Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jawaban singkatnya adalah tidak benar.
Kisah bahwa saat al-Ḥallāj dieksekusi dengan cara dipenggal kepalanya, lalu darahnya menetes dan menulis lafal “Allah..Allah..” karena kuatnya rasa cinta/maḥabbah-nya kepada Allah dan kuatnya fanā’ pada dirinya adalah kisah yang tidak benar. Termasuk kisah kegembiraan al-Ḥallāj saat hendak dieksekusi.
Itu hanya mitos, legenda dan cerita yang dikarang-karang. Nampaknya fans garis keras al-Ḥallāj yang menciptakannya untuk memberi citra positif, mengglorifikasi, dan mengopinikan bahwa al-Ḥallāj punya karamah. Kisah itu sama dustanya dengan kisah Zulaikhā/Zalīkhā yang melakukan bloodletting lalu darahnya menulis “Yusuf…Yusuf…” karena saking besarnya cintanya kepada nabi Yusuf. Malahan, bisa jadi pencipta mitos itu terinspirasi dari legenda tulisan darah Zulaikhā ini.
Saya berusaha menelusuri asal-usul legenda ini. Di antara referensi yang menyebutkan kisah tentang darah al-Ḥallāj tersebut adalah Rauḍatu al-Akhyār al-Muntakhab min Rabī‘ al-Abrār karya al-Amāsī (w. 940 H), Syarḥu al-Syifā karya Mullā al-Qārī (w. 1014 H), al-Kawākib al-Durriyyah fī Tarājimi al-Sādah al-Sūfiyyah karya al-Munāwī (w. 1031 H) dan Silku al-Durar fī A’yāni al-Qarni al-Ṡānī al-‘Asyar karya al-Murādī (w.1206 H).
Karya-karya yang lahir belakangan nampaknya mengutip dari kitab-kitab tersebut. Sayangnya kisah tersebut langsung ditelan bulat-bulat, diterima seolah kebenaran mutlak, dan diajarkan seperti sebuah fakta sejarah tanpa verifikasi dan validasi.
Tentu saja ada problem serius jika menetapkan fakta sejarah melalui kitab-kitab tersebut. Kita ambil contoh saja kitab yang paling tua dari deretan kitab di atas, yakni kitab Rauḍatu al-Akhyār karya al-Amāsī. Pengarang kitab ini wafat tahun 940 H. Saat menukil kisah darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah, redaksinya memakai kata ḥukiya (dihikayatkan). Tentu saja ini adalah jenis penukilan yang tidak bisa dijadikan tumpuan karena menunjukkan tidak ada sanad riwayat. Al-Ḥallāj dieksekusi pada tahun 309 H, artinya ada jarak ratusan tahun antara al-Amāsī dengan al-Ḥallāj. Jika tidak ada sanad, maka informasi kisah menjadi tidak berharga dan tidak bisa dipandang sebagai kebenaran sejarah.
Kitab-kitab yang lain sama saja. Semuanya mengisahkan legenda al-Ḥallāj itu dengan sigat tamriḍ, yakni ḥukiya atau yuḥkā atau qīla tanpa sanad. Tentu saja tidak bisa menetapkan kebenaran fakta sejarah hanya dengan argumentasi bahwa sebuah kisah tercantum dalam kitab-kitab tertentu. Jangankan sejarah al-Ḥallāj, ucapan Rasulullah ﷺ saja masih harus diseleksi. Tidak semua riwayat yang mengatakan, “Rasulullah ﷺ bersabda..” itu pasti benar ucapan Nabi. Sebab kenyataannya hadis itu ada yang sahih, hasan, daif bahkan palsu/mauḍū‘.
Dari situ saya berusaha menelusuri sumber yang lebih tua daripada deretan kitab-kitab tersebut. Siapa tahu ada rujukan yang lebih dekat dengan zaman al-Ḥallāj hidup dengan sanad bersambung.
