Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika ingin melihat bagaimana konsep persatuan politik umat Islam yang benar, maka lihatlah tindakan cucu Rasulullah ﷺ: al-Hasan bin ‘Ali.
Waktu itu umat Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok politik besar: Pertama, pendukung al-Ḥasan bin ‘Ali. Kedua, pendukung Mu‘āwiyah bin Abū Sufyān. Keduanya dibaiat sebagai khalifah/amirul mukminin oleh pendukung masing-masing.
Al-Ḥasan memilih mengalah dan mengakui Mu’āwiyah sebagai satu-satunya pemimpin sah untuk umat Islam. Padahal jika mau, al-Ḥasan bisa saja bersikukuh dan terus “berjuang” melakukan peperangan pemikiran maupun militer terhadap Mu’awiyah hingga kekuasaan sepenuhnya berada dalam genggaman tangannya.
Rasulullah ﷺ sudah meramalkan tindakan politik besar yang akan dilakukan cucu beliau ini. Al-Bukhārī meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Putraku (cucuku) ini adalah seorang sayyid (pemimpin). Semoga Allah mendamaikan dua kelompok (besar) kaum muslimin melalui (tangan)nya.” (H.R. al-Bukḥārī)
Berdasarkan hadis di atas, bisa difahami bahwa tindakan politik al-Ḥasan saat mengalah kepada Mu’awiyah adalah keputusan yang sudah pasti benar dan diridai Allah, karena dipuji Rasulullah ﷺ. Pujian Rasulullah ﷺ terhadap cucunya menunjukkan Allah rida dengan jenis keputusan politik seperti itu.
Beginilah seharusnya perjuangan ke arah persatuan politik umat Islam.
Saat umat Islam terpolarisasi menjadi banyak kelompok dan banyak kubu, yang dijadikan sudut pandang keputusan politik adalah kemaslahatan din dan kemaslahatan umat Islam.
Selama syariat ditegakkan, dakwah terus berlanjut, pertengkaran umat Islam dipadamkan dan pertumpahan darah bisa dicegah, maka tidak masalah harus mengalah dan mengesampingkan ego pribadi maupun kelompok.
Yakni, melakukan deal-deal politik dengan sudut pandang mana yang lebih besar merealisasikan kemaslahatan din dan umat Islam. Walaupun tidak harus paling ideal.
Walaupun yang diberi amanah memegang kekuasaan bisa jadi kompetensinya lebih rendah, kesalihannya lebih “low” dan aspek “ke-berhak-an”/afdaliyyah-nya lebih lemah.
Yakni menjadi negarawan atau politisi yang rela mengalah bahkan meninggalkan kekuasaan bukan karena lemah. Rela mengalah bukan karena pendukungnya sedikit. Rela mengalah bukan karena takut mati. Rela mengalah bukan karena diberi janji kenyamanan duniawi. Tapi rela mengalah semata-mata atas pertimbangan mengharap rida Allah karena jelas masalahatnya yakni tegaknya din dan mencegah pertumpahan darah kaum muslimin.
Sikap al-Ḥasan bin Ali ini sekaligus memberi petunjuk kepada kita kekeliruan paham Khawarij jika lebih senang menumpahkan darah untuk memaksakan pemahaman politiknya atau tidak peduli pertumpahan darah kaum muslimin demi tercapainya agenda politik mereka.
Sungguh dipertanyakan jika orang mengklaim ingin menyatukan umat Islam sementara dia berkeras kepala dan ngotot bahwa pemimpin harus dari kelompoknya. Sudah begitu move-move politik dan pemikirannya adalah menjelek-jelekkan kaum muslimin yang lain, selalu mengajak bertengkar atas nama dakwah, dan menghina kaum muslimin yang strategi dakwah maupun pemikiran cabangnya tidak sama dengan dirinya.
5 Dzulhijah 1443 H/ 4 Juli 2022 M pukul 11.24