Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Seorang wanita mengeluarkan darah haid pada hari ke-1.
Lalu hari ke-2 bersih.
Lalu hari ke-3 keluar darah lagi.
Lalu hari ke-4 bersih lagi.
Lalu hari ke-5 keluar darah lagi, demikian seterusnya berselang-seling.
Sehari keluar darah haid dan sehari bersih.
Sampai hari ke-15 keluar darah haid, setelah itu baru benar-benar bersih, tidak keluar darah lagi.
Ringkasnya dalam rentang waktu selama 15 hari, jika digabung antara hari-hari keluar darah dan hari-hari bersih, wanita ini mengeluarkan darah sebanyak 8 hari dan mengalami hari bersih selama 7 hari.
Dikatakan mengeluarkan darah haid maksudnya di hari tersebut darah keluar sesekali di waktu-waktu tertentu. Kadang banyak, kadang sedikit. Kadang darah berhenti sejenak selama beberapa jam atau bahkan sampai setengah hari, tetapi jika kapas dimasukkan ke dalam vaginya, nyatalah masih ada jejak darah/flek. Artinya, hari itu memang bisa dikatakan sebagai hari darah haid sedang keluar.
Dikatakan bersih, maksudnya darah memang sama sekali tidak keluar. Saat kapas dimasukkan ke dalam vagina, hasilnya sama sekali tidak ada jejak darah/flek.
Pertanyaannya, dalam kasus seperti di atas, sebenarnya wanita mengalami haid berapa hari?
Apakah dihitung 8 hari saja ataukah 15 hari?
Ataukah malah dianggap istihaḍah saja?
Atau dikembalikan kepada kebiasaan selama ini?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya hanya kembali pada satu isu penting saja.
Yakni,
“Masa bersih di antara darah-darah haid itu dihukumi suci ataukah dihukumi haid?”
Dengan kata lain,
“Hari bersih sejumlah 7 hari di sela-sela hari haid itu statusnya suci ataukah haid?”
Istilah untuk menyebut masa bersih di sela-sela masa haid normal 1-15 ini dalam istilah fukaha dinamakan dengan naqā’ (النقاء). Anda harus jeli dan bisa membedakannya dengan istilah ṭuhr (الطهر) atau masa suci. Naqā’ itu hanya khusus berlaku pada masa bersih pada durasi haid normal 1-15 hari dan pasti kurang dari 15 hari. Adapun masa suci, maka itu muncul setelah haid selesai yang lamanya minimal 15 hari sampai tak terbatas.
Nah terkait naqā’ ini, ternyata para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama berpendapat ia harus dihukumi haid, yakni menghukumi masa naqā’ dengan cara “menyeret” masa keluarnya darah haid ke masa naqā’ tersebut. Ijtihad ini dinamakan ijtihad saḥab (السحْب). Makna bahasa saḥaba-yasḥabu-saḥban adalah menyeret.
Sebagian ulama lain berpendapat, masa naqā’ harus dihukumi suci. Jadi hanya yang keluar darah saja yang dihukumi haid, sementara saat masa naqā’ statusnya adalah suci yang wajib mandi, salat dan boleh digauli suami. Ijtihad ini dinamakan ijtihad talfīq (التلفيق) atau laqaṭ (اللقط) .
Makna bahasa talfīq adalah menggabungkan dua tepi kain lalu menjahitnya menjadi satu. Seakan-akan, karena ijtihad ini menggabungkan haid-haid yang berpencar-pencar jadi satu, maka ia dinamakan ijtihad talfīq.
Mazhab al-Syāfi‘ī mendukung pemikiran saḥab.
Argumentasi mazhab al-Syāfi‘ī begini,
Wanita mengeluarkan darah haid normal sekalipun, tidak mungkin 24 jam terus menerus mengeluarkan darah. Sudah pasti ada saat mengeluarkan darah, dan ada juga saat darah berhenti.
Masa saat darah berhenti, ia diistilahkan dengan nama fatrah.
Nah, darah saat berhenti, faktanya kita tetap menghukuminya sebagai haid dan tidak serta merta kita hukumi suci hanya karena berhenti keluar darah. Oleh karena itu, masa naqā’ di masa normal haid (yakni antara 1-15 hari) harus dihukumi haid, sebagaimana fatrah juga dihukumi haid. Dengan kata lain naqā’ dihukumi haid karena kondisinya serupa dengan fatrah yang sudah disepakati sebagai haid .
Lagipula tidak mungkin masa berhenti darah seperti itu dianggap suci, sebab andai diterima demikian berarti ia boleh dijadikan penanda berakhirnya masa idah. Maknanya, bisa saja masa idah berhenti hanya dalam waktu 6 hari, padahal tidak ada ulama yang berpendapat demikian!
Maksud masa idah selesai dalam enam hari dengan masa naqā’ misalnya: Hari ke-1 keluar darah, hari ke-2 berhenti, ke-3 keluar darah, ke-4 berhenti, ke-5 keluar darah, ke-6 berhenti.
Terealisasilah 3 kali masa suci sehingga semestinya selesainya masa idah bisa terealisasi dengan naqā’ ini. Tapi itu semua tidak ada yang menerima, karena seluruh ulama sepakat naqā’ tidak boleh dipakai ukuran untuk menentukan berakhirnya masa idah, sebab naqā’ memang tidak termasuk dalam definisi qur’un secara bahasa.
Yang sepakat dengan mazhab al-Syāfi‘ī adalah Abu Ḥanīfah. Adapun yang berpendapat dengan talfīq maka mereka adalah Malik dan Ahmad.
Hanya saja, masa naqā’ dihukumi haid jika memenuhi 3 syarat,
Pertama: gabungan masa darah haid keluar dengan masa naqā’ tidak melampaui 15 hari .
Kedua: Akumulasi darah yang keluar dari hari yang berbeda-beda itu kalau dijumlahkan adalah sehari semalam . Jika kurang dari sehari semalam maka itu darah fasād.
Ketiga, masa naqā’ harus lebih lama daripada masa fatrah biasanya.
Terakhir, “Jika wanita berhenti darahnya dan tidak tahu apakah itu di masa naqā’ ataukah masa ṭuhr apa yang harus dilakukan?”
Jawabannya adalah sebagai berikut.
Saat belum tahu bahwa itu masa haid, maka wanita melakukan amal wanita suci karena memang ada kemungkinan bahwa itu memang sudah suci. Begitu keluar darah lagi, maka penilaian status harus diubah.
Wallahua‘lam.
23 Shafar 1444 H/20 September 2022 pukul 11.30