilmu syara’. Dasar ketentuan ini adalah atsar dari Anas bin Mālik berikut ini,
Artinya,
“Dari Abdullah bin Adam ia berkata, ‘Maula Anas bin Mālik wafat saat matahari terbenam, maka Anas berkata, ‘Letakkan potongan besi pada perutnya.” (H.R. Al-Baihaqī)
Tujuan perlakuan ini adalah agar perut jenazah tidak membengkak/menggembung. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari al-Sya‘bī bahwasanya beliau ditanya tentang pedang yang diletakkan pada perut mayit, beliau menjawab, “Benda itu diletakkan karena kuatir perutnya menggembung/membengkak.” (H.R. Al-Baihaqī)
Dalam kitab al-Żakhā’ir disebutkan bahwa kadar beratnya minimal kira-kira 20 dirham (kira-kira 60 gram). Yang paling umum diutamakan benda berat itu diletakkan di atas kain. Hanya saja, jika diletakkan di bawah kain juga tidak mengapa.
Yang melakukan adab mulai poin pertama sampai enam adalah mahramnya yang paling disayangi mendiang (dilakukan semampunya). Yang semakna dengan mahram adalah suami/istri dan bahkan itu lebih utama. Idealnya jika jenazah laki-laki maka yang mengurus adalah laki-laki. Jika jenazah perempuan yang mengurus adalah perempuan. Jika jenazah lelaki diurus perempuan dari kalangan mahram atau sebaliknya maka tidak mengapa. Jika orang lain, maka harus sesama jenis.
KETUJUH, segera lunasi utang mayit dan laksanakan wasiatnya.
Utang dan wasiat harus seketika diselesaikan jika memungkinkan. Terutama utang. Sebab selama utang belum dibayar, mayit akan terus merasakan siksa panas sebagaimana pernah saya tulis dalam catatan berjudul “Azab Karena Hutang”.
KEDELAPAN, ucapkan kata-kata baik selama di sekitar mayit.
Siapapun yang menghadiri mayit dianjurkan mengucapkan kata-kata baik, karena malaikat akan mengaminkan semua yang diucapkan orang-orang yang hadir. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ummu Salamah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila kamu menjenguk orang sakit atau orang yang meninggal, maka ucapkanlah (do’a) yang baik, karena malaikat mengaminkan ucapan kalian.” (H.R.Muslim)
KESEMBILAN, boleh mencium wajah mayit.
Keluarga mayit dan teman-temannya boleh mencium wajah mayit sebagaimana Abū Bakr mencium wajah Rasulullah ﷺ saat wafatnya. Perbuatan Abū Bakr ini diketahui para Sahabat dan tidak diingkari. Hal ini menunjukkan perbuatan tersebut dibolehkan.
KESEPULUH, boleh mengumumkan kematian dengan maksud agar bisa disalati dan semisalnya.
Sebab Rasulullah ﷺ mengumumkan kematian al-Najātsī dengan maksud mengajak para sahabat untuk mensalatinya. Tetapi jika mengumumkan kematian dengan cara na‘yul jāhiliyyah maka itu makruh. Cara mengumumkan kematian di masa jahiliah yang dilarang Rasulullah ﷺ adalah mengumumkan dengan cara berteriak disertai dengan pembanggaan jasa-jasa mayit (żikrul mafākhir wal ma’ātsir) dan disertai niyāḥah.
***
11 Zulhijah 1442 H