Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Menikahi wanita untuk dipoligami karena terpesona kecantikannya itu manusiawi kok.
Naluriah.
Tidak perlu dicela.
Jika lelaki ditawari wanita cantik yang masih muda dengan agama yang masih polos atau pas-pasan, pada saat yang sama juga ditawari wanita salehah tapi sudah menjelang nenek-nenek, maka sangat wajar jika beliau memilih yang cantik dan muda.
Harus dihargai dan diapresiasi, minimal dari sisi tidak mau melampiaskan perasaan naluriahnya dengan cara yang haram.
Rasulullah ﷺ sendiri bahkan pernah mengalaminya.
Hal ini bermakna gaddul baṣar (menjaga pandangan mata) itu tidak boleh diartikan bahwa lelaki saleh tidak mungkin terpesona dengan kecantikan atau diharamkan terpesona dengan kecantikan wanita.
Ada seorang wanita sangat cantik di zaman Nabi ﷺ. Jangankan lelaki, wanita saja terpesona dengan kecantikannya.
Lalu dalam peristiwa perang Bani al-Muṣṭaliq, wanita ini jatuh sebagai tawanan kaum muslimin dan menjadi budak Tsābit bin Qais.
Wanita tersebut sangat sedih dan ingin membebaskan diri melalui akad mukātabah, yakni membayar sejumlah harta sebagai harga kebebasannya. Akan tetapi karena jumlahnya banyak, beliau merasa tidak kuat lalu meminta bantuan kepada Rasulullah ﷺ.
Begitu wanita tersebut datang ke rumah Rasulullah ﷺ dan dilihat kecantikannya oleh Aisyah, maka deg. Aisyah langsung tidak suka.
Beliau juga langsung berfirasat bahwa Rasulullah ﷺ pasti akan tertarik dengan parasnya. Peristiwa ini sekaligus menunjukkan jika seorang istri tidak suka suaminya melihat wanita cantik tertentu karena khawatir tertarik dengannya kemudian menikahinya, hal itu juga hal yang wajar, naluriah dan bisa dimaklumi.
Ternyata betul, begitu wanita tersebut bertemu Rasulullah ﷺ, beliau langsung ditawari dibantu untuk bebas sekaligus dipoligami. Seketika itu juga wanita tersebut menerima.
Wanita itu adalah ummul mukminin Juwairiyah binti al-Ḥārits.
Ahmad meriwayatkan kisah ini sebagai berikut,
Artinya,
“Dari Aisyah radliyallahu ‘anhuma, ia berkata: Tatkala Rasulullah ﷺ membagi tawanan Bani Muṣṭaliq, Juwairiyah binti Al Harits bin Al Mushthaliq jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Syammas atau anak pamannya. Kemudian Juwairiyah mengadakan perjanjian pembebasan dirinya. Ia adalah wanita cantik menawan. Tidak ada seorangpun yang melihatnya melainkan akan terpesona dengannya.
Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Kemudian ia datang memohon bantuan kepada Rasulullah ﷺ dalam hal perjanjian pembebasannya. Demi Allah! Baru saja dia di depan pintuku, aku sudah merasa tidak suka. Aku tahu Rasulullah ﷺ pasti akan terpesona saat melihat dirinya seperti yang aku lihat.
Kemudian Juwairiyah berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah Juwairiyah binti Al Harits, aku tertimpa musibah sebagaimana begitu jelas bisa engkau lihat. Sungguh, aku telah menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syammas dalam pembagian, dan aku telah mengadakan perjanjian pembebasan diriku. Maka aku datang kepadamu memohon pertolongan dalam perjanjian pembebasanku.”
Rasulullah ﷺ kemudian bersabda: “Apakah engkau mau menerima sesuatu yang lebih baik dari hal itu?” Juwairiyah bertanya: “Hal apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Aku bayarkan perjanjian pembebasanmu dan aku akan menikahimu!” Juwairiyah menjawab: “Iya, wahai Rasulullah. Aku bersedia.” (H.R. Ahmad)
Yang menarik, dalam riwayat ini tidak ada kisah bagaimana Rasulullah ﷺ menyelidiki kualitas agama Juwairiyah sebelum menawarinya pernikahan. Malahan itu mengesankan pertemuan pertama yang langsung tertarik dengan parasnya dan segera dilanjutkan dengan pernikahan. Hanya tahu Juwariyah seorang muslimah, tapi tidak sampai diselidiki mendalam selevel apa din-nya. Cukup hanya tahu Juwairiyah seorang muslimah.
Tentu saja Rasulullah ﷺ sama sekali tidak khawatir terkait kualitas din seorang wanita, sebab beliau pendidik terbaik. Selemah apapun din seorang wanita, jika yang mendidik selevel Rasulullah ﷺ insya Allah akan menjadi orang hebat juga.
Sikap Rasulullah ﷺ juga tidak pernah membombastisasi urusan dunia, termasuk urusan istri.
Begitu mudahnya menikah, tapi juga tidak segan-segan mudah melepas istri jika sudah dirasa menghalangi perjalanannya menuju Allah.
Dalam Al-Qur’an bahkan dikisahkan bagaimana beliau pernah hendak mencerai seluruh istri-istrinya. Yakni saat para istri ini dikhawatirkan sudah tidak sanggup hidup dengan cara yang mengutamakan akhirat daripada kenyamanan duniawi.
Sekali lagi, menikahi wanita, termasuk mempoligami dengan dorongan terpesona kecantikannya itu tidak salah. Itu mubah, naluriah dan sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip zuhud. Juga tidak bertentangan dengan kesalehan. Juga tidak bertentangan dengan ketakwaan.
Malahan, kalau mengikuti tipsnya seorang Sahabat Nabi yang bernama al-Mugīrah bin Syu’bah, nikahilah 4 wanita dengan kualifikasi yang berbeda-beda.
- Satu istri karena kecantikannya
- Satu istri karena kesuburannya
- Satu istri karena status sosialnya
- Satu istri karena hartanya
Beliau ini menikah sampai 80 kali. Artinya, tipsnya didasarkan pengalaman bermuamalah dengan puluhan wanita. Ibnu ‘Āsākir meriwayatkan,
Artinya,
“Al-Mugīrah bin Syu‘bah berkata, aku telah menikahi wanita sampai 80 orang, jadi aku lebih bepengalaman terhadap wanita daripada kalian. Aku mempertahankan (satu) wanita karena kecantikannya, aku mempertahankan (satu) wanita karena anaknya, aku mempertahankan (satu) wanita karena kaumnya, dan aku mempertahankan (satu) wanita karena hartanya.” (Tārīkh Dimasyq, juz 60 hlm 55)
Tentu saja tidak semua lelaki bisa seperti ini. Saran seperti itu hanya mungkin dilakukan lelaki berkualitas yang memang punya potensi mengurus 4 istri atas dasar ketakwaan.
Catatan ini sekedar mengoreksi jika ada persepsi bahwa menikahi wanita karena kecantikan itu tercela, atau persepsi bahwa tidak boleh orang yang zahirnya saleh memilih wanita atas dasar kecantikan.
22 Jumada al-Ūlā 1444 H/16 Desember 2022 pukul 13.23