Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara nasihat Rasulullah ﷺ yang paling berat diamalkan oleh wanita yang dipoligami adalah hadis berikut ini,
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ». [«صحيح البخاري» (1/ 12 ط السلطانية)]
Artinya,
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga menyukai untuk saudaranya sesuatu yang ia juga menyukainya untuk dirinya sendiri” (H.R. al-Bukḥārī)
Makna “Menyukai Untuk Saudaranya Sesuatu Yang Ia Juga Menyukainya Untuk Dirinya Sendiri” adalah engkau memusnahkan lintasan kedengkian dalam hatimu, lalu memaksa hatimu untuk mencoba ikut berbahagia karena kebahagiaan saudaramu dengan membayangkan betapa bahagianya dirimu seandainya nikmat yang diterima saudaramu itu ada pada dirimu.
Contoh penerapan hadis di atas untuk lelaki,
Ada wanita cantik, idaman, salehah, berilmu. Ada sejumlah lelaki melamarnya. Termasuk dirimu. Engkau merasa kualifikasimu di atas rata-rata sehingga peluang dipilih wanita itu 90%. Tapi wanita tersebut ternyata malah memilih kawanmu yang tidak terkenal, tidak tampan, berkulit gelap dan bukan orang kaya.
Dalam kondisi seperti itu bisa jadi muncul lintasan kedengkian dalam hati,
“hih, kok bisa sih lelaki kayak gitu malah dipilih. Mestinya kan aku. Jangan-jangan dia pakai pelet” (mode dengki+suuzan)
Nah, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kita ikut senang dengan nikmat saudara sebagaimana senangnya kita seandainya nikmat itu kita yang merasakan. Rasulullah ﷺ bahkan menjadikan itu sebagai tanda iman. Artinya berarti dalam kondisi seperti contoh di atas, kita harus memusnahkan lintasan kedengkian tadi, lalu memaksa hati ikut berbahagia (meski mungkin di awal-awal dicampur perih-perih sedikit) dengan membayangkan bagaimana bahagianya kita seandainya wanita itu memilih kita.
Memiliki sifat seperti ini bagi wanita yang dipoligami sungguh tidak mudah. Ujian yang benar-benar tidak mudah dilewati.
Dari proses menerima madu saja umumnya sudah merasa sakit hati biasanya. Karena merasa wanita baru ini dinilai “merebut” kebahagiaannya, atau “merampas” sebagian kebahagiaannya, atau dipandang “mengganggu” ketentraman rumah tangganya.
Apalagi jika sudah benar-benar menjalani dunia permaduan.
Saling iri dalam hal durasi waktu bersama suami, perbedaan jumlah nafkah, perbedaan frekuensi keluar rumah bersama istri, perbedaan tingkat keramahan suami di antara istri-istri, perbedaan tingkat cinta, sampai perbedaan intensitas jimak bisa menjadi tema pertengkaran dan kekeruhan hubungan antar madu bahkan hubungan dengan suami.
Coba bayangkan dalam situasi seberat itu (dalam kapasitas normal seorang wanita yang memang fitrahnya pencemburu), bayangkan betapa susahnya saat dia berusaha menata hatinya dan berkata kepada madunya,
“Selamat ya dik. Semoga bergabungnya adik di keluarga kita menambah berkah dan membuat kita semua semakin dekat dengan Allah”
Atau ucapan,
“Iya mbak, tidak mengapa jika suami memang lebih betah saat bersama mbak, itu wajar kok. Bukankah memang banyak sekali jasa mbak kepada suami sebelum saya masuk dalam keluarga ini?”
Apalagi sampai level īṣār/altruisme misalnya mengatakan,
“Waktuku sehari saya kasihkan ke adik saja tidak mengapa untuk pekan ini”
Atau mengatakan,
“Mbak saja yang keluar bersama suami, tidak usah diundi. Nampaknya pengalaman mbak jauh lebih dibutuhkan daripada pengalaman saya”
Dan seterusnya.
Tapi inilah petunjuk Rasulullah ﷺ.
Meski tidak mudah diamalkan, tapi bukan tidak mungkin diamalkan.
Hanya saja orang harus dihargai saat berproses untuk mencapai itu. Tidak boleh dipaksa langsung ideal.
Istri Rasulullah ﷺ saja masih cemburu dan sesekali tegang antar madu karena kecemburuan tersebut. Apalagi wanita biasa yang masih merangkak di jalan kesalehan.
Apalagi jika kebetulan sang madu wataknya jahat, sudah begitu suaminya jahil ilmu dan tidak bijaksana lagi. Sangat manusiawi jika wanita beban psikisnya jadi sangat berat, bahkan tak jarang berakhir dengan keputusan ingin berpisah.
Semoga Allah merahmati wanita-wanita dipoligami yang sanggup mengamalkan nasihat Rasulullah ﷺ ini. Yang sanggup melewati badai dalam bentuk yang paling diridaiNya.
11 Ramadan 1443 H/13 April pukul 15.37