Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Diantara kebiasan aneh dan tidak terpuji adalah keengganan untuk menyebut nama orang yang berjasa dalam memberikan pencerahan ilmu. Orang-orang seperti itu lebih suka menyembunyikannya, tidak menganggapnya berjasa, dan kadang lebih parah dari itu, menyalin tulisan orang atau memodifikasinya, kemudian disebarkan atas namanya sendiri.
Ini adalah akhlak dan adab yang sangat buruk. Allah tidak memberkahi ilmunya dan akan merendahkannya.
Akhlak seperti itu mencerminkan sifat dusta, tidak jujur, ḥubbuẓ ẓuhūr (senang tampil di depan), senang pamer, beramal karena riya’, gemar dengan sum’ah, serta kufur nikmat.
Sesungguhnya jujur menyebutkan referensi adalah bagian dari adab seorang murid yang tahu diri terhadap gurunya.
Menyebutkan siapa yang mengucapkan sebuah ilmu adalah ekspresi dari syukur atas jasa seorang guru yang memberikan ilmu (sekecil apapun). Oleh karena itu, siapapun yang sengaja menyembunyikan nama orang yang berjasa kepadanya dalam hal ilmu, sesungguhnya dia telah melakukan dosa kufur nikmat, dan hadis Nabi ﷺ dengan lugas menyebut orang-orang yang melakukan kufur nikmat itu balasannya adalah di neraka, baik kufur nikmat kepada Allah maupun kepada hamba.
Karena itulah terkenal ucapan yang berbunyi,
Artinya,
“Mensyukuri ilmu adalah dengan menisbahkan ilmu kepada orang yang mengucapkannya.”
Abu ‘Ubaid Al-Qosim bin Sallam memberikan contoh bagaimana salah satu cara berterima kasih kepada guru yang akan membuat ilmunya menjadi berkah adalah dengan menyebut nama orang yang berjasa kepadanya dalam memberikan pencerahan ilmu. Misalnya, engkau mendapat ilmu baru, lalu kau ajarkan pada orang lain, lalu orang lain itu menyangka bahwa itu adalah ucapanmu, kemudian engkau mengoreksi dengan mengatakan, “Sebenarnya ilmu ini bukan dari saya. Saya sendiri bingung soal ini dan tidak tahu apapun ilmu tentangnya. Tapi setelah saya mendapatklan pencerahan dari fulan, barulah saya paham.”
Abū ‘Ubaid berkata,
Artinya,
“Termasuk berterima kasih karena ilmu adalah engkau mendapatkan satu pengetahuan, lalu saat hal itu disebut engkau menceritakan (sejarah ilmumu): ‘Ilmu ini dan itu sempat samar bagiku. Aku tidak punya pengetahuan tentangnya. Hingga aku diajari fulan begini dan begitu’. Yang seperti ini termasuk berterima kasih/mensyukuri ilmu.” (al-Muzhir fī ‘Ulūmi al-Lugah wa Anwā‘ihā, juz 2 hlm 273)
20 Rabi’ul Awal 1444 H/16 Oktober 2022 pukul 11.35