Pencarian saya berakhir dengan penemuan riwayat yang diklaim berasal dari kitab Akhbāru al-Ḥallāj (أخبار الحلاج) yang dikarang oleh Ibnu Anjab (ابْنُ أَنْجَب) atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Sā‘ī (ابْنُ السَّاعِيْ) (w. 674 H). Riwayat darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah disebut berasal dari Ibnu Khafīf.
Sayangnya setelah saya mengkaji tuntas kitab Akhbāru al-Ḥallāj karya Ibnu Anjab tersebut, saya tidak menemukan riwayat tentang darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah itu. Entah beda sumber manuskrip atau sebab yang lain, yang jelas kitab Akhbār al-Ḥallāj yang saya kaji tidak memuatnya. Versi yang saya miliki adalah hasil tahkik Muwaffaq Fauzī al-Jabr.
Dengan asumsi bahwa riwayat tersebut memang benar-benar ada dalam kitab tersebut dalam versi manuskrip yang lain, maka kritikannya adalah sebagai berikut.
PERTAMA,
Riwayat tersebut tidak bersanad. Hanya penyebut perawi yang sezaman dengan al-Ḥallāj yakni Ibnu Khafīf. Tentu saja riwayat yang tidak bersanad tidak ada nilainya. Sudah maklum dalam ilmu riwayat bahwa berita-berita yang tidak bersanad itu tidak bisa dijadikan dasar untuk membangun keyakinan atau kebenaran sejarah. Pengarang kitab Akhbār al-Ḥallāj wafat pada tahun 674 H. Artinya jaraknya dengan kematian al-Ḥallāj adalah 365 tahun. Jadi, tidak mungkin beliau bertemu dengan Ibnu Khafīf. Nah yang semacam ini membutuhkan sanad muttaṣil agar riwayatnya bisa dipertimbangkan. Ketika sanad itu tidak tersedia, maka riwayat dengan kualitas demikian lebih dekat dipahami sebagai mitos dan legenda yang diciptakan untuk mengglorifikasi al-Ḥallāj.
Lagipula, Ibnu Khafīf dikenal sebagai pembela al-Ḥallāj selain Ibnu ‘Aṭā’ dan al-Naṣr Ābadī. Berdasarkan data ini, maka semua riwayat terkait glorifikasi al-Ḥallāj yang berasal dari jalur ini harus diwaspadai sebab mengandung dua kemungkinan,
Satu, riwayat pecinta berpotensi tidak obyektif karena cenderung dilebih-lebihkan bahkan membuat cerita dusta. Seperti di Indonesia, pecinta Sukarno membuat mitos bahwa Sukarno itu sakti, yang bisa melubangi drum besi hanya dengan jarinya, bahkan meyakini bahwa Sukarno sebenarnya masih hidup sampai sekarang dan menikah dengan Nyai Roro Kidul!
Dua, ada potensi pencatutan nama Ibnu Khafīf oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan mengarang cerita bombastis seperti itu. Sebab, saat menciptakan berita dusta, yang paling logis agar bisa diterima memang diberi perawi yang sezaman dengan al-Ḥallāj dan tergolong pembela, karena pembela yang dianggap “lebih mengetahui” al-Ḥallāj daripada pengkritiknya.
KEDUA,
Seandainya peristiwa itu benar terjadi, sudah semestinya masyarakat gempar dan berduyun-duyun mendukung al-Ḥallāj. Alasannya, penonton eksekusi al-Ḥallāj itu ada 3 golongan: Pengkritik, Pecinta, dan Peragu yang bertawaqquf. Andai benar kisah darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah, maka itu serupa karamah besar yang logisnya akan membuat orang berduyun-duyun mendukung al-Ḥallāj. Sebagaimana kisah pemuda Ashabul Ukhdud yang eksekusinya dihadiri banyak orang. Ketika mereka tahu kebenaran sang pemuda, maka yang beriman semakin mantap imannya, yang kafir jadi beriman dan yang ragu menjadi kukuh imannya. Faktanya, kegemparan seperti itu tidak pernah terjadi. Dengan demikian peristiwa tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi.
