Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Nalarnya begini.
Anda ingin menyembah Allah dengan baik. Ingin membuatNya rida. Ingin menyenangkanNya.
Bagaimana cara Anda mengetahui kehendakNya?
Jalan paling logis tentu hanya lewat wahyu. Artinya hanya lewat Al-Qur’an dan Sunah.
Tidak mungkin Anda kontak Allah sendiri. Itu mustahil. Juga bermakna mengkufuri risalah kenabian. Padahal rukun iman itu salah satunya percaya kepada Rasul-Rasul dan kitab yang dibawa mereka.
Kehendak Allah tercermin dalam Al-Qur’an dan Sunah dalam bentuk perintah dan larangan.
Perintah Allah ada dua tipe: Keras dan lembut.
Larangan Allah juga dua tipe: Keras dan lembut.
Perintah keras namanya wajib atau fardu.
Perintah lembut namanya sunah atau mustaḥabb atau mandūb atau margūb fīh atau muraggab fīh.
Larangan keras namanya haram atau maḥẓūr.
Larangan lembut namanya makruh.
Adapula hal-hal yang Allah mengizinkannya tanpa mencela dan memuji. Itu namanya mubah.
Dari situ akhirnya lahir istilah al-aḥkām al-khamsah (الأَحْكَامُ الخَمْسَة), yakni hukum-hukum fikih yang berjumlah lima: Wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Nah, ini garapan fikih.
Jadi, ilmu fikih itu ilmu yang sangat luhur karena berusaha mengetahui kehendak Allah dalam rangka bisa menyembah Allah dengan baik.
Yang dalilnya qaṭ‘i langsung bisa dinisbahkan kepada Allah (misalnya kita bisa mengatakan “Allah mewajibkan kita berbakti kepada ortu). Yang zannī dinamakan ijtihad atau ra’yu, yakni dinisbahkan Allah dalam bentuk dugaan kuat/galabatuẓẓan (misalnya mengatakan, “Saya menduga kuat Allah senang/rida jika saya berqunut subuh).
Wajar jika al-Zuhrī sampai mengatakan tidak ada ilmu yang bisa membantu kita menyembah Allah dengan baik seperti ilmu fikih. Al-Zuhrī berkata,
«مَا عُبِدَ اللَّهُ بِمِثْلِ الْفِقْهِ». [«الجامع – معمر بن راشد» (11/ 256)]
Artinya,
“Tidaklah Allah disembah (dengan cara sebaik) seperti dengan (ilmu) fikih.”
Wajar pula jika Sufyān bin ‘Uyainah sampai mengatakan ilmu fikih itu levelnya setingkat langsung dibawah kenabian! Al-Syāfi‘ī meriwayatkan,
سمعت «ابن عيينة» يقول: لم يُعط أحد في الدنيا شيئاً أفضل من النّبوة، ولم يعط بعد النبوة شيء أفضل من طلب العلم والفقه،. [«مناقب الشافعي للبيهقي» (2/ 139)]
Artinya,
“Aku mendengar Ibnu ‘Uyainah berkata, “Tidak ada seorangpun di dunia ini yang diberi anugerah yang lebih baik daripada kenabian, dan tidak ada seorangpun yang diberi anugerah setelah kenabian yang lebih baik daripada menuntut ilmu dan fikih” (Manāqib al-Syāfi‘ī, juz 2 hlm 139 )
Nah, Anda yang ingin menyembah Allah tapi jalurnya lewat orang yang ngaku dapat ilmu dari Nabi Khidir, itu pada hakikatnya Anda memakai SALURAN BARU untuk mengetahui kehendak Allah. Dengan kata lain Anda mengikuti “nabi baru” yang mengaku mendapatkan “wahyu baru” seraya membuang wahyu yang turun kepada Rasulullah ﷺ.
Tidak ada yang menjamin Anda jika didustai manusia-manusia seperti itu.
Konsekuensi beriman pada “nabi baru” ini sangat berat (walaupun dinamai dengan istilah-istilah berbeda seperti wali gauṡ (الغوث), mujaddid, imam mahdi, nabi isa dll). Jika lahirnya masih menampakkan muslim, maka disebut zindiq/munafik. Tapi jika sudah benar-benar meninggalkan syariat Nabi Muhammad ﷺ, berarti sudah keluar dari Islam. Ibnu ‘Abī al-‘Izz berkata,
«وَأَمَّا مَنْ يَتَعَلَّقُ بِقِصَّةِ مُوسَى مَعَ الْخَضِرِ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، فِي تَجْوِيزِ الِاسْتِغْنَاءِ عَنِ الْوَحْيِ بِالْعِلْمِ اللَّدُنِّيِّ، الَّذِي يَدَّعِيهِ بَعْضُ مَنْ عَدِمَ التَّوْفِيقَ -: فَهُوَ مُلْحِدٌ زِنْدِيقٌ». [«شرح الطحاوية ت الأرناؤوط» (2/ 774)]
Artinya,
“Adapun orang yang memakai kisah nabi Musa bersama Khidir ‘alaihimassalām untuk membolehkan meninggalkan wahyu (yang turun kepada Rasulullah ﷺ) dengan berpegang pada ilmu ladunnī yang diklaim sebagian orang yang tidak mendapatkan taufiq, maka dia mulḥid zindīq.” (Syarḥu al-Ṭaḥāwiyyah, juz 2 hlm 774)
5 Ramadan 1443 H/7 April pukul 16.29