Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Saya: “Nduk, ayok keluar!”
Putriku: “Kemana, Abuya?”
Saya: “Beli jajan.” (Sambil tersenyum)
Wajahnya langsung semringah.
Putri saya baru menginjak remaja. Masa-masa rawan untuk banyak mengenalkan ajaran din dan prinsip-prinsip hidup yang serius.
Di tengah jalan saya bilang begini,
“Kali ini maksimal jajan Rp.10.000,00, ya.”
Terkejut dia. Wajahnya langsung berubah murung. Melihat kesedihannya, saya agak tidak tega lalu saya naikkan sedikit. Tapi jumlahnya tetap kurang dari biasanya.
Setelah membeli yang diinginkan, kami pun pulang. Sepanjang jalan dia diam. Kelihatan lenyap keriangannya. Lalu saya membuka percakapan,
Saya: “Bagaimana perasaanmu sekarang, Nduk?”
Putriku: ”Biasa saja.” (Nada bicaranya lesu tanpa semangat)
Saya: ”Bahagia, sedih, atau netral?”
Putriku: “Netral.”
Saya: ”Tidak ada kebahagiaan sama sekali?”
Putriku: ”Ndak”
Saya:”Kalau begitu jajannya disedekahkan saja, ya.”
Putriku: ”Wah jangan. Kenapa? Aku masih mau.”
Sesampai di rumah saya dudukkan dia. Di situ saya mengajarinya sebuah prinsip hidup penting.
“Begini, Nak.”
“Ayahmu sangat bisa menuruti keinginanmu membeli jajan dengan jumlah biasanya, dan itu sudah cukup sering.”
“Bahkan membebaskan kamu memilih jajan apa saja yang kamu inginkan, sampai ratusan ribu, atau seperti sebagian orang tua yang sampai membiarkan anaknya jajan hingga satu juta lebih, dengan izin Allah insya Allah bisa.”
“Tapi kali ini ayahmu sengaja mengurangi jumlahnya cukup drastis, agar engkau belajar bahwa dalam hidup kita tidak selalu akan mendapatkan persis yang kita inginkan. Kadang diberi Allah persis seperti yang kita inginkan, kadang dikabulkan hanya sebagian, kadang dibuat gagal total.”
“Saat engkau mendapatkan sebagian nikmat Allah itu, tetaplah bersyukur dan nikmatilah rezeki dari Allah itu. Karena dengan syukurmu itu justru nikmatmu nanti akan ditambah. Jangan pernah meremehkan nikmat dari Allah sekecil apapun, karena kegagalanmu mensyukuri nikmat justru bisa membuat seluruh nikmatmu dicabut.”
“Jadi, selalu belajarlah menghargai yang kecil. Seremeh apapun. Agar engkau nanti lebih mudah mensyukuri nikmat-nikmat yang lebih besar.”
Setelah mendengar nasihat-nasihat itu, kepalanya mengangguk, bibirnya tersenyum dan wajahnyapun menjadi riang kembali.
***
Mungkin berbeda dengan sebagian orang tua, kasih sayang kepada anak itu bagi saya bukan menuruti seluruh keinginannya. Dalam hal njajan, misalnya. Sebab justru itu bagi saya berbahaya karena termasuk definisi ittibā’usy syahawāt/mengikuti syahwat.
Menurut saya, justru kasih sayang terbesar orang tua ke anak adalah mengajari prinsip-prinsip hidup terpenting, agar anak siap menghadapi kerasnya kehidupan, tahan banting, dan tidak putus asa dengan segala tantangan kehidupan.
Anak harus belajar bahwa tidak semua keinginannya bisa dituruti dan harus dituruti. Dari 10 keinginan mubah, jika terkabul 3 sekalipun itu sudah sangat bagus. Karena demikianlah fakta kehidupan. Dari 10 keinginan kita mungkin hanya beberapa saja yang dikabulkan Allah.
Ada 3 hal pada manusia yang sangat berbahaya jika tidak dikontrol yaitu,
Pertama, syahwat (الشهوة) atau hawa nafsu (الهوى)
Kedua, amarah (الغضب)
Ketiga, ketamakan (الطمع)
Tiga hal ini adalah sumber umumnya kesusahan manusia, kehancuran hidup, bahkan sumber kriminalitas. Tapi seringkali orang tidak sadar, atau tidak merasa.
Tiga hal ini bisa dilatih dan dikontrol sejak dini dengan ilmu yang benar. Cukup melalui kejadian sehari-hari di lingkungan rumah kita sendiri.
Umar bin ‘Abdul ‘Azīz berkata,
Artinya,
“Sungguh beruntung orang yang dilindungi dari (keburukan) hawa nafsu (syahwat), amarah dan ketamakan.” (Jāmi‘ Ma‘mar bin Rāsyid juz 11 hlm 126)
Versi fiksi oleh Ana Sholiha bisa dibaca di SINI.
24 Rabi’ul Akhir 1444 H/21 November 2022 pukul 13.36