Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Semua kenangan saya tentang syaikh al-‘allāmah Yusuf al-Qaraḍāwī alhamdulillah, baik-baik semuanya.
Allah berkehendak membuat saya bertemu dengan sebagian karya-karya beliau di masa muda.
Saat masih usia SMA, ketika saya belum mengerti apapun tentang bahasa Arab dan sama sekali tidak bisa membaca kitab gundul, karya beliau yang pertama kali membuat berkesan adalah buku beliau yang diterjemahkan dengan judul FATWA-FATWA KONTEMPORER. Ada dua jilid tebal waktu itu yang saya nikmati berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Dengan membaca buku tersebut saya mulai terbuka wawasan terkait cara berfikir fikih dan wawasan hukum Islam kontemporer. Bahkan ada kepercayaan diri lumayan dibandingkan dengan teman-teman saat ada diskusi masalah-masalah hukum kontemporer. Saya terbiasa menukil jawaban dan argumentasinya dari buku tersebut.
Buku Syaikh Yusuf al-Qaraḍāwī kedua versi terjemahan yang membuat saya terkesan juga adalah syarah beliau terhadap salah satu dari 20 prinsip susunan Ḥasan al-Banna yang membahas seputar mimpi, kasyaf, ruqyah dan perdukunan. Terasa luas sekali wawasan beliau. Sikap beliau terhadap tasawuf dan kasyaf juga sungguh menarik. Penghargaan dan pujian beliau terhadap al-Gazzālī menunjukkan keadilan sikap beliau dalam menilai ulama. Tetapi kekritisan beliau dalam mengkritik sebagian dampak tasawuf al-Gazzāli masuk akal juga. Salah satu yang beliau tidak setujui dalam tasawuf al-Gazzāli adalah ketika ada kesan kasyaf menjadi tujuan dan harus dikejar dalam tasawuf. Saya sepakat dengan hal ini. Memang kasyaf itu “hanyalah” salah satu bentuk penguatan iman. Tidak selalu diberikan kepada kekasih Allah. Juga tidak layak menjadi tujuan bertasawuf.
Begitu Allah memberi karunia kepada saya untuk memahami kitab-kitab bahasa Arab dan membaca langsung karya syaikh Yūsuf al-Qarāḍāwi, makin terkonfirmasilah husnuzan saya di masa muda terkait keilmuan beliau.
Memang betul tidak semua karya beliau sempat saya kaji, tapi di antara kitab-kitab beliau yang sempat saya baca langsung dalam versi Arabnya adalah Fatāwā Mu’āṣirah, Mauqifu al-Islām min al-Ilhām wa al-Kasyfi wa al-Ru’ā wa min al-Tamā’im wa al-Kahānah wa al-Ruqā, al-Imām al-Gazzālī baina Mādiḥīhi wa Nāqidīhi, Fiqhuz Zakāh, Fiqhul Aulawiyyāt, Kaifa Nata’āmalu Ma‘ā al-Sunnah al-Nabawiyyah dan lain-lain yang saya sudah tidak ingat lagi.
Biasanya saya mengukur keilmuan seseorang itu dengan cara melihat bagaimana cara beliau membahas satu persoalan.
Dari situ biasanya bisa diperkirakan keilmuan seseorang apakah benar-benar berilmu, keilmuan kadar sekian, ulama internasional, ulama nasional, ulama komunitasnya sendiri, sampai ulama abal-abal yang sebenarnya belum pantas disebut ulama walaupun boleh disebut ustaz atau dai.
Ambil contoh misalnya membahas masalah garrāwain (الغراوين) dalam fikih.
Cara seorang ulama membahas, sejauh mana ruang lingkupnya, sedalam apa argumentasinya, dan seluas apa referensinya bisa membantu menempatkan beliau dengan adil sesuai dengan hak beliau.
Biasanya saya akan mencoba dulu membahas topik tersebut sejauh kemampuan saya melacak sumber. Dengan segenap teknologi yang sanggup saya jangkau dan pengetahuan kitab yang saya miliki, saya mengumpulkan seluruh data dalam tema tersebut. Kemudian saya susun menjadi tulisan sistematis.
Setelah itu saya akan membaca karya ulama kontemporer terkait topik tersebut. Jika semua yang beliau tulis telah saya ketahui sebelumnya termasuk rujukan-rujukan beliau, maka saya bisa memperkirakan posisi karya tersebut. Tetapi jika ada ulama yang membahas dengan bahasan sangat berharga yang sama sekali tidak pernah saya ketahui, ada rujukan-rujukan baru yang tidak saya kenal, bahkan menukil manuskrip yang belum dicetak sama sekali, maka disitulah saya menaruh rasa hormat bahwa beliau memang ilmunya sangat luas dan saya belum mencapai derajat beliau.
Nah Syaikh Yūsuf al-Qaraḍāwi termasuk jenis yang terakhir ini. Sangat sering saya terpana dengan data-data baru yang beliau sajikan yang belum pernah saya ketahui. Dengan melihat bahwa beliau mengkaji ilmu sudah jauh lebih lama daripada saya, terutama saat teknologi belum secanggih sekarang, maka kekaguman terhadap keluasan ilmu beliau semakin bertambah besar.
Kekaguman ini juga saya rasakan saat mengkaji karya-karya sebagian ulama besar Indonesia: Buya Hamka dan A. Hassan guru PERSIS.
Memang saya juga tahu ada yang benci beliau dengan berbagai sebab, mulai sebab politik sampai perbedaan sebagian paham. Malahan sampai ada yang mengarang kitab super pedas yang mengkritik beliau dan membuat begidik membaca judulnya seperti kitab “Iskātul Kalbil ‘āwī”.
Tapi saya pribadi memutuskan tidak ikut-ikut jenis itu. Saya tidak mau ikut menjadi pembenci karena saya tidak mau dituntut beliau di hari penghisaban.
Saya hanya ingin punya kenangan indah tentang beliau dan mengenangnya sebagai salah satu ulama Islam yang berjasa dalam hidup saya. Saya tidak ingin kena dosa kufur nikmat dengan mengingkari kebaikan beliau dalam din, sementara Allah yang mempertemukan saya dengan sebagian karya-karya beliau.
Hari ini, Senin 30 Safar 1444 H/26 September 2022 syaikh Yūsuf al-Qaraḍāwi telah menemui Rabbnya.
Semoga Allah meridai beliau, memaafkan seluruh kesalahan beliau, dan mengganjar seluruh amal saleh beliau terutama amal jariah mengajarkan ilmu din yang tersebar ke seluruh penjuru dunia.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
29 Shafar 1444 H/26 September 2022 pukul 20.02