Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
TANYA:
Saya butuh uang 20 juta. Lalu saya berutang kepada tetangga dengan menggadaikan sawah saya. Tidak ada perjanjian kapan maksimal dilunasi. Tapi tetangga saya hanya mau mengutangi asalkan sawah tersebut boleh digarap oleh beliau sampai saya berhasil melunasi utang tersebut. Bolehkah akad seperti ini?
JAWAB:
Dalam mazhab al-Syāfi‘ī akad seperti itu adalah akad yang batil, tidak sah dan terlarang. Sebab mensyaratkan manfaat pengelolaan sawah pada akad utang piutang bermakna pemberi utang menarik keuntungan dari perbuatan baiknya mengutangi orang lain. Yang seperti ini riba dan riba hukumnya haram. Dalil yang menunjukkan haramnya riba seperti ini adalah aṣar sahih dari banyak sahabat. Di antaranya seperti yang diriwayatkan al-Baihaqī sebagai berikut,
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ” كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا». [«السنن الكبرى – البيهقي» (5/ 573 ط العلمية)]
Artinya,
“Dari Faḍalah bin ‘Ubaid, Sahabat Nabi ﷺ beliau berkata, ‘Setiap akad utang piutang yang menyeret manfaat (tambahan) maka ia adalah salah satu variasi dari bentuk-bentuk riba” (al-Sunan al-Kubrā al-baihaqī juz 5 hlm 573)
Dalam akad yang ditanyakan di atas, utang-piutang yang dilakukan jelas menyeret manfaat, yakni manfaat penggarapan sawah dan itu adalah keuntungan tambahan dari uang 20 juta yang dipinjamkan. Jadi, ia termasuk riba yang diharamkan.
Al-Syāfi‘ī berkata,
«وَإِنْ كَانَ أَسْلَفَهُ أَلْفًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ بِهَا رَهْنًا وَشَرَطَ الْمُرْتَهِنُ لِنَفْسِهِ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ فَالشَّرْطُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي السَّلَفِ». [«الأم للشافعي» (3/ 159)]
Artinya,
“Jika ada orang yang mengutangi orang lain sebanyak 1000 dengan syarat pengutang menggadaikan sebuah barang gadaian dan penerima barang gadaian mensyaratkan manfaat barang gadaian itu untuk dirinya sendiri, maka syarat tersebut batil karena itu adalah bentuk tambahan dalam utang” (al-Umm, juz 3 hlm 159)
Al-Nawawī juga menegaskan prinsip ini, yakni bahwa hukum asalnya penerima gadai sama sekali tidak punya hak memanfaatkan barang gadaian dalam bentuk apapun. Beliau menulis,
«لَيْسَ لِلْمُرْتَهَنِ فِي الْمَرْهُونِ إِلَّا حَقُّ الِاسْتِيثَاقِ، وَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ جَمِيعِ التَّصَرُّفَاتِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ، وَمِنَ الِانْتِفَاعِ». [«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (4/ 99)]
Artinya,
“Penerima barang gadaian tidak punya hak apapun terhadap barang gadaian selain hak memperoleh kepercayaan (bahwa utangnya akan dilunasi). Dia (penerima barang gadaian) terlarang melakukan taṣarruf apapun baik berupa ucapan maupun perbuatan dan juga terlarang memanfaatkan -barang gadaian tersebut-” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 4 hlm 99)
Adapun jika manfaat menggarap sawah itu tidak disyaratkan, misalnya berutang 20 juta dengan menggadaikan sawah, kemudian sah akad penggadaian tersebut, lalu sebulan kemudian sang tetangga meminta izin pemilik sawah untuk menggarapnya kemudian diizinkan, maka yang seperti ini boleh, karena bukan riba tapi semata-mata kebaikan tambahan yang diberikan oleh orang yang berutang. Al-Syāfi‘ī berkata,
«وَإِذَا رَهَنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ دَارًا، أَوْ دَابَّةً فَقَبَضَهَا الْمُرْتَهِنُ فَأَذِنَ لَهُ رَبُّ الدَّابَّةِ، أَوْ الدَّارِ أَنْ يَنْتَفِعَ بِالدَّارِ، أَوْ الدَّابَّةِ فَانْتَفَعَ بِهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا إخْرَاجًا لَهُ مِنْ الرَّهْنِ وَمَا لِهَذَا وَإِخْرَاجِهِ مِنْ الرَّهْنِ وَإِنَّمَا هَذَا مَنْفَعَةٌ لِلرَّاهِنِ لَيْسَتْ فِي أَصْلِ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّهُ شَيْءٌ يَمْلِكُهُ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ». [«الأم للشافعي» (7/ 124)]
Artinya,
“Jika seorang lelaki menggadaikan sebuah rumah pada lelaki lain atau menggadaikan kendaraan, lalu penerima gadai menerima barang gadaian tersebut lalu pemilik kendaraan atau pemilik rumah mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan rumah atau kendaraan, lalu penerima gadai memanfaatkannya, maka yang seperti ini tidak mengeluarkan penggadai dari gadaiannya dan hal ini- termasuk perbuatannya memberi izin memanfaatkan itu- bukan termasuk penggadaian. Hal itu hanyalah manfaat yang menjadi hak penggadai yang bukan termasuk pokok gadaian, karena ia adalah barang yang dimiliki penggadai, bukan penerima gadai” (al-Umm, juz 7 hlm 124)
Wahbah al-Zuḥailī lebih lugas lagi menyebut kebolehan pemanfaatan barang gadaian oleh penerima gadai dalam bentuk seperti ini (Yakni pemanfaatan barang gadaian oleh penerima gadai atas seizin pemberi gadai tanpa dimasukkan dalam syarat perjanjian utang piutang) saat menjelaskan pendapat mazhab al-Syāfi‘ī dalam isu ini. Beliau menulis,
«فإن لم يكن الانتفاع مشروطاً في العقد، جاز للمرتهن الانتفاع بالرهن، بإذن صاحبه، لأن الراهن مالك، وله أن يأذن بالتصرف في ملكه لمن يشاء، وليس في الإذن تضييع لحقه في المرهون؛ لأنه لا يخرج عن يده، ويبقى محتبساً عنده لحقه». [«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (6/ 4292)]
Artinya,
“Jika pemanfaatan barang gadaian itu tidak disyaratkan dalam akad, maka penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadaian dengan syarat diizinkan orang yang menggadaikan. Sebab penggadai adalah pemilik barang gadaian tersebut dan dia berhak mengizinkan siapapun untuk melakukan taṣarruf pada barang yang dimilikinya. Pemberian izin itu tidak bermakna melenyapkan haknya pada barang gadaian dan tidak membuat barang gadaian itu terlepas dari tangannya dan barang gadaian itu tetap ditahan padanya karena ia punya hak” (al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhu juz 6 hlm 4292)
Wallāhua‘lam.
21 Jumadā al-ākhirah 1443 H/ 24 Januari 2022 jam 11.18