Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Seorang muslim dituntut untuk jeli, bernalar tajam dan kritis.
Tidak boleh tertipu oleh indahnya istilah.
Harus benar-benar dilihat faktanya.
Meskipun diistilahkan hadiah, atau hibah, atau uang sabun, atau uang transportasi atau apapun, jika faktanya suap (risywah) ya harus kita katakan suap.
Walapun diistilahkan netflix and chill, making love, hubungan seksual non-marital atau istilah baru apapun, kalau faktanya perzinaan dan seks bebas ya harus kita katakan zina.
Ingat, moyang kita; Adam ditipu Iblis juga dengan permainan istilah. Allah sudah jelas melarang makan buah tertentu. Lalu agar jadi indah dan tidak terlihat mungkar digantilah namanya syajaratul khuldi (شَجَرَةُ الْخُلْدِ), yakni pohon kekekalan. Istilah baru ini diberi konsepsi baru, pemikiran baru, dan gagasan baru yang intinya membuat larangan Allah menjadi samar, bahkan tidak terlihat.
Demikian pula soal riba.
Bisa jadi hari ini diberi nama bunga, interest, uang terima kasih, uang administrasi, uang ta‘āwun, sewa brankas, bagi hasil syirkah, ujrah penitipan, akad murābaḥah dan lain-lain padahal hakikatnya riba.
Jangan fokus pada istilahnya, tapi perhatikan betul fakta dan realitasnya. Kemudian kembalikan pada konsepsi yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Lembaga-lembaga keuangan yang mengusung konsep syar’i dalam ekonomi Islam harus menyiapkan diri diaudit sistemnya agar layak disebut syar’i dan terhindar dari riba. Tidak boleh sudah merasa tenang hanya karena telah menggunakan istilah-istilah Arab.
Dulu, wanita penjual diri dinamakan lonte atau sundal.
Lalu lama-lama istilah itu dianggap kasar sehingga diganti pelacur. Istilah itu mungkin dianggap lebih halus karena berasal dari kata lacur yang dalam bahasa Indonesia bermakna buruk laku. Jadi pelacur adalah orang yang buruk lakunya.
Lama-lama istilah itu dianggap kasar juga, karena yang buruk laku bukan hanya wanita penjual diri. Akhirnya diganti dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). Mungkin zaman itu lagi ramai-ramainya istilah memakai “tuna”, seperti Tuna Rungu, Tuna Wicara dan lain-lain. Yang mendapat sebutan itu mungkin juga tidak terlalu tersinggung, sebab rada mirip-mirip dengan WTC (World Trade Center) di Amerika.
Tapi lama-lama istilah WTS juga dianggap kasar. “Masak cuma wanita penjual diri yang dianggap tidak punya susila? Itu kan diskriminatif?” begitu mungkin alasan yang protes. Akhirnya diganti dengan yang lebih halus PSK (Pekerja Seks Komersial).
Nah sudah “diakui” sebegai pekerja!
Setelah itu entah gagasan apa lagi untuk menghaluskan.
Yang jelas, entah disebut lonte, sundal, pelacur, WTS, kupu-kupu malam, pramu nikmat atau pahlawan kenikmatan sekalipun, semuanya pada hakikatnya adalah transaksi perzinaan.
Seorang muslim tidak boleh tertipu dengan istilah.
Harus kritis.
Perhatikan betul wāqi‘ (fakta)nya. Cek betul realitasnya. Baru setelah itu beri istilah sesuai dengan konsep yang diajarkan syariat.
Sama-sama aksi memberi harta orang lain, istilahnya bisa berbeda-beda jika memang karakteristik faktanya berbeda.
Orang yang memberi harta dengan niat mendekatkan diri kepada Allah kepada orang yang butuh maka itu dinamakan sedekah.
Orang yang memberi harta dengan niat mendekatkan diri kepada Allah kepada orang yang tidak butuh, dalam rangka menguatkan kasih sayang, cinta dan simpati, maka itu dinamakan hadiah.
Orang yang memberi harta saat menjelang wafat, maka itu dinamakan wasiat.
Orang yang memberi harta kepada orang yang punya otoritas untuk meloloskan sebuah kepentingan, maka itu namanya suap/risywah.
Dan seterusnya
Jadi sama-sama memberi harta, istilahnya bisa berbeda-beda tergantung karakteristik dan fakta khas pemberian harta tersebut.
Tidak bisa diterima orang menyuap alasannya hadiah, uang sabun, uang transport atau berbagai alasan penghalusan yang lain. Namanya suap ya selamanya tetap suap meski dihaluskan dengan ribuan istilah baru.
Zaman ini, kaum muslimin diuji dengan banyak ujian. Salah satunya adalah pengkaburan maksiat dan kemungkaran dengan penghalusan istilah.
Istilah itu menciptakan persepsi. Jika persepsi yang diciptakan salah, maka bisa berdampak rusak pikir. Jika pikiran telah rusak, maka perilaku juga rusak. Umat itu bisa hancur jika tidak waspada dengan perusakan pikiran dalam hal istilah.
Penyesatan dengan permainan istilah akan terus berlangsung sampai akhir zaman, sebab itu memang “sunnah” Iblis sejak dulu kala.
Waspadalah!
22 Jumadā al-ākhirah 1443 H/ 25 Januari 2022 jam 08.01