Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika seorang lelaki berpoligami, maka dia punya dua pilihan: Bermalam sendiri ataukah bermalam bersama istri.
Jika dia memilih bermalam sendiri maka itu dinamakan i‘rāḍ (الاإعراض) atau ta‘ṭīl (التعطيل). Makna bahasa i‘rāḍ adalah berpaling. Maksudnya dalam konteks ini berpaling untuk tidak bermalam bersama istri. Makna bahasa ta‘ṭīl adalah mengabaikan. Maksudnya dalam konteks ini adalah mengabaikan peluang bermalam bersama istri.
Tetapi, jika suami memutuskan untuk bermalam bersama istri, maka saat itu juga wajib adil membagi jatah bermalam di antara istri-istrinya. Pembagian jatah bermalam inilah yang diistilahkan dengan kata qasm (القسم). Kata qasm secara bahasa adalah membagi. Maksudnya dalam konteks ini adalah membagi jatah bermalam di antara istri-istri.
Inilah makna i‘rāḍ dan qasm itu.
Seorang suami boleh melakukan i‘rāḍ/ta‘ṭīl, tanpa membedakan apakah istrinya satu maupun lebih dari satu. Alasannya, bermalam dengan istri itu bukan kewajiban suami. Yang wajib bagi suami adalah membayar mahar, menafkahi istri (dalam makanan, pakaian dan tempat tinggal) dan mempergauli dengan baik. Adapun bermalam bersama istri, maka itu tidak wajib karena itu adalah hak suami. Kata para fukaha, hal ini serupa dengan orang yang mengkontrak rumah. Tidak menjadi keharusan pengontrak rumah mengambil habis seluruh haknya. Boleh saja dia setiap hari menempati rumah yang dikontraknya. Boleh juga jika dia hanya menempati sesekali saja. Oleh karena itu, tidak masalah lelaki yang beristri setelah menyediakan rumah untuk istri-istrinya, lalu dia tinggal di rumah sendiri atau di masjid, atau di tempat penelitian, atau di ruang studi, atau di barak atau di tempat lainnya. Selama semua kewajiban suami sudah ditunaikan, maka tidak ada celaan kepada suami. Jika istri menuntut untuk menginap bersamanya, maka suami tidak wajib memenuhi.
Adapun jika suami memutuskan untuk bermalam bersama istri, maka seketika itu juga wajib melakukan qasm, yakni membagi jatah bermalam secara adil kepada istri-istrinya. Jadi, yang wajib bagi suami adalah BERSIKAP ADIL (taswiyah) bukan bermalam bersama-istri-istrinya.
Dalil yang menunjukkan suami wajib melakukan qasm jika memutuskan bermalam bersama istri adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Jika seorang laki-laki memiliki dua istri, namun dia tidak berbuat adil, niscaya akan datang pada Hari Kiamat dengan keadaan copot separuh tubuhnya).” (H.R.al-Tirmiżī)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengabarkan ancaman bagi suami yang punya dua istri tapi tidak bisa adil di antara istri-istrinya. Suami yang tidak adil terhadap istri-istrinya akan dibuat separuh tubuhnya copot pada hari kiamat. Ini menunjukkan bersikap adil hukumnya wajib bagi suami dan realisasi terpenting adil adalah membagi jatah bermalam jika suami memutuskan bermalam dengan istri-istrinya.
