Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
TANYA:
Saya pernah berutang Rp.5.000.000,- kepada seseorang. Tapi saya baru bisa melunasi 5 tahun kemudian, sementara nilai uang sudah berbeda. Apakah saya tetap membayar 5 juta itu ataukah saya memperhitungkan nilainya di hari pelunasan yang mungkin sudah setara Rp.10.000.000,- umpamanya ?
JAWAB:
Prinsip pembayaran utang adalah raddul miṡli (رَدُّ الْمِثْلِ), yakni mengembalikan utang memakai barang yang sama dengan yang diutang.
Jadi utang uang dalam rupiah wajib dikembalikan berupa rupiah. Utang uang dalam bentuk dolar wajib dikembalikan berupa dolar. Tidak boleh utang rupiah lalu dikembalikan dalam bentuk dolar atau sebaliknya.
Orang utang sapi wajib dikembalikan sapi. Orang utang kambing wajib dikembalikan kambing. Tidak boleh utang sapi lalu dikembalikan dalam bentuk kambing atau sebaliknya. Tidak boleh juga utang hewan lalu dikembalikan dalam bentuk uang.
Jadi, utang harus dikembalikan persis seperti barang yang diutang. Dengan demikian, utang 5 juta rupiah juga wajib dibayar 5 juta rupiah. Al-Syīrāzī berkata,
«ويجب على المستقرض رد المثل فيما له مثل لأن مقتضى القرض رد المثل». [«المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي» (2/ 85)]
Artinya,
“Orang yang berutang wajib mengembalikan barang semisal pada barang yang ada sifat sama dengannya, karena tuntutan akad utang-piutang adalah mengembalikan barang yang sama“ (al-Muhażżab, juz 2 hlm 85)
Jika terjadi inflasi sehingga uang nilainya turun, maka pengembalian utang tetap harus persis seperti akad awal. Tidak peduli inflasinya mencapai 10%, 30%, 50% atau lebih tinggi dari itu, maka pelunasan utang tetap harus persis seperti jumlah yang diutang di awal akad. Jadi utang tetap dibayar 5 juta.
Bahkan seandainya mata uang sudah dihapuskan oleh negara dan dinyatakan sudah tidak berlaku sekalipun, dalam mazhab al-Syāfi‘ī pemberi utang tetap hanya berhak memperoleh uang yang dipakai pada akad awal. Al-Nawawī berkata,
«وَلَوْ أَقْرَضَهُ نَقْدًا، فَأَبْطَلَ السُّلْطَانُ الْمُعَامَلَةَ بِهِ، فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا النَّقْدُ الَّذِي أَقْرَضَهُ». [«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (4/ 37)]
Artinya,
“Jika pemberi utang mengutangi uang, kemudian penguasa menghapus penggunaannya, maka dia tidak punya hak kecuali hanya uang (yang sama dengan yang) ia utangkan” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 4 hlm 37)
Adapun dalam kondisi mata uang sudah tidak berlaku dan sudah tidak ada stoknya/tidak ada bendanya, maka ia dihukumi ma’dūm. Dalam kondisi ini, baru boleh mmebayar dengan nilai/qīmah, karena ini kondisi terpaksa. Al-Syīrāzī berkata,
«وما له مثل إذا عدم وجبت قيمته». [«المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي» (2/ 85)]
Artinya,
“benda yang punya barang semisal jika sudah tidak ada, maka wajib dikembalikan berdasarkan nilainya” (al-Muhażżab, juz 2 hlm 85)
Adapun beberapa pendapat ulama kontemporer yang mengusulkan pelunasan utang dilakukan dengan menghitung nilainya (qīmah-nya) jika sudah mencapai inflasi yang melewati batas gabn fāḥisy (الغَبْنُ الفَاحِشُ) atau mata uang sudah dihapuskan (إِبْطَالُ العُمْلَةِ) demi merealisasikan asas keadilan, maka pendapat ini bisa dijawab sebagai berikut,
Semangat mengutangi adalah menolong, bukan berbisnis. Jadi asas keadilan kurang tepat diterapkan di sini. Karenanya, pendapat mazhab al-Syāfi‘ī dalam hal ini sudah tepat dan paling kuat karena lebih berhati-hati agar tidak terjerumus dalam riba dan menjauhkan diri dari pertengkaran yang bisa membuat pahala mengutangi terhapus. Mazhab al-Syāfi‘ī menegaskan dalam kondisi uang sudah tidak berlaku sekalipun hak pemberi utang hanya memperoleh uang seperti yang dipinjamkannya di awal akad. Artinya, pemberi utang sudah disiapkan untuk kehilangan uang karena musibah dari Allah, seraya tetap mengharap pahala dari Allah di akhirat.
Ini sikap untuk orang yang memberi utang.
Adapun bagi orang yang berutang, akhlak terbaik adalah memperhitungkan nilai kerugian yang diderita pemberi utang. Jadi, jika dia berutang 5 juta rupiah, kemudian terjadi inflasi, lalu saat pelunasan nilainya sudah setara dengan 10 juta misalnya, maka akhlak yang indah adalah jika dia melunasi 5 juta kemudian menambahi 5 juta lagi sebagai bentuk terima kasih. Apalagi jika mata uang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh otoritas, lalu orang yang berutang melunasi utang memakai uang yang sudah tidak berlaku itu, kemudian memberi hibah sukarela memakai mata uang baru senilai uang yang sudah tidak berlaku itu sebagai bentuk terima kasih kepada yang memberi utang, maka yang seperti ini juga termasuk seindah-indah akhlak yang dipuji Nabi ﷺ. Pemberian tambahan seperti ini tidak terlarang dan bukan riba asal tidak masuk syarat dalam akad sebagaimana saya tulis dalam catatan sebelumnya yang berjudul “SAYA MENGUTANGI, LALU SAAT PELUNASAN SAYA DITAMBAHI, HALALKAH SAYA AMBIL?”
19 Jumadā al-ākhirah 1443 H/ 22 Januari 2022 jam 20.34