Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Setelah mengetahui dalil-dalil wajibnya silaturahmi, dalil keutamaan silaturahmi, dalil ancaman memutus silaturahmi atau sebab-sebab lain, seorang muslim bisa jadi mulai tergerak, punya keinginan dan bersemangat untuk melaksanakan silaturahmi. Dia ingin termasuk golongan hamba Allah yang saleh yang memenuhi hak kerabat dalam hal silaturahmi. Dia ingin tercatat di sisi Allah sebagai hamba yang menyambung silaturahmi. Dia ingin mendapatkan rida Allah melalui pintu silaturahmi.
Masalahnya, sebenarnya apa standar dan kriteria orang dikatakan telah menyambung tali silaturahmi itu? Apa indikatornya?
Apa benar orang dikatakan silaturahmi itu harus dan wajib mengunjungi kerabat dengan datang ke rumahnya, berbincang-bincang dengannya, dan beramah tamah? Apakah benar orang yang sama sekali tidak pernah mengunjungi kerabat itu dikatakan telah memutus silaturahmi?
Bagaimana jika kasusnya ada kerabat miskin yang ingin mengunjungi kerabat kaya, tapi kerabat kaya ini malah tidak suka, merasa risih, merasa jijik dan menganggap kerabatnya yang datang hanya karena ada maunya saja? Bagaimana jika kerabat kaya ini pura-pura tidak tahu jika didatangi kerabat miskin? Bagaimana jika kerabat kaya ini saat didatangi pas sedang tidur lalu saat dibangunkan menolak untuk bangun dan menemui kerabat miskin tersebut? Bagaimana jika kerabat kaya ini bahkan tidak mau membukakan pintu kerabat miskin yang sudah di dapan rumah padahal dia ada di dalamnya?!
Bagaimana cara menyambung tali silaturahmi kepada kerabat yang punya din, akhlak dan pemikiran yang buruk, yang jika berinteraksi dengannya justru bisa memberi pengaruh buruk pada kita?
Bagaimana melaksanakan silaturahmi kepada kerabat yang hubungannya tidak enak karena masalah warisan?
Bagaimana melaksanakan silaturahmi kepada kerabat yang hubungannya tidak enak karena urusan cinta, pernikahan dan poligami?
Bagaimana melaksanakan silaturahmi kepada kerabat yang hubungannya tidak enak karena urusan utang piutang?
Bagaimana melaksanakan silaturahmi kepada kerabat yang suka mengacau, mengganggu rumah tangga kita, menjelek-jelekkan pasangan kita bahkan berusaha menceraikan?
Ringkasnya, bagaimana cara menyambung silaturahmi kepada kerabat yang memiliki rasa canggung dengan kita, atau ketidak-enakan, atau ketegangan, atau suasana tidak sehat, atau konflik atau bahkan permusuhan?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Agar memahami kriteria kapan seseorang dikatakan telah melaksanakan silaturahmi, maka harus dibahas makna bahasanya dulu, baru setelah itu dikupas makna syar’inya.
Makna bahasa silaturahmi adalah menyambung rahim. Sebab silaturahmi (صلة الرحم) terdiri dari dua kata, yaitu ṣilah (صلة) dan raḥmi/raḥim (الرحم). Kata ṣilah berasal dari kata waṣala yang bermakna menyambung. Raḥmi atau raḥim bermakna uterus, yakni rahim wanita tempat janin berkembang.
Jadi makna bahasa silaturahmi adalah menyambung uterus. Seakan-akan dalam silaturahmi itu kita menyambung uterus-uterus sehingga anak-anak yang lahir dari uterus tersebut bersatu, kompak, solid, kokoh saling mencintai dan saling menyayangi tanpa bisa dicerai beraikan oleh apapun.
Adapun dalam istilah syar’i, silaturahmi itu intinya adalah membaiki kerabat. Perbuatan baik tersebut secara alami akan menimbulkan cinta dan kasih sayang, lalu tersambung, bersatu dan kokoh bagaikan satu bangunan yang kuat.
Oleh karena itu, silaturahmi itu ekspresinya dilakukan dengan segala perbuatan baik apapun yang intinya adalah membaiki kerabat. Dalam satu kondisi perbuatan baik itu kadang status hukumnya wajib. Dalam kondisi yang lain status perbuatan baik itu hukumnya sunah. Al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘Īyāḍ berkata,
Artinya,
“Aksi silaturahmi itu ada yang wajib dan ada yang sunah” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim juz 16 hlm 113)
Contoh aksi silaturahmi yang sudah tergolong wajib adalah menjamin nafkah orang tua yang sudah tidak sanggup bekerja, atau masih muda tapi sakit-sakitan, atau cacat, atau gila. Termasuk menafkahi kakek, buyut, anak, cucu, saudara, paman, bibi yang punya sifat-sifat kelemahan (gila, idiot, cacat tubuh, sakit dan semisalnya).
Contoh lain aksi silaturahmi yang wajib adalah mendatangi undangan walimah. Memenuhi undangan walimah dari selain kerabat saja hukumnya wajib, maka mendatangi undangan walimah kerabat lebih wajib lagi karena haknya lebih kuat.
Contoh lain aksi silaturahmi yang wajib adalah menjawab salam. Karena menjawab salam itu hukumnya fardu, apalagi yang mengucapkan salam adalah kerabat. Aspek kewajibannya lebih kuat karena hak kerabat lebih kuat.
Adapula aksi silaturahmi yang tergolong sunah, seperti menjenguk kerabat yang sakit, merawat kerabat yang sakit, melunasi hutang kerabat, membayarkan biaya sekolah anak kerabat, membantu kerabat pindahan rumah, mengunjungi, mengucapkan salam, mencari tahu kabar berita, menanyakan kabar, bersikap lembut, menghormati yang berusia tua, menyayangi yang muda, menjamu, menyambut dengan ramah jika mereka bertamu, mengarahkan pendidikan, memenuhi undangan selain walimah, memberi selamat saat anak lahir, memberi selamat saat lulus sekolah, takziah, menghibur saat mereka curhat, ikut bergembira saat mereka gembira, ikut bersedih saat mereka sedih, memutihkan hati terhadap mereka (salāmatuṣ ṣadr), mengajak mereka ngaji, berwajah manis di depan mereka dan semua jenis kebaikan yang lain.
Termasuk silaturahmi adalah membaiki kerabat dengan cara menghalau hal-hal yang membahayakan kerabat atau keburukan apapun yang menimpa mereka. Misalnya memperbaiki plafon rumah kerabat yang hampir ambruk, membunuh ular/binatang berbisa yang masuk ke dalam rumahnya, meruqyah kerabat yang kesurupan, menghilangkan sihir dari kerabat, menasihati agar tidak menikahi orang tertentu karena kita tahu persis bahwa fulan/fulanah adalah seorang bajingan, menasihati kerabat agar tidak berbisnis dengan orang tertentu karena kita tahu persis bahwa fulan/fulanah itu tidak amanah dalam bisnis, amar makruf nahi mungkar agar selamat dari neraka dan semua jenis kebaikan yang sifatnya menjauhkan kerabat dari segala keburukan atau hal berbahaya.
Ringkasnya, jika hendak dikatakan dalam satu kalimat, silaturahmi itu intinya mengantarkan kebaikan kepada kerabat (إيصال الخير) dan menghalau keburukan dari kerabat (دفع الشر). Ibnu Abū Jamrah berkata,
Artinya,
“Makna komprehensif silaturahmi adalah aktivitas mengantarkan semua jenis kebaikan yang dimungkinkan dan menghalau semua jenis keburukan yang dimungkinkan sesuai kemampuan.” (Fatḥu al-Bārī, juz 10 hlm 418)
Jika hendak diungkapkan dengan satu ayat dalam Al-Qur’an, maka aksi silaturahmi itu intinya adalah dengan mengamalkan sebaik-baiknya ayat dalam Surah al-Naḥl: 90 berikut ini,
Artinya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (Q.S. al-Naḥl: 90 )
Jika seperti ini makna silaturahmi, berarti ekspresi silaturahmi tidak boleh dibatasi hanya dengan kunjungan saja misalnya. Dengan makna: Orang dikatakan menyambung silaturahmi hanya jika telah melakukan kunjungan. Jika tidak melakukan kunjungan maka dikatakan memutus silaturahmi. Ini tidak benar, karena bisa jadi seseorang dipaksa kondisi sehingga tidak bisa berkunjung.
Misalnya kondisi keuangannya sulit, sementara kerabat yang dikunjungi lokasinya jauh. Ada orang-orang tertentu yang jangankan melakukan safar untuk mengunjungi kerabat, hanya sekedar mencari makan saja beliau sudah kembang kempis! Orang seperti ini bagaimana dituntut mengunjungi kerabat yang biaya transportasinya saja bisa jadi mencapai 1-5 juta?! Ini jelas menyulitkan dan kerabat seperti ini tidak mungkin dituntut menyambung silaturahmi dengan cara mengunjungi.
Hal lain yang kadang menyulitkan kunjungan adalah ujian ketegangan. Entah karena urusan warisan, cinta, utang-piutang, bisnis, salah paham atau lainnya. Dalam kondisi seperti ini kunjungan bisa jadi malah menjadi pemicu adu mulut atau malah semakin menyuburkan permusuhan.
Hal lain yang kadang menyulitkan kunjungan adalah ujian keangkuhan. Sebagian kerabat kaya atau populer atau punya jabatan bisa jadi ada yang merasa “luhur” sehingga merasa “tidak level” menemui kerabat miskin. Kerabat miskin pun jadi sungkan atau tidak enak mau datang. Kuatir dianggap “ada maunya”. Yang seperti ini jika kerabat miskin dipaksa datang ke rumah kerabat kaya, maksud silaturahmi untuk memupuk cinta dan kasih sayang malah tidak tercapai dan justru malah menimbulkan ketidaksukaan, rasa risih, jijik bahkan kebencian.
Hal lain yang kadang menyulitkan kunjungan adalah ujian move jahat. Sebagian kerabat karena kedengkiannya atau kejahilannya atau kesalahpahaman yang tak terkonfirmasi menjadi berniat untuk menghancurkan rumah tangga kita dan menceraikan kita dengan pasangan. Kerabat seperti ini, jika kita mendatanginya maka bukan kata-kata manis penuh persaudaraan yang akan kita dapatkan, tetapi justru kata-kata provokasi, kebencian, gunjingan, makian, fitnah, sumpah serapah atau kata-kata buruk lainnya. Bahkan bisa jadi akan ada upaya “menahan paksa” jika kita nekat mengunjunginya, agar benar-benar terjadi perpisahan secara fisik dengan pasangan. Kerabat dengan tipe seperti ini tidak mungkin disambung silaturahmi dengan cara dikunjungi. Sebab jika dikunjungi, justru akan semakin rusaklah hubungan.
Oleh karena itu, kerabat yang diuji situasi-situasi semisal di atas, bentuk silaturahminya bisa dengan cara yang lain. Misalnya dengan mengirim hadiah dari jauh, berkirim salam, mendoakan, mencari tahu kabar berita dari orang lain dan semisalnya.
Bentuk minimal silaturahmi dalam situasi diuji berat dengan kerabat adalah dengan manahan diri supaya tidak menyakiti mereka (kafful ażā). Jadi, jika mereka memfitnah maka kita balas dengan ucapan yang baik-baik. Jika mereka memaki, kita membalas dengan doa. Jika mereka mendekat untuk merecoki urusan pribadi kita, maka kita menjauh dengan baik seraya tetap mendoakan dari kejauhan.
Ringkasnya, bentuk silaturahmi apa yang paling cocok untuk kerabat adalah disesuaikan dengan kemampuan, kondisi dan kebutuhan. Sifatnya bertingkat-tingkat antara yang paling afdal dan yang paling minimalis. Al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘Īyāḍ berkata,
Artinya,
“Silaturahmi itu bertingkat-tingkat. Sebagiannya lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Yang paling rendah adalah tidak “nyatru” dan menyambung silaturahmi walaupun hanya dengan salam. Ekspresi silaturahmi bisa berbeda-beda sesuai perbedaan kemampuan (qudrah) dan kebutuhan/ḥājah.” (Syarḥu al-Nawawī ‘alā Muslim, jzu 16 hlm 113)
14 Muharam 1444 H/ 12 Agustus 2022 pukul 07.40