Rasulullah ﷺ memberikan contoh bagaimana berbuat adil. Beliau selalu membagi jatah bermalam di antara istri-istrinya dengan adil sebagaimana diriwayatkan Aisyah. Ibnu Mājah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Aisyah, ‘Rasulullah ﷺ membagi (jatah bermalam) di antara istri-istrinya dan beliau berbuat adil.” (H.R.Ibnu Mājah)
Kewajiban membagi jatah bermalam ini tetap berlaku, tidak peduli apakah suami normal, impoten, majbūb, mamsūḥ, sehat ataupun sakit. Suami sakit tetap wajib membagi jatah bermalam secara adil sebab, sakit bukan uzur untuk tidak membagi jatah bermalam. Dalil yang menunjukkan sakit bukan uzur untuk tidak membagi jatah bermalam adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Hisyam dari bapaknya bahwa Rasulullah ﷺ ketika menderita sakit, beliau bergilir tinggal di rumah istri-istri beliau dan berkata: “Besok aku tinggal di mana, besok aku tinggal di mana?” (menunjukkan kegelisahan beliau) karena sangat ingin tinggal di rumah ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata: “Ketika giliran hariku, beliau menjadi tenang.” (H.R.al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ diriwayatkan sedang sakit. Tapi beliau masih bertanya jatah bermalam untuk besok di rumah istrinya yang mana. Jadi hadis ini menunjukkan suami yang sakitpun masih wajib memikirkan keadilan dalam hal jatah bermalam untuk istri-istrinya.
CARA MENENTUKAN URUTAN BERMALAM
Tidak boleh suami menentukan urutan bermalam dengan cara sesukanya. Untuk menentukan siapa yang mendapatkan urutan pertama, maka wajib dilakuan undian agar merealisasikan keadilan.
Jika istri hanya berjumlah dua, maka undian cukup dilakukan satu kali. Jika istri berjumlah tiga, maka harus diadakan dua kali undian. Jika istri berjumlah empat, maka harus diadakan tiga kali undian. Jika suami menentukan urutan bermalam dengan standar suka-suka dia, atau standar mana istri tua dan mana istri muda, atau standar usia istri dan lain-lain maka dia berdosa.
Jika suami memutuskan bermalam dengan istri, berarti suami telah melakukan kesunahan. Sebab bermalam (mabīt) memang lebih utama daripada i‘rāḍ. Dengan kata lain hukum mabīt bersama istri adalah sunah. Suami yang memilih i‘rāḍ berarti dia menunggalkan perkara yang dianjurkan.
Jika suami bermalam dengan istri, maka disunahkan berjimak dengan istri sebab itu termasuk mu’āsyarah bil ma‘rūf (pergaulan yang makruf). Jimak juga penting bagi istri untuk menjaga kehormatanya dan mencegahnya untuk berselingkuh dan berzina. Intensitas jimak ini yang terbaik adalah mengikuti kebutuhan istri. Minimal satu kali setiap 4 malam. Tapi jimak dengan istri saat bermalam tidak wajib. Jadi seandainya tidak dilakukan, maka suami tidak berdosa. Intensitas minimal sekali tiap 4 malam itu statusnya sunah dan akhlak yang baik. Hanya saja, suami wajib menjimaki istrinya minimal sekali dalam 4 bulan. Jika lebih dari itu, istri berhak mengajukan cerai sebagaimana saya tulis dalam artikel berjudul “HUKUM SUAMI MENOLAK AJAKAN ISTRI UNTUK JIMAK”.
Disunahkan memakai minyak wangi saat berhubungan suami istri. Hanya saja, parfum untuk suami hendaknya dipilih yang tidak berwarna atau minimal warnanya tersembunyi.
Disunahkan juga menyetubuhi semua istri dengan kadar yang sama. Maksudnya, jika sepekan satu istri disetubuhi 3 kali, maka hendaknya istri-istri yang lain juga mendapatkan jatah yang sama. Termasuk disunahkan juga adalah segala jenis istimtā‘ selain jimak. Jika intensitas jimak dan istimtā’ antar istri ini tidak sama, maka suami tidak berdosa.
Disunahkan juga saat bermalam tidur satu kasur. Jika tidur berbeda kasur atau bahkan beda kamar maka tidak berdosa sebagaimana saya tulis dalam artikel khusus berjudul “HUKUM TIDUR SEKAMAR DENGAN ISTRI”.
***
18 Zulhijah 1442 H