Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Suami punya kuasa penuh untuk menentukan apakah penggiliran hari untuk istri-istrinya itu tiap 1 hari sekali, 2 hari sekali atau 3 hari sekali. Keputusan penentuan jatah hari dalam rentang 1-3 hari adalah hak eksklusif suami tanpa mempertimbangkan apakah istri rida ataukah tidak.
Jadi, jika suami menentukan tiap istri mendapatkan jatah masing-masing 3 hari, lalu ada salah satu istri yang tidak setuju, maka ketidaksetujuan istri itu tidak dipertimbangkan. Jika suami menetapkan jatah tiap istri masing-masing 2 hari lalu ada salah satu istri yang tidak setuju, maka ketidaksetujuan istri itu tidak dipertimbangkan. Demikian pula jika suami menetapkan jatah tiap istri masing-masing 1 hari lalu ada salah satu istri yang tidak setuju, maka ketidaksetujuan istri itu tidak dipertimbangkan. Jadi penetapan jatah hari dalam rentang 1-3 hari adalah hak “prerogatif” suami, bukan istri.
Hanya saja, jika suami menetapkan jatah masing-masing istri adalah satu hari, maka itu harus penuh sehari semalam dan tidak boleh kurang dari itu, misalnya hanya 12 jam. Sebab jatah waktu untuk istri memang minimal sehari semalam, tidak boleh kurang dari itu. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah ﷺ. Beliau selalu memberikan jatah hari untuk istri-istrinya sehari semalam sehingga hal ini menunjukkan waktu minimal untuk istri adalah sehari semalam dan itu adalah pilihan yang paling afdal. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jatah giliran waktu istri minimal adalah (sehari) semalam dan itu yang paling afdal. Boleh juga tiga (hari tiga) malam dan tidak (boleh) lebih dari itu berdasarkan pendapat yang paling kuat –dalam mazhab al-Syāfi‘ī-” (Minhāj al-ṭālibīn hlm 224)
Waktu minimal sehari semalam ini tidak bisa dibagi-bagi misalnya masing-masing istri mendapatkan 1,5 hari atau masing-masing istri mendapatkan setengah malam. Akan tetapi jika semua istri saling rida maka itu tidak mengapa. Riwayat Rasulullah ﷺ menggilir seluruh istrinya dalam satu malam dibawa pada pengertian ini, yakni semua istrinya rida digilir dalam satu malam.
Adapun jika suami ingin membagi hari lebih dari 3 hari, maka hukum asalnya itu tidak boleh karena terlalu lama tidak bertemu suami menimbulkan waḥsyah (kesepian/hubungan dingin) pada istri dan itu bukan pergaulan yang baik kepada istri. Akan tetapi jika seluruh istri rida dibagi tiap 4 hari sekali, atau 5 hari sekali, atau sepekan sekali, atau dua pekan sekali atau sebulan sekali atau bahkan setahun sekali maka itu tidak mengapa. Al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Tidak boleh (membagi jatah hari istri) lebih dari 3 hari tanpa rida mereka berdasarkan pendapat terkuat dalam mahzab al-Syāfi‘ī dan berdasarkan pendapat jumhur. Jika mereka (semua istri) rida, maka boleh menambah waktu lebih dari 3 hari secara pasti.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 4 hlm 419-420
Kasus-kasus poligami yang mana lokasi antar satu istri dengan yang lain berjauhan bisa diselesaikan dengan cara ini, yakni mereka semua dikumpulkan lalu diajak bermusyawarah untuk menyepakati berapa jatah hari giliran bersama istri. Jika ada satu saja yang tidak rida, maka kembali pada ketentuan syara’, yakni maksimal hanya 3 hari saja.
Adapun lelaki yang berpoligami yang datangnya seenaknya sendiri, sesukanya dan hanya saat dia butuh, maka jelas ini perbuatan maksiat, kezaliman dan dosa yang akan diadili Allah pada hari kiamat.
***
29 Zulhijah 1442/ 8 Agustus 2021