Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Membuat masalah dengan orang berilmu bukan sikap yang bijaksana.
Sebab yang rugi bukan ulama tersebut, tapi dia sendiri.
Seperti kisah Abū Salamah yang mendebat Ibnu ‘Abbās dengan debat panas. Akhirnya dia tidak bisa menikmati derasnya ilmu dari Ibnu ‘Abbās. Al-Zuhri meriwayatkan,
كَانَ أَبُو سَلَمَةَ يُمَارِي ابْنَ عَبَّاسٍ فَحُرِمَ بِذَلِكَ عِلْمًا كَثِيرًا». [«جامع بيان العلم وفضله» (1/ 518)]
Artinya,
“Abu Salamah sering mendebat panas Ibnu ‘Abbās. Maka beliau terhalangi ilmu yang banyak karena sebab itu” (Jāmi‘u Bayāni al-‘Ilmi wa Faḍlihī, juz 1 hlm 518)
Padahal Abu Salamah di sini adalah seorang ulama. Tapi kekeliruannya memperlakukan orang berilmu membuat beliau tidak mendapatkan banyak kebaikan ilmu. Dalam riwayat lain dikisahkan beliau menyesal karena kurang bisa bersikap lembut terhadap Ibnu ‘Abbās. Andai saja bisa lebih lembut, pastilah beliau akan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari Ibnu ‘Abbās.
Seperti ini kondisi orang yang berilmu ketika keliru memperlakukan orang yang lebih berilmu darinya. Maka bayangkan bagaimana jika itu dilakukan orang awam.
Sudah jahil, membuat masalah dengan orang berilmu lagi.
Jika sudah seperti itu, lalu butuh fatwa ilmu, tapi sudah kadung gengsi karena sebelumnya berkonflik, bagaimana caranya mengobati kejahilannya? Apa maknanya beragama bagi dia dan berupaya untuk bertakwa jika dia tidak tahu caranya bertakwa karena tidak tahu ilmunya?
Membuat masalah dengan manusia biasa maksimal kerugiannya duniawi. Tapi jika membuat masalah dengan ahli ilmu yang didekatkan Allah kepada kita, maka kerugiannya dunia akhirat. Kerugian apa yang lebih besar dari orang yang tidak tahu jalan menuju Allah, lalu hidup dalam kebodohan dan tidak tahu apakah berada dalam kesesatan ataukah jalan yang lurus?
Ilmu tidak bisa didapatkan dengan kesombongan. Ia harus diperoleh dengan kesungguhan dan ke-rendah hati-an. Jika ada orang awam yang menyombongi orang berilmu, maka bisa jadi Allah membangkitkan hambaNya yang lain untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari orang berilmu tersebut. Lalu murid yang beradab tersebut menjadi mulia sementara bisa awam yang sombong tersebut menjadi terhina dan tetap awet dalam kebodohan seumur hidupnya.
Ilmu tidak bisa didapatkan dengan kesombongan. Ia harus diperoleh dengan kesungguhan dan ke-rendah hati-an.
Karena pentingnya masalah ini sampai-sampai al-Nawawī menasihati, jika berguru dengan orang yang (benar-benar) berilmu (bukan ulama abal-abal), sabarlah dengan sikap kerasnya, bahkan keburukan akhlaknya!
Qultu: Sebab jika tidak sabar, maka justru kerugiannya jauh lebih besar. Rugi dunia dan akhirat, karena seakan-akan seperti tidak beragama karena kebodohannya terhadap agama.
23 Ramadhan 1443 H/ 25 April pukul 16.02