Lagipula, peristiwa eksekusi al-Ḥallāj di zaman itu termasuk peristiwa besar. Yang menyaksikan banyak. Baik ulama, orang awam, algojo, murid al-Ḥallāj, bahkan putra al-Ḥallāj sendiri. Di antara yang menyaksikan eksekusinya dengan sanad sahih adalah Abū ‘Umar bin Ḥayyawaih, Ibrāhīm bin ‘Abdullāh al-Qalānisī al-Rāzī, Abū al-‘Abbās al-Rāzī, dan Ḥamdun; putra al-Ḥallāj sendiri. Akan tetapi, anehnya tidak ada satupun di antara mereka meriwayatkan kejadian darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah itu. Padahal, andaikan benar peristiwa itu terjadi, mestinya para pecinta al-Ḥallāj dan putranya adalah orang yang paling berkepentingan untuk menyebarkan kisah “mutawatir” itu untuk membersihkan nama al-Ḥallāj. Ketika yang seperti ini tidak ada, hal itu menunjukkan kisah tersebut hanyalah mitos yang dibuat-buat.
Lagipula kisah darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah itu dari sisi matan ada kontradiksi. Sebagian penukil mengatakan bahwa darah yang menulis lafal Allah itu berasal dari kepala setelah dipenggal. Yang lain mengatakan dari tangan. Yang lain mengatakan dari tangan dan kaki. Yang lain mengatakan saat disalib (yang memberi kesan berasal dari tetasan darah saat tangan dipaku pada kayu salib). Ini tidak konsisten, sehingga menunjukkan kepalsuan kisah ini.
Memang keliru bertumpu pada kitab seperti Akhbāru Al-Ḥallāj untuk mengetahui kisah valid tentang al-Ḥallāj. Sebab kitab tersebut ditulis tanpa membedakan mana berita sahih maupun tidak, mana yang dusta dan mana data sejarah. Demikian pula keliru bertumpu kitab seperti al-Kawākib al-Durriyyah fī Tarājimi al-Sādah al-Sūfiyyah yang hanya menghimpun berita-berita sufi tanpa verifikasi. Yang paling aman adalah bertumpu pada kitab-kitab sejarah yang ditulis dengan seleksi ketat seperti Siyaru A’lāmi al-Nubalā’ karya al-Żahabī atau al-Bidāyah wa al-Nihāyah karya Ibnu Kaṡīr. Sebab penulis dua kitab tersebut adalah ahli sejarah sekaligus ahli hadis yang dikenal sebagai kritikus hadis ketat. Jadi berita yang aneh dan tidak valid langsung dikritisi dan disaring.
KESIMPULAN
Dengan demikian kisah darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah saat dieksekusi hanyalah mitos, legenda dan kabar burung. Bukan fakta sejarah. Kesimpulan saya ini ternyata sama persis dengan hasil penelitian al-Żahabī. Beliau berkata saat mengomentari legenda darah al-Ḥallāj menulis lafal Allah ini dengan ungkapan,
«وَيُقَالُ: إِنَّ يَدهُ لَمَّا قُطعتْ، كَتبَ الدَّمُ عَلَى الأَرْضِ: الله الله. قُلْتُ: مَا صَحَّ هَذَا،. [«سير أعلام النبلاء – ط الرسالة» (14/ 347)]
Artinya,
“Konon tangannya saat dipotong menulis lafal Allah…Allah… di atas tanah. Saya (al-Żahabī) berkata, ‘Ini tidak valid” (Siyaru A’lāmi al-Nubalā’, juz 14 hlm 347)
Dengan asumsi riwayatnya diterima sekalipun, maka yang logis adalah memahami bahwa al-Ḥallāj menulis dengan menggerakkan pergelangan tangannya. Tidak ada unsur karamah sama sekali di sana. Al-Żahabī berkata,
وَيُمكنُ أَنْ يَكُوْنَ هَذَا مِنْ فِعلِه بِحركَةِ زَنْدِه»
Artinya,
“(dengan asumsi kisah tersebut benar), mungkin saja itu berasal dari gerakan pergelangan al-Ḥallāj sendiri”
25 Ramadhan 1443 H/ 27 April pukul 16.40