Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Allah itu bebas berkehendak tanpa paksaan siapapun. Allah berfirman,
﴿فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ﴾ [البروج: 16]
Artinya,
“Dia (Allah) berbuat apapun yang dikehendakiNya” (Q.S. Al-Burūj: 16)
Jadi bisa saja Dia memberi kemuliaan kepada hambaNya yang dikehendakiNya tanpa harus ada persembahan apapun, atau ibadah apapun, atau ikhtiar apapun atau “jasa” apapun.
Seperti karunia Allah yang diberikan kepada nabi Adam misalnya.
Tiba-tiba saja beliau dimuliakan, diajari ilmu yang melebihi seluruh malaikat dan dihormati para malaikat sampai level disujudi.
Tapi pemberian Allah kepada nabi Adam harus dipahami sebagai tanggung jawab, bukan alat pamer. Tanggung jawab untuk berterima kasih kepadaNya. Bukan alat menyombongkan diri. Bukan alat untuk ujub. Bukan alat untuk merasa lebih baik daripada hamba Allah yang lain.
Pemberian Allah kepada nabi Adam harus dipahami bahwa itu rahmat Allah, karunia Allah dan nikmat Allah. Lalu bertanya kepada diri sendiri, “Sejauh mana syukurmu kepadaNya?”
Hamba yang saleh yang mendapatkan karamah selalu waspada, karena nikmat itu sewaktu-waktu bisa dicabut jika seorang hamba melanggar syariat dan menentang perintah Allah.
Iya kalau dicabutnya seperti nabi Adam, yakni awalnya diberi kenikmatan segala hal yang ada di surga, lalu dipindah ke negeri yang hina untuk mengalami berbagai kesengsaraan selama hampir 1000 tahun sebelum Allah memuliakannya kembali…
Iya kalau seperti itu.
Tapi, bagaimana jika dicabutnya nikmat itu seperti Iblis, yang sampai diusir dari langit dan dilaknat dan tidak ada peluang lagi kembali mendapatkan rahmatNya?
Ini yang paling mengerikan.
Hal ini sekaligus memberi pelajaran kepada kita, bahwa pelanggaran syariat itu ada dua tipe. Ada tipe seperti nabi Adam dan ada tipe seperti Iblis.
Tipe pelanggaran nabi Adam adalah jenis pelanggaran ketertipuan, yang tidak ada maksud menentang perintah Allah. Pelanggaran orang yang masih merasa sebagai hamba Allah. Jenis pelanggaran yang disebabkan syahwat dan orangnya tidak sombong mengakui kesalahan itu, lalu bertobat. Pelanggaran seperti ini masih ada harapan dimaafkan Allah.
Tipe pelanggaran Iblis adalah jenis pelanggaran dengan sadar. Melanggar perintah qaṭ‘ī. Pelanggaran karena merasa benar. Pelanggaran yang terbit karena merasa diri lebih baik daripada orang lain. Pelanggaran yang membuat orang selamanya tidak akan pernah merasa salah, apalagi bertaubat. Pelanggaran seperti ini jelas tidak ada harapan dimaafkan oleh Allah. Langsung dicap kafir oleh Allah, terlaknat dan terusir dari langit, walaupun sebelumnya Iblis dimuliakan Allah di langit bersama malaikat-malaikat yang lain.
Ingat, karamah atau kemuliaan apapun dari Allah itu bisa dicabut.
Dicabut sebagaimana Allah pernah mencabutnya dari Adam, Iblis, Bal‘ām bin Bā‘ūrā’ dan yang semisalnya.
Ingat juga karamah yang diterima Bani israel.
Kurang besar apa karamah berupa laut dibelahkan untuk mereka, sehingga bisa selamat dari Fir’aun? Tapi saat mereka melanggar syariat, yakni menyembah anak sapi, maka Allah bersikap tegas dan menghukum mereka dengan hukuman mati.
Ketika Allah memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dengan cara beriman kepada Rasul terakhir, yakni Nabi Muhammad ﷺ, tapi mereka masih enggan dan sombong. Maka disegellah nasib mereka, dicap sebagai kaum yang dimurkai dan dipastikan di akhirat masuk neraka selama-lamanya.
Sungguh tragis nasib kaum yang awalnya menjadi bangsa yang disayang Allah, umat pilihan, dan diberi sejumlah karamah, lalu berakhir menjadi kaum yang dimurkai, dilaknat dan digolongkan sebagai orang-orang kafir.
﴿رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ﴾
24 Sya’ban 1443 H/27 Maret 2022 pukul 14.54