Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara godaan saat melacak nasab adalah bersemangat menelusuri nasab yang terhubung pada “orang penting”, tapi ogah-ogahan melacak nasab kerabat yang “bukan siapa-siapa”, apalagi yang membuat malu.
Kepentingan menelusuri nasab yang terhubung dengan orang penting bisa bermacam-macam. Tapi umumnya memang untuk kepentingan duniawi. Untuk bangga-banggaan, menaikkan gengsi, menunjukkan diri penting, agar permintaannya dituruti dan semisalnya. Dengan demikian orang akan mendapatkan kemudahan duniawi seperti pekerjaan, bisnis, pasangan dan lain-lain.
“Orang penting” itu bisa saja “hanya” seorang profesor ternama di sebuah kampus bergengsi atau pejabat kampus seperi rektor, dekan, kaprodi dan lain-lain.
Bisa juga keluarga kaya dan terpandang di masyarakat.
Mungkin juga pejabat pemerintahan seperti Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri sampai Presiden.
Termasuk juga politisi di masa lalu seperti Raja Brawijaya, Raden Wijaya, Raja Fulan, Raja Allan dan seterusnya.
Bahkan tokoh penting yang menjadi sumber kebanggaan bisa juga dari tokoh agama seperti sunan-sunan,wali-wali, ulama besar, sahabat Nabi ﷺ, sampai nasab ke Rasulullah ﷺ.
Ini keliru.
Jangan dituruti.
Ingat, tujuan melacak nasab dan silsilah keluarga adalah untuk melaksanakan silaturahmi dan menunaikan hak hamba Allah sebaik-baiknya. Bukan untuk bangga-banggaan, gengsi-gengsian, sombong-sombingan, dan tafakhur jahiliah. Apalagi untuk meremehkan orang lain yang nasabnya “tidak setinggi” kita.
Ingat, Allah itu melihat amal dan hati kita, bukan melihat kita ini keturunan siapa. Malahan Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa nasab itu tidak bisa mempercepat orang untuk bertaqarrub kepada kepada Allah. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Barangsiapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya.” (H.R.Muslim)
Membanggakan nasab itu kebiasaan jahiliah, perbuatan maksiat, mungkar, keharaman bahkan dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Ada empat perkara jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: Membanggakan kedudukan, mencela nasab (garis keturunan), meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah (meratapi mayit).” Beliau bersabda: “Orang yang meratapi mayit, jika ia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai baju panjang yang berwarna hitam dan memakai tameng dari pedang yang sudah karatan.” (H.R.Muslim)
Rasulullah ﷺ marah sekali dengan watak membanggakan nasab. Beliau juga menyampaikan ancaman dari Allah bahwa siapapun yang melalukannya maka dia bisa dihinakan Allah. al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan leluhur mereka yang telah mati, –mereka itu hanya menjadi arang neraka Jahannam– atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian seruan Jahiliyyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang, (yang ada) hanyalah mukmin yang bertakwa atau pendosa yang celaka, semua manusia adalah anak Adam, sedangkan Adam tercipta dari tanah.” (H.R. al-Tirmiżī)
Allah menciptakan manusia dengan mekanisme nasab dan berketurunan itu bukan untuk dibangga-banggakan. Tapi sebagai ujian agar kita bisa saling mengenal, lalu melaksanakan silaturahmi. Bukan nasab yang membuat orang mulia di sisi Allah, tapi ketakwaannya lah yang berharga di sisi Allah.
Kalau kebanggaan nasab itu sampai level merendahkan orang lain, maka dosanya sangat besar dan bahkan disebut Rasulullah ﷺ sebagai kekufuran. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada manusia ada dua hal yang merupakan kekufuran: mencela nasab dan meratapi mayit.” (H.R. al-Tirmiżī)
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa orang itu sudah dikatakan cukup buruk jika meremehkan saudaranya sesama muslim, tentu saja termasuk meremehkan orang lain dalam hal nasab. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Sudah cukup seseorang dikatakan jahat jika meremehkan saudaranya sesama muslim.” (H.R. Muslim)
Tentu saja jika nasab kita faktanya memang terhubung dengan orang “besar” atau orang “hebat”, lalu kita melacaknya untuk kepentingan silaturahmi dan menunaikan hak ādamī lainnya, maka perbuatan kita itu tergolong amal saleh. Akan tetapi kalau itu hanya desas-desus dan kabar burung yang tidak ada buktinya ya jangan dipaksakan. Jangan pula terus diceritakan seolah-olah itu sebuah kebenaran. Apalagi jika itu hanya berita bohong.
