Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Hukum asalnya, seorang suami wajib masuk ke tempat istri yang mendapat giliran hari semenjak terbenam matahari, sebab ‘imādul qasmi dalam poligami itu waktu malam sementara definisi malam dimulai semenjak matahari terbenam di ufuk barat. Dengan kata lain, oleh karena ‘imādul qasmi itu waktu malam, maka start waktu jatah hari istri dihitung semenjak matahari tenggelam itu.
Hanya saja, mewajibkan seorang suami datang pas matahari tenggelam tanpa boleh terlambat satu menit pun tentu saja akan menimbulkan masyaqqah/kesusahan dan itu juga bukan pergaulan yang baik kepada suami. Sebab terkadang seorang suami masih perlu waktu untuk salat berjamaah di awal waktu sampai selesai yang kadang-kadang ditambahi obrolan ringan dengan jamaah sekedar pergaulan yang baik dengan tetangga atau kawan. Kadang-kadang suami juga berprofesi yang membuat dia tidak bisa datang pas waktu magrib, misalnya dia menjadi pedagang yang baru tutup sekitar jam 20.00 malam sementara jika dia tutup lebih awal, maka dia akan rugi. Terkadang lokasi antara istri juga berjauhan misalnya satu istri tinggal di Malang, yang lain di Surabaya, Lumajang dan Blitar sehingga tuntutan datang tepat pada waktu maghrib jelas menimbulkan kesulitan. Sebab untuk mencapai rumah istri pun masih perlu waktu yang habis dipakai untuk safar. Apalagi jarak antara Malang ke Surabaya, Lumajang atau Blitar itu minimal memerlukan waktu 2-3 jam untuk sampai ke lokasi.
Oleh karena itu, tidak mungkin suami tidak dituntut untuk tiba di lokasi istri yang mendapatkan jatah hari pas pada waktu maghrib (waktu terbenam matahari). Akan tetapi, semua itu dikembalikan pada ‘urf/kebiasaan. Jika suami perlu waktu untuk salat maghrib berjamaah di awal waktu dan sekedar beramah tamah sebentar dengan jamaah masjid sehingga baru sampai ke tempat istri sekitar 15 menit sebelum tiba waktu isya, maka itu tidak mengapa.
Jika suami bekerja sebagai pedagang sembako dan baru tutup jam 20.00 sehingga baru bisa sampai ke tempat istri jam 20.30, maka itu juga tidak mengapa.
Jika suami berangkat jam 18.30 dari Malang dan baru sampai ke tempat istrinya di Surabaya jam 21.00 malam, maka itu juga tidak mengapa, dan seterusnya.
Demikianlah, ringkasnya jam berapa suami tiba di tempat istri yang mendapatkan giliran hari, maka dia tidak dituntut datang pas waktu maghrib. Tetapi semua itu dikembalikan pada ‘urf dan kebiasaan masing-masing sesuai dengan kondisi suami dan situasi kehidupan di tempat tersebut. Al-Damīrī berkata,
Artinya,
“Tidak wajib masuk ke tempat istri yang mendapatkan jatah giliran semenjak waktu terbenam matahari. Akan tetapi standarnya kembali pada ‘urf/kebiasaan yang umumnya dipakai.” (al-Najmu al-Wahhāj juz 7 hlm 403)
***
21 Zulhijah 1442 H