Oleh: Ana Sholikha
“Nduk, ayok keluar!”
“Ke mana, Abuya?” Putri saya yang genap berusia tiga belas tahun itu menjawab dengan antusias.
“Beli jajan.” Seulas senyum saya layangkan. Rasanya tak percaya ia yang dulu masih dalam gendongan, kini sudah beranjak remaja. Bahkan tingginya sudah melampaui uminya.
Pemilik paras perpaduan wajah saya dan istri itu langsung semringah. Begitu mudah membahagiakan anak-anak.
Langsung saja mesin kendaraan saya nyalakan dan kami berangkat menuju mini market terdekat. Saya sadar, di usianya yang sekarang, putri saya berada di masa-masa rawan. Oleh karenanya, saya berusaha untuk mengenalkan banyak ajaran din dan prinsip-prinsip hidup yang serius.
Di tengah perjalan, saya bilang begini, “Kali ini maksimal jajan sepuluh ribu, ya.”
Netranya seketika membulat, melirik saya sedikit tajam. Setelah itu dia menunduk. Wajahnya tampak mendung. Melihat kesedihannya, saya agak tidak tega, lalu saya naikkan sedikit budget jajannya. Akan tetapi, nominalnya tetap kurang dari biasanya.
Setelah membeli snack yang diinginkan, kami pun pulang. Sepanjang jalan, mulut putri saya terkatup rapat. Padahal ia biasanya menceritakan keseruan mempelajari kosakata baru dari tiga bahasa asing–Arab, Inggris, Jepang– yang saat ini digelutinya.
Keriangan yang biasa mengiringi kebersamaan kami lenyap. Seperti cerahnya langit Kota Batu yang berangsur tertutup awan kelabu. Lalu saya membuka percakapan untuk mencairkan suasana.
“Bagaimana perasaanmu sekarang, Nduk?” Saya lihat, pandanganya fokus ke luar jendela.
“Biasa saja,” jawabnya datar. Nadanya sangat berbeda saat tadi saya ajak keluar.
Saya mencoba memperjelas, “Bahagia, sedih, atau netral?”
“Netral.”
“Tidak ada kebahagiaan sama sekali?” Ingin saya gali lebih dalam perasaannya.
“Ndak.” Begini kalau suasana hatinya sedang murung, jawabannya pendek-pendek. Cukup satu kata.
“Kalau begitu jajannya disedekahkan saja, ya?” Saya mulai beri penawaran.
“Wah jangan, Abuya. Kenapa? Aku masih mau, kok.”
Sesampai di rumah, awan yang tadi bergelayut di langit mulai meluruh. Bunyi gemeretak bulirannya terdengar di atas genting. Kemudian, saya ajak sosok penyuka desain dan seni itu duduk di ruang tengah. Di situ saya mengajarinya sebuah prinsip hidup penting.
“Begini, Nak.” Saya tepuk bahunya pelan.
“Ayah sangat bisa menuruti keinginanmu membeli jajan dengan jumlah seperti biasanya, dan itu sudah cukup sering.” Saya perhatikan wajahnya, ia tampak mendengarkan.
“Bahkan membebaskan kamu memilih jajan apa saja yang kamu inginkan, sampai ratusan ribu, atau seperti sebagian orang tua yang sampai membiarkan anaknya jajan hingga sejuta lebih, dengan izin Allah, insya Allah bisa.”
Ia perlahan mengangkat wajah, mungkin tak percaya akan diperbolehkan jajan sampai menghabiskan jutaan rupiah.
“Tapi kali ini ayah sengaja mengurangi jumlahnya cukup drastis, agar engkau belajar bahwa dalam hidup, kita tidak selalu akan mendapatkan persis yang kita inginkan. Kadang diberi Allah persis seperti yang kita inginkan, kadang dikabulkan hanya sebagian, kadang dibuat gagal total.”
Saya memindai setiap sudut salah satu ruangan di tempat tinggal kami ini. Merefleksikan ke diri sendiri, impian mempunyai hunian yang layak telah Allah kabulkan. Setelah sekian tahun doa kami panjatkan.
“Saat engkau mendapatkan sebagian nikmat Allah itu, tetaplah bersyukur dan nikmatilah rezeki dari Allah itu, Nduk. Karena dengan syukurmu itu justru nikmatmu nanti akan ditambah. Jangan pernah meremehkan nikmat dari Allah sekecil apa pun, karena kegagalanmu mensyukuri nikmat, justru bisa membuat seluruh nikmatmu dicabut.” Kali ini saya ucapkan penuh penekanan.
“Jadi, selalu belajarlah menghargai yang kecil. Seremeh apa pun. Agar engkau nanti lebih mudah mensyukuri nikmat-nikmat yang lebih besar.”
Setelah mendengar nasihat-nasihat itu, kepalanya perlahan mengangguk, bibirnya tersenyum, dan wajahnya pun kembali riang.
“Ndang, dimaem jajane.” Saya pun ikut senang melihat reaksinya.
Ia lalu menyobek snack kemasan warna merah menyala itu.
*
Mungkin berbeda dengan sebagian orang tua, kasih sayang kepada anak itu bagi saya bukan menuruti seluruh keinginannya. Dalam hal njajan misalnya. Sebab, bagi saya justru itu berbahaya karena termasuk definisi ittibā’usy syahawāt/mengikuti syahwat.
Menurut saya, justru kasih sayang terbesar orang tua ke anak adalah mengajari prinsip-prinsip hidup terpenting, agar anak siap menghadapi kerasnya kehidupan, tahan banting, dan tidak putus asa dengan segala tantangan kehidupan.
Anak harus belajar bahwa tidak semua keinginannya bisa dituruti dan harus dituruti. Dari 10 keinginan mubah, jika terkabul tiga sekalipun itu sudah sangat bagus. Karena demikianlah fakta kehidupan. Dari 10 keinginan kita, mungkin hanya beberapa saja yang dikabulkan Allah.
Ada tiga hal pada manusia yang sangat berbahaya jika tidak dikontrol yaitu;
Pertama, syahwat (الشهوة) atau hawa nafsu (الهوى)
Kedua, amarah (الغضب)
Ketiga, ketamakan (الطمع)
Tiga hal ini adalah sumber umumnya kesusahan manusia, kehancuran hidup, bahkan sumber kriminalitas. Akan tetapi, seringkali orang tidak sadar, atau tidak merasa.
Tiga hal ini bisa dilatih dan dikontrol sejak dini dengan ilmu yang benar. Cukup melalui kejadian sehari-hari di lingkungan rumah kita sendiri.
Umar bin ‘Abdul ‘Azīz berkata,
Artinya,
“Sungguh beruntung orang yang dilindungi dari (keburukan) hawa nafsu (syahwat), amarah dan ketamakan.” (Jāmi‘ Ma‘mar bin Rāsyid juz 11 hlm 126)
24 Rabi’ul Akhir 1444 H/21 November 2022 pukul 19.01