Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hikmah pernah dibuat “rendah” adalah tetap tawaduk saat dibuat “tinggi”.
Berbahagialah engkau saat diuji lapar, karena jika Allah suatu hari memberimu kemampuan membeli makan enak, lalu setan menggodamu untuk pamer makan enak, engkau bisa menahannya dengan mengingat hari-hari saat engkau kelaparan sehingga engkau tidak menyakiti hati saudaramu yang nasibnya tidak seberuntung dirimu.
Berbahagialah engkau saat diuji tidak punya uang, karena jika suatu hari Allah memberimu rezeki uang banyak, lalu setan menggodamu untuk pamer saldo, engkau bisa menumpasnya dengan mengingat-ingat masa kemiskinanmu dulu. Engkau tidak lupa untuk membantu sesama yang nasibnya seperti dirimu di masa lalu.
Berbahagialah engkau saat diuji tidak punya tempat tinggal, yang rumahnya masih numpang, mengontrak, kos, atau pinjam, karena jika Allah nanti memberimu rezeki rumah sendiri, lalu setan menggodamu untuk pamer rumah, maka engkau bisa melawannya dan engkau bisa menjaga perasaan saudaramu yang sampai hari ini belum punya rumah sendiri.
Berbahagialah engkau saat diuji penghinaan orang, karena itu adalah pertanda Allah akan memuliakanmu asalkan tabah. Jika suatu hari engkau dimuliakan, lalu setan menggodamu untuk memamerkan pencapaianmu, maka engkau bisa menepisnya seraya mengingat-ingat bahwa dirimu dulu pernah dihinakan, yang bermakna Allah menunjukkan kepada manusia ada kekurangan dalam dirimu.
Berbahagialah engkau saat jadi orang biasa, karena jika suatu hari Allah membuatmu punya kuasa dan setan menggodamu supaya berlagak sok pejabat, sok birokratis, dan merasa lebih baik dari orang lain, maka engkau bisa menghancurkannya dengan mengingat-ingat bahwa dirimu dulunya hanya orang desa, orang biasa, anak orang bisa yang juga terbiasa melakukan pekerjaan rendahan.
Itu pulalah di antara hikmah dosa dan aib.
Saat seorang hamba diangkat derajatnya oleh Allah dan diberi taufik untuk melakukan banyak amal saleh, kemudian diberi karamah dan pujian baik dari hamba-hamba Allah di bumi, dia punya pengalaman untuk mengerem ujub dalam hatinya dengan cara mengingat-ingat semua aib dan dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Dari situ, dia bisa tersadar kembali bahwa hakikatnya dia masihlah orang kotor yang penuh aib dan dosa yang seandainya bukan karena rahmat Allah, maka Allah akan membongkar aibnya sehingga seluruh manusia akan jijik kepadanya.
Teknik seperti ini, yakni memusnahkan ujub dengan mengingat masa-masa “rendah” adalah teknik yang sering dipakai oleh hamba saleh yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah untuk konsisten di jalan lurus.
Seperti kisah Umar bin al-Khaṭṭāb.
Suatu saat ketika beliau sedang sendiri, ada perasaan dalam hati beliau bahwa dirinya adalah manusia paling berkuasa dan manusia paling baik. Begitu muncul perasaan seperti itu, segera saja beliau mengumpulkan kaum muslimin dan berpidato di depan mereka. Pidato beliau singkat. Hanya menceritakan “kehinaan” dirinya yang waktu itu pernah berprofesi sebagai penggembala kambing dengan upah segenggam kurma atau kismis. Begitu turun dari mimbar, Abdurrahman bin ‘Auf bertanya dengan keheranan, mengapa isi pidatonya hanya untuk “merendahkan” dan “menghinakan” dirinya? Ternyata Umar bermaksud menghancurkan perasaan ujub yang sempat muncul sekilas dalam hati beliau. Al-Dīnawarī meriwayatkan kisah ini dalam kitab al-Mujālasah wa Jawāhir al-‘Ilm sebagai berikut,
Artinya,
“Umar bin al-Khaṭṭāb pernah mengumpulkan kaum muslimin. Tatkala orang-orang telah berkumpul dan jumlahnya semakin banyak maka beliau naik di atas mimbar. Lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan kalimat yang layak bagi-Nya dan bersalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian beliau berpidato,
“Hadirin sekalian. Sesungguhnya aku ini pernah menggembala binatang ternak untuk bibi-bibiku dari keluarga Bani Makhzūm kemudian mereka memberi upah kepadaku segenggam kurma atau kismis. Akupun bisa hidup di hari itu dan itu adalah hari yang luar biasa!”
Kemudian beliau turun. Lalu Abdurrahman bin auf bertanya kepadanya,
“Wahai Amirul mukminin, mengapa pidatomu hanya berisi perendahan/celaan kepada dirimu sendiri?”
Umar menjawab,
“Ah, kamu Ibnu Auf. Aku ini (sebelumnya) sedang sendiri lalu tiba-tiba hatiku berkata, ‘Kamu adalah amirul mukminin. Siapa yang lebih baik darimu?’ Lantas akupun ingin menunjukkan kepada diriku sendiri bagaimana hakikat diriku itu.” (al-Mujālasah wa Jawāhir al-‘Ilm juz 4 hlm 466)
19 Muharram 1443 H/28 Agustus 2021 jam 10.41