Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebagian orang ada yang mengklaim atau merasa dirinya sebagai guci emas.
Begitu diadu dengan batu, nyatalah dia hanyalah guci keramik biasa.
Tentu saja dia jadi remuk dan pecah berantakan.
Demikianlah dalam din.
Kadang ada seorang hamba yang mengklaim atau merasa dirinya berada dalam posisi tertentu di sisi Allah.
Begitu dites, diuji, dibenturkan, dan dibanting-banting, kelihatanlah kualitas asli dirinya.
Bisa jadi dia emas yang asli. Bisa juga dia hanya keramik rapuh yang hanya indah dan mengkilap di luar saja.
Itulah makna ujian yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an,
Artinya,
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?” (Q.S. al-‘Ankabūt:2)
Ujian atau cobaan itu dalam Al-Qur’an di antaranya diungkapkan dengan lafal fitnah (الفِتْنَةُ). Fatana-yaftinu- fatnan wa fitnatan.
Makna bahasa fatana adalah memasukkan ke dalam api untuk mengetahui kualitas emas. Al-Jauharī berkata,
Artinya,
“Fatantu al-żahaba bermakna engkau memasukkan emas itu ke dalam api untuk mengetahui bagaimana kualitasnya” (al-ṣiḥāḥ, juz 6 hlm 2175)
Jadi ujian itu konsepnya memang meletakkan seseorang dalam kondisi berat agar diketahui kualitasnya. Apakah hanya sekedar klaim dan merasa saja ataukah memang benar-benar bermutu tinggi. Dia harus “dibakar”, “dibenturkan”, “dipukuli”, bahkan “dibanting-banting” supaya kelihatan betul hakikat dirinya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وِإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
اللّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُوْ فَلَا تَكِلْنِيْ إِلى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ
لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ
9 Jumādā al-Ākhirah 1443 H/ 12 Januari 2022 jam 09.28