Jika setelah pelacakan itu memang terbukti nasab kita terhubung dengan orang besar, tokoh mulia atau sosok hebat, maka tata hati betul saat menyebutkannya dan berjuang keraslah untuk tawaduk. Lenyapkan sungguh-sungguh segala jenis kebanggaan. Contohlah cara Nabi ﷺ saat menyebut keutamaan beliau seraya menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali kebanggaan. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Aku adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat dan tidak ada kebanggaan.” (H.R. al-Tirmiżī)
Seakan-akan Nabi ﷺ mengatakan, “Ya, aku adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat, tapi aku menyebutkan ini bukan untuk kebanggaan dan bukan untuk pamer. Yang benar, aku melakukannya untuk menyampaikan amanah dari Allah terkait posisiku di akhirat supaya disampaikan kepada kalian. Juga untuk menunjukkan bagaimana besar tanggung jawabku karena nanti pada hari kiamat aku akan diamanahi Allah untuk memberikan syafaat kepada para pendosa yang masih punya tauhid dalam hatinya. Juga untuk menunjukkan bahwa aku punya kewajiban dan tanggung jawab bersyukur atas nikmat yang diberikan kepadaku.”
***
Sebagian dari kita barangkali mendapatkan ujian perasaan seperti itu saat melacak silsilah keluarga.
Saya sendiri mendapatkan godaan itu dari dua arah. Pertama dari nasab ayah. Kedua, dari nasab istri.
Dari nasab ayah, saya pernah diberitahu ayah bahwa ada leluhur yang terhitung masih keturunan Sunan Giri. Informasi ini ternyata juga disampaikan oleh almarhumah nenek saya, yakni ibu dari ayah saya.
Dari nasab istri juga demikian. Ada informasi bahwa di antara leluhurnya masih ada garis keturunan dari Sunan Drajat. Entah dari jalur mana. Saya mendengar klaim ini dari dua orang berbeda dari kerabat istri.
Masalahnya, saat ayah saya tanya bagaimana penjelasan urutan silsilahnya, beliau tidak mampu menjelaskan. Nenek saya yang mengklaim demikian juga tidak menjelaskan argumentasinya saat itu. Sekarang beliau sudah wafat sehingga mustahil dikonfirmasi.
Secara rasional juga sangat sulit atau hampir mustahil memverifikasi kabar burung seperti itu. Logikanya begini,
Ada leluhur yang diperkirakan lahir tahun 1910. Anak saya yang lahir tahun 2009 sudah memanggil beliau Canggah. Artinya dalam rentang hampir 100 tahun sudah muncul 5 generasi. Maknanya, satu generasi rata-rata muncul setiap 20 tahun sekali. Jika benar Sunan Giri lahir tahun 1442, berarti ada jarak 567 tahun dengan anak saya. Artinya, jika benar persambungan nasab dengan Sunan Giri itu ada, maka paling tidak saya harus menemukan sekitar 28 generasi! Bagi saya ini sudah sangat sulit memverifikasinya kalau tidak dikatakan mustahil. Tidak ada narasumber, dokumen, artefak atau bukti apapun untuk membenarkan klaim-klaim tersebut. Jadi, hingga hari ini klaim nasab saya tersambung ke Sunan Giri termasuk nasab istri saya tersambung ke Sunan Drajat saya pandang sebagai jenis desas-desus saja. Bukan kebenaran ilmiah.
Dalam hal ini kita bisa berteladan kepada Rasulullah ﷺ.
Para ulama telah bersepakat bahwa Rasulullah ﷺ jika bernasab, maka beliau tidak pernah melampaui Adnān (generasi ke-22). Sebab hanya sampai Adnān itulah leluhur Nabi ﷺ yang sahih dan mencapai derajat mutawatir riwayatnya. Adapun leluhur di atas Adnān sampai Nabi Isma’il, maka itu diperselisihkan kebenarannya. Apalagi dari Nabi Isma’il sampai ke nabi Adam, tidak ada keraguan lagi pasti ada unsur kedustaannya.
Atas dasar ini, nasab kita yang didokumentasi cukup nasab yang meyakinkan saja. Yakni nasab mutawatir yang disebutkan secara konsisten oleh banyak narasumber tua terpercaya di keluarga kita. Sekurang-kurangnya, nasab yang masyhur atau minimal ahad tsiqah. Jangan menyebut nasab yang diragukan walaupun kita mendapatkan data yang jelas terkait nama silsilahnya. Apalagi yang hanya disambungkan tanpa mata rantai nasab yang jelas. Yang demikian pandanglah sebagai desas-desus dan kabar burung saja.
22 Muharam 1444 H/ 20 Agustus 2022 pukul 09.32