Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Kadang-kadang seorang dai perlu beristirahat sejenak untuk berceramah dan banyak berbicara menasihati orang lain.
Yakni saat hatinya mulai mengeras.
Istirahat sejenak untuk mengurus dan “mengopeni” kemaslahatan akhiratnya sendiri.
Hanya istirahat sejenak saja. Tidak boleh sampai meninggalkan kewajiban menyampaikan ilmu Allah.
Tidak mengapa sementara menyerahkan fardu kifayah berdakwah kepada sesama rekan dai yang lain.
Agar dia punya waktu untuk melunakkan hatinya kembali.
Sebab, banyak bicara itu kadang-kadang memang bisa mengeraskan hati.
Diriwayatkan Nabi Isa bersabda,
Artinya,
“Janganlah kalian memperbanyak ucapan yang tidak bersifat mengingat Allah sehingga hati kalian menjadi keras. Sebab hati yang keras itu jauh dari Allah sementara kalian tidak sadar.” (H.R. Mālik)
Jika hati sudah keras, maka ia akan menjadi degil dan susah menerima nasihat. Taburan dalil menjadi terasa biasa saja lewat di telinga dan hatinya. Kejadian nyata yang seharusnya membuat dia tersentuh, lewat begitu saja tanpa kesan apapun. Ketaatannya meredup. Cintanya kepada dunia membesar. Bahkan jiwanya mulai melemah di hadapan gempuran syahwat dan godaan maksiat.
Memang betul, berdakwah itu mengucapkan kalimat mulia.
Tetapi di antara sekian ribu kata yang ia ucapkan, berapa persen yang ia berani menjamin semuanya karena Allah?
Berapa persen kalimat yang ia ucapkan dimaksudkan untuk mendapatkan rida Allah?
Berapa persen yang dimaksudkan untuk mengagungkan nama Allah dan yang dimaksudkan untuk membesarkan namanya sendiri?
Berapa persen yang dimaksudkan untuk mempopulerkan asma’ Allah dan yang dimaksudkan untuk mempopulerkan namanya sendiri?
Berapa persen yang dimaksudkan untuk memperoleh balasan di akhirat dan yang dimaksudkan untuk memperoleh target-target duniawi seperti harta, pekerjaan, jabatan, perempuan, follower, hadiah muhibbin dan semisalnya?
Berapa persen yang jujur dan yang bohong?
Berapa persen yang guyon dan yang serius?
Berapa persen yang akurat dan yang ditambah-tambahi?
Berapa persen ceramah yang benar-benar didasarkan ilmu dan yang didasarkan kebodohan demi menjaga citra tetap disebut ustaz/ahli ilmu/ulama/kyai?
Berapa persen ceramah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan yang sebenarnya menghamba untuk hawa nafsunya atau memenuhi nafsu penguasa?
Berapa persen yang diamalkan dan yang tidak diamalkan?
Berapa persen maksiat yang diceramahkan benar-benar dijauhi dan yang justru malah dilanggar saat tidak diketahui orang lain?
***
Pencemar-pencemar dakwah semacam itu barangkali terselip secara tidak sadar. Ketika sudah terakumulasi, maka amal dakwah bukan malah melunakkan hati, tetapi justru malah mengeraskannya.
Jika sudah tiba dalam kondisi ini, memang perlu sadar diri dan legowo untuk berhenti sejenak.
Berhenti sejenak untuk MEMPERBAIKI, bukan MEMBATALKAN PERJALANAN.
Seperti berhentinya pengendara sepeda motor karena tahu ada masalah ban bocor dan harus ditambal.
Supaya ada kesempatan untuk muhasabah, merenungi diri, bertaubat kembali dan menangisi dosa-dosa.
Semoga dengan itu, hati melembut lagi dan siap untuk memulai tugas mulia mendidik umat dengan petunjuk Allah.
CATATAN
Riwayat ucapan nabi Isa di atas juga juga diriwayatkan dalam hadis marfu’ dari Nabi ﷺ. Hanya saja statusnya diperselisihkan. Al-Tirmiżī dalam satu manuskrip menyebutnya hasan garīb. Al-Albānī mendaifkannya. ‘Abdul Qādir al-Arna‘ūṭ mengatakan sanadnya hasan. Ahmad Syākir juga mensahihkan sanadnya. Ibnu Ḥibbān memasukkan perawi yg diperselisihkan dalam riwayat tersebut dalam kitab al-tsiqāt dan dinukil tanpa kritikan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī dalam al-Tahżīb.
Hadisnya berbunyi sebagai berikut,
Artinya,
“Janganlah kalian memperbanyak ucapan tanpa ada unsur mengingat Allah. Karena banyaknya ucapan tanpa mengingat Allah itu akan mengeraskan hati. Padahal manusia yang paling jauh dari Allah adalah yang hatinya keras.” (H.R. al-Tirmiżī)
14 Rabi’ul Akhir 1444 H/11 November 2022 pukul 21.04