Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebagian orang keliru memahami makna “berbaik sangka kepada Allah”, yakni menyangka bahwa jika kita sudah berbaik sangka kepada Allah, berarti kita bisa “mengontrol” bahkan “memaksa” keputusan Allah agar sesuai kehendak kita.
Misalnya orang punya keinginan kaya raya, punya mobil bagus dan rumah indah, lalu “berbaik sangka” bahwa Allah akan mengabulkan keinginan tersebut, lalu setiap hari menunggu terealisasi angan-angan tersebut.
Ini keliru.
Baik sangka kepada Allah itu tidak bermakna bisa “mengatur” Allah, yakni berharap takdir hidup sesuai keinginan kita. Baik sangka kepada Allah itu justru bermakna pasrah, tawakal, rida dan rela terhadap semua keputusan Allah, entah itu baik atau buruk dalam pandangan mata kita.
Menyangka bahwa kita bisa “mengatur” Allah justru akan menjatuhkan kita pada dosa yang lebih besar, yakni saat angan-angan kita tidak tercapai, kita jadi kecewa berat kepada Allah, lalu menyalahkan Allah dan tidak terima terhadap takdir-Nya!
Menyangka bahwa kita bisa “mengatur” keputusan Allah akan bertentangan dengan banyak dalil dalam Al-Qur’an, misalnya bahwa Allah itu punya kuasa penuh melakukan apapun yang dikehendaki-Nya (fa‘-‘ālun limā yurīd), bahwa manusia itu tidak selalu mendapatkan apa yang diangan-angankannya (am lil insāni mā tamannā), bahwa Allah tidak bisa dikontrol olah kehendak makhluk (wallāhu gālibun ‘alā amrihī), dan lain-lain.
Adapun hadis yang berbunyi,
Artinya,
“Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.”
Maka hadis di atas terkait kondisi sekarat.
Maksudnya begini,
Jika kita sudah menjelang wafat, lalu kita takut akan bertemu Allah dalam keadaan dimurkai-Nya karena banyaknya dosa kita, sementara kita di dunia sebenarnya sudah berusaha menjadi hamba sebaik-baiknya, maka dominankanlah dugaan baik kepada Allah. Yakni berbaik sangka bahwa Allah rahmat-Nya sangat luas sehingga berkenan mengampuni dan memaafkan kita, walaupun Dia kuasa menghukum kita.
Di hati kita tekankan perasaan bahwa seumur hidup kita telah berusaha hanya menyembah-Nya dan mencari rida-Nya. Jadi, di antara sekian ribu amal saleh yang kita lakukan tentu ada satu dua amal yang benar-benar murni ikhlas karena Allah, walaupun itu hanya seberat biji sawi. Amal itulah yang kita harapkan bisa menjadi perantara menyelamatkan kita. Dengan kata lain, menjelang wafat yang kita menangkan adalah perasaan rajā’ (harapan) , bukan mendominankan khauf (rasa takut). Jika kita bisa menduga baik bahwa Allah akan mengampuni kita saat sekarat, maka Allah sesuai dengan persangkaan tersebut, yakni akan mengampuni hamba yang berbaik sangka tersebut.
Jadi hadis di atas sama sekali tidak bermakna bahwa hamba bisa “mengontrol” dan “mengatur” Allah.
Adapun berbaik sangka bahwa doa dikabulkan, maka itu harus karena perintahnya memang begitu. Tapi tidak bermakna memaksa Allah seperti keinginan kita. Karena ada hadis bahwa pengabulan doa itu bentuknya tiga;
- Diberi persis seperti yang diminta
- Dihindarkan dari keburukan semisal
- Disimpan untuk dikabulkan di akhirat
Jadi, doa itu meminta. Bukan memaksa. Juga bukan mendikte.
Makna positive thinking adalah percaya bahwa semua keputusan Allah itu baik, walaupun “tidak mengenakkan” dalam pandangan kita, karena kita percaya ada hikmah di setiap keputusan Allah yang itu terbaik untuk kita.
Adapun tren bersalawat agar dapat duniawi, misalnya ingin mobil disalawati atau ingin rumah bagus disalawati dulu, maka ini harus didudukkan.
Saat mengucapkan salawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم perasaan yang seharusnya kita hadirkan adalah berterima kasih kepada nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Yakni berterima kasih atas jasa beliau mengajari kita wahyu dari Allah dan menyampaikan kehendak Allah kepada kita. Andai bukan karena wasilah jasa dan perjuangan beliau, pasti kita bodoh dan menjadi bahan bakar api neraka.
Jadi, salawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah doa yang didorong oleh cinta. Mencintai Rasul karena Allah. Jenis mahabbah fillah. Bersalawat karena tahu terima kasih. Bersalawat untuk melaksanakan syariat mukāfa’ah. Bersalawat untuk melaksanakan syariat membalas kebaikan hamba Allah sekecil apapun. Bersalawat karena mengerti jasa besar seorang hamba kepada kita yang merupakan guru terbesar kita, pembimbing kita dan teladan kita.
Adapun salawat dengan niat memperoleh dunia, saya tidak tahu dasar dalilnya.
Apalagi salawat dipakai alat untuk mengasah rasa tamak terhadap dunia.
Bisa jadi Allah memang memberi rahmat kepada seorang hamba yang ikhlas bersalawat atau melakukan amal saleh apapun, lalu mencipratkan sebagian rahmat itu berupa kenikmatan duniawi yang sementara. Tapi itu bukan untuk dijadikan motivasi amal, apalagi menjadi satu-satunya niat saat bersalawat.
Yang jelas, bersawalat dengan niat murni dapat dunia 100% tentu bukan ajaran Rasulullah صلى الله عليه وسلم, tidak sesuai dengan maksud syariat salawat, bahkan tidak berlebihan jika kita katakan jenis penyimpangan syariat salawat.
Itu serupa dengan orang salat duha dengan niat (100% atau dominan) agar kaya, haji dengan niat dipanggil abah/ummi, salat malam dengan niat agar wajahnya bercahaya dan semisalnya.
20 Dzulhijah 1443 H/ 19 Juli 2022 M pukul